Kamis, 19 Maret 2009

Menunggu yang tak pasti...


Semua orang pernah menunggu, entah itu menunggu bis, menunggu pengumuman SPMB, menunggu dosen, menunggu kuliah usai, menunggu terbitnya matahari, menunggu kelahiran, menunggu buka puasa, menunggu kekasih pulang, atau bahkan menunggu sms. Banyak hal yang menyebabkan seseorang merelakan waktunya untuk kegiatan menunggu ini. Ada semacam sensasi tersendiri saat yang ditunggu-tunggu menampakkan wujudnya. Efek yang langsung terlihat biasanya senyum mulai merekah, pipi memerah, dan mata berbinar. Namun, ketiga efek ini tidak akan terlihat bila yang ditunggu adalah orang-orang dengan tipe penghutang, pemarah, dan pembual. Capek deh klo harus nunggu orang-orang kaya gitu...!?!?
Menunggu itu butuh waktu. Itu jelas. Selain itu, menunggu juga butuh energi. Minimal kita butuh makanan dengan kadar kolesterol yang rendah agar kita tidak bercaci maki ria karena habis kesabaran. Ini adalah beberapa akibat bila kita terlalu banyak mengkonsumsi makanan berlemak :“Capek banget deh, mana hujan, becek, nggak ada ojek!!!” (Cinta Laura yang lagi nunggu supirnya), “Dasar lelaki...titttt...titt...tiiitt..!!!” (disensor karena bahasa yang digunakan terlalu puitis), “Seberapa pantasnya kau untuk kutunggu...!!” (sheila on 7), “Dasar pengusaha jam karet!!” (seorang Ibu yang sedang menunggu dijemput suaminya di Pasar), “Kok nggak dibales-bales, apa mungkin dia udah nggak sayang ma aku ya?!” (negative thinker), “Kayanya dosennya sakit deh!?” (penulis).
Semua kata-kata itu muncul hanya karena satu aktivitas, yaitu menunggu. Begitu membosankannya bila kita tidak dapat memanfaatkan momen yang ada dengan baik. Tidak sedikit diantara kita yang bukan merupakan penunggu yang baik. Seorang teman pernah berujar kepadaku tentang aktivitas menunggu ini. Banyak kalimat yang dia ucapkan, tetapi yang aku ingat adalah satu pertanyaan ini :
“Untuk apa kamu menunggu sesuatu yang tidak pasti?”
Seketika itu juga aku terperanjat. Kaget dan bingung menjadi satu adonan dalam kepalaku. Ingin aku katakan sesuatu padanya, tapi lidah ini kelu. Saat itu, aku hanya ingin menikmati kegiatan menungguku. Itu saja. Tidak lebih dan tidak kurang.
Aku menikmati saat-saat itu. Rasanya seperti sedang bermain dengan sayap-sayap takdir. Bergelantungan di bawah dahan-dahan nasib. Semuanya tampak sempurna. Tidak tahu kapan berakhirnya, tapi aku sangat bahagia. Aku lebih senang menunggu sesuatu yang tidak pasti, dibanding menunggu sesuatu yang pasti akan terjadi. Untuk apa menunggu sesuatu yang pasti terjadi? Apakah tidak membuang energi dan waktu? Bagiku, sesuatu itu pantas ditunggu karena ketidakpastian akan kehadirannya. Semakin banyak ketidakpastian, maka akan semakin mungkin (Mario Teguh). Jangan menunggu terbitnya matahari, tetapi bersiaplah dengan apa yang akan kita lakukan saat dia terbit.
Enjoy your day!!!!

Senin, 16 Maret 2009

Relativitas Kata Sifat

Kata relativitas pertama kali aku dengar ketika mengenyam pendidikan di bangku SMP, tepatnya SMP 6 Mataram. Kata ini terdengar asing sekali dan tidak bernuansa Indonesia. Apalagi banyak rumus-rumus matematika dan fisika yang lahir dari konsep ini. Sungguh membuat kepalaku pusing tidak karuan... Namun, life must go on, Bro!
Setelah kupikir-pikir dengan seksama, ternyata konsep relativitas ini sangat penting. Konsep ini banyak mengajarkanku tentang kesabaran. Kesabaran yang muncul akibat suatu kesadaran bahwa seluruh kata sifat yang ada di dunia ini bersifat relatif. Relatif karena setiap orang mempunyai parameter penilaian tertentu terhadap suatu hal. Parameter ini tidak muncul dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, dan interaksi sosial. Sampai disini aku harap kata-kataku tidak terlalu berat...!! Lanjut Mang!!
Sebagian besar dari kita pasti pernah mengomentari karya orang lain. Bukan hanya karyanya, tapi orangnya pun kita komentari. Oleh karena itu, acara gosip masih tetap bisa bertahan di Indonesia. Kata-kata yang sering keluar tidak terlepas dari kata sifat seperti: jelek, bagus, rapi, kotor, bau, tinggi, rendah, panjang, pendek, besar, kecil, ganteng, cantik, galak, cerewek, pendiam, jahat, baik, kalem, dll, dsb, etc. Semua kata sifat tersebut sangat bergantung terhadap batas-batas penilaian yang ditetetapkan seseorang. Cantik menurut seseorang, belum tentu cantik untuk orang lain. Jelek bagi seseorang, belum tentu jelek bagi yang lain. Semuanya sangat relatif..!! Jadi, jangan terlalu bangga atau berkecil hati terhadap predikat yang diberikan seseorang kepada kita. Bangunan dikatakan tinggi karena memang ada yang lebih rendah. Penggaris dikatakan panjang karena ada yang lebih pendek. Gentong dikatakan besar karena ada yang lebih kecil. Kata baik muncul karena ada sesuatu yang kurang baik sebagai pembanding.
Relativitas seperti ini pasti sangat merepotkan. Oleh karena itu, manusia berpikir untuk mengurangi kerepotan tersebut dengan menyepakati beberapa besaran pokok. Aku tidak akan membahas tujuh besaran pokok fisika yang akan membuat catatan ini bernuansa akademik, tapi bila ingin tahu silahkan buka buku fisika yang sekarang ada di gudang belakang rumah dan tergeletak dengan nyamannya di dalam kardus coklat tua...!(“,)
Konsep relativitas ini seharusnya mampu membuat kita berpikir lebih dinamis dan tidak mudah putus asa. Tidak ada yang kekal di dunia ini selain perubahan itu sendiri. Saat ini ribuan pasang mata sedang memandang kita, ribuan telinga siap untuk mendengar kata-kata yang memberi pencerahan, dan banyak tangan yang siap mengangkat kita disaat kita jatuh. Jadi, persiapkan diri kita untuk dinilai orang lain. Menjadi diri sendiri merupakan salah satu cara untuk bersikap jujur pada diri sendiri dan orang lain. Mulailah hari dengan senyuman, maka dunia akan tersenyum dengan tulusnya.