Sabtu, 19 September 2009

Ketika Air sedang Mengajar (Part 1)


Sama seperti jutaan penduduk Indonesia lainnya, hari ini aku melakukan perjalanan menuju kampung halaman. Suatu tempat dimana aku dilahirkan, diasuh, dan dibesarkan oleh orang-orang tercinta. Hanya dengan mengingat semua kenangan itu, perjalanan yang akan menempuh waktu 4 jam di laut ini tidak akan terasa membosankan. Pukul 5 pagi, aku telah sampai di pelabuhan Padangbai dan segera menaiki kapal dengan nama Perdana Nusantara.Kapal ini cukup besar, sehingga tak mengherankan jika penumpang yang menaiki kapal ini pun cukup banyak. Belum lagi truk-truk yang mengangkut bahan-bahan makanan ikut ambil bagian. Perjalanan menggunakan kapal laut seperti ini bukan yang pertama kalinya aku lakukan, sehingga aku sangat yakin sekali bahwa banyak penduduk pribumi mencari tempat duduk untuk melepaskan kembali lelahnya dengan merebahkan tubuhnya pada kursi yang tersedia, apalagi matahari pun belum muncul di ufuk timur. Hal ini sangat berbeda dengan orang-orang non pribumi yang mencari tempat duduk sebagai tempat untuk membaca buku, dan tak jarang yang memang sengaja tak mencarinya karena ingin menikmati perjalanan laut dengan melihat pemandangan sekitar. Bukan maksud hati ingin menyinggung perasaan, hanya ingin bertutur bahwa ada banyak hal berbeda yang terjadi pada waktu yang sama. Sungguh indah..
Kapal laut berangkat tepat pukul 05.30 ditandai dengan suara bel yang cukup keras. Perlahan kapal ini meninggalkan pantai bergerak menuju laut. Menit demi menit berlalu, jam pun demikian, hingga pada akhirnya pelabuhan sudah tak terlihat lagi. Sepanjang mata memandang hanya hamparan permadani biru yang begitu mempesona. Kadang tenang, kadang bergelombang, seperti mengajarkan bahwa menjalani hidup tak selamanya harus berlari kencang, ada saatnya untuk menenangkan diri seraya berinstropeksi. Hamparan laut yang begitu luas dan dalam ini membuat aku semakin yakin bahwa kerendahan hati adalah hal yang penting. Letak lautan yang lebih rendah dibandingkan sungai dan danau menyebabkan seluruh aliran air bermuara padanya. Sikap rendah hati yang selalu terbuka menerima aliran cinta layaknya lautan yang menyerahkan dirinya secara ikhlas menerima aliran air dari segala penjuru.
Paduan yang sangat indah sekali ketika kapal laut yang terbuat dari logam yang sangat keras melaju di atas lembutnya kumpulan air yang membentuk laut, seperti bercerita bahwa ada keindahan ketika dua hal berbeda saling bekerja sama tanpa keinginan untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Sungguh indah sekali. Benar-benar tertampar rasanya ketika mengingat masa lalu yang tak jarang berselisih paham dengan orang lain karena tidak bisa saling menerima satu sama lain. Keangkuhan dan ego benar-benar menjadi tuan, masih merasa bahwa kebersatuan hanya akan memperkeruh suasana, dan yang terjadi sesuai dengan apa yang dirasa. Ingin rasanya mengulang masa lau dan memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Ah…tapi itu sungguh sulit dilakukan. Maaf atas semua khilaf dan ketidakdewasaan itu.
Tidak cukup dengan tamparan itu, air menyindirku dengan wujudnya. Kelembutan air merupakan paduan antara dua zat yang dekat sekali dengan api, hidrogen dan oksigen. Hidrogen merupakan gas yang mudah terbakar, sedangkan oksigen adalah gas yang menyebabkan pembakaran itu terjadi. Dua gas “panas” ini bersatu pada keadaan yang tepat membentuk air yang begitu lembut. Seandainya saja aku lebih mampu mengolah semua zat panas (baca: emosi, benci, iri) dalam diri, tentu akan terbentuk kelembutan hati yang indah. Lagi-lagi aku harus meminta maaf.
Tak terasa air sudah banyak mengajariku hari ini, sudah banyak mengingatkanku akan kesalahan-kesalahan masa lalu, dan tak terasa pula telah sampailah aku di pelabuhan Lembar. Perjalanan 4 jam ini sungguh sangat berarti dan menyentuh hati. Sesaat lagi aku akan bertemu dengan orang-orang tercinta. Orang-orang yang penuh dengan kehangatan dan kelembutan. Aku kini telah kembali setelah sekian lama pergi. Banyak hal yang harus kembali, bukan hanya untuk semakin dekat, tapi juga untuk menyadarkan pentingnya suatu awal..(Mataram, 17 September 2009)

selsurya.blogspot.com

Minggu, 13 September 2009

Cinta Seringan Hidrogen..


Judul di atas masuk ke dalam otakku dengan lancangnya ketika supraku (baca: motor kebanggaanku) sedang asyik menyusuri jalan Kertajaya kemarin sore. Entah angin apa yang membawanya masuk tanpa permisi, sampai-sampai bibirku bergumam...."Aha!!"
Untung saja sekarang bulan Ramadhan, jadi aku maafkan segala kelancangan ini...
Mari kita mulai ceritanya dari percakapan seorang anak kecil bernama Yuda dengan seorang Abang Tukang Balon (ATB) di suatu kompleks perumahan.
Yuda : Bang, aku mau balon terbangnya yang warna biru! Berapa harganya Bang?
ATB : Iya Dek. Ini balonnya (sambil menyerahkan benang pengikat balon terbang). Dipegang yang kenceng ya, supaya balonnya g terbang. Harganya seribu.
Yuda : (menerima benang balon dengan tangan kiri dan menyerahkan uang seribu yang sudah digenggam erat dengan tangan kanan) Makasi ya Bang....Hore!!! (sambil loncat-loncat kegirangan).
ATB : (tersenyum kecil) Iya, sama-sama.
Masih di tempat yang sama, ATB mengisi gas ke dalam balon yang berwarna hitam.
Yuda : (mengernyitkan dahi tanda bingung) Bang, emang balon yang warna item bisa terbang juga?
ATB : Bisa donk, kan Abang isiin gas terbang!
Yuda : Hahaha...!
Untung saja setelah itu Yuda langsung masuk kedalam rumah sambil berlari kecil. Seandainya percakapan diantara mereka dilanjutkan, pasti akan seperti ini :
Yuda : Bang aku mau gas tebrangnya (maklum anak kecil, suka salah ngomong!) dimasukin ke perutku supaya aku bisa terbang!
ATB : ?!?@?#?@###^$
Dari percakapan di atas, dapat ditarik satu makna bahwa gas yang digunakan si Abang adalah gas Hidrogen...(lho?)
Pembaca : Yang serius dikit dong!!
Penulis : Ok..ok...aku mulai serius..
Makna fisiknya adalah kemampuan terbang balon-balon itu bukan terletak pada warnanya, tapi gas yang dimasukkan ke dalamnya. Balon merah, hijau, kuning, kelabu, biru, putih, jingga, maupun hitam, semuanya bisa terbang, asalkan diisi gas seringan hidrogen (ceileh, ilmu kimianya mulai keluar..!). Sudah bukan saatnya mempermasalahkan warna, itu hanya soal selera. Sebagus apapun balon itu dibuat, belum tampak indah bila belum diisi gas ke dalamnya. Semakin "ringan" gas yang diisikan, semakin besar pula kemampuan "terbang" balon itu.
ATB pasti akan menjual balon-balon terbang berukuran sama dengan harga yang sama, walaupun warnanya berbeda. Dan akan menjual lebih murah untuk balon-balon yang tidak berisi gas (itupun kalo dijual!). Aku tidak bisa membayangkan seorang anak kecil yang imut seperti Yuda menangis dengan keras setelah mengetahui harga balon berwarna biru lebih mahal dibandingkan balon warna lain, seperti percakapan di bawah ini:
Yuda : Bang, berapa harga balon yang warna biru?
ATB : Harganya seribu lima ratus. Kalo yang item, harganya seribu..
Yuda : Maaaaaaammmmmmmaaaaaaaaaaa!!! Uangnya kurangggggg!!! (sambil nangis masuk ke dalam rumah).
Kasian kan. Coba deh dibayangin..!
Sebagai pesan penutup, dengan terpaksa aku mengatakan bahwa kita memang berbeda dalam semua, tetapi tidak dalam cinta (cahaya bulan).

NB: Cerita ini hanya dikhususkan pada harga balon karena setelah aku survey di pasar Keputih, harga cabe merah dan cabe hijau ternyata berbeda. Mungkin karena mendekati Lebaran...(",)

selsurya.blogspot.com

Sabtu, 12 September 2009

Terlalu Banyak Lomba dalam Hidup...!


Tulisan ini terinspirasi dari seseorang bernama Isman H. Suryaman, penulis yang bisa menelurkan ribuan pertanyaan imajinatif, kadang terkesan konyol, dari hanya melihat peuyeum dan kentongan di Bandung. Setelah membaca 240 halaman bukunya, aku tidak menemukan kepanjangan "H" dari namanya. Biarlah itu tetap menjadi misteri yang akan terungkap pada satu saat yang tepat.
Membaca buku Kang Isman, aku menjadi sadar bahwa banyak hal-hal kecil yang sering kita abaikan menjelma menjadi masalah serius di kemudian hari. Oleh karena itu, Kang Isman berpesan banyak-banyaklah bertanya sebelum mati...(lho?)
Terkait dengan judul di atas, aku ingin memberikan ilustrasi yang mengakibatkan aku beranggapan bahwa terlalu banyak lomba dalam hidup. Ilustrasi tersebut berupa beberapa percakapan imajiner populer di bawah ini:

(Di kost-kostan)
Atiek : Rio udah diterima kerja di Kalimantan sekarang!
Yuda : Wah hebat juga ya!
Atiek : Iya, kapan nyusul?

(Di suatu kantin)
Yuda : Selamet ya udah g' jomblo lagi!
Dede : Makasi banyak Yud, kapan nyusul?

(Di acara wisudaan)
Yuda : Selamet ya Bro udah jadi wisudawan!! Aq bangga punya temen kaya kamu.
Dimas : Makasi banyak friend! Kamu kapan nyusul?

(Di acara nikahan)
Yuda : Selamat ya, semoga kalian langgeng dan hidup bahagia!
Putra dan Putri : Iya, makasi Yud, kapan nyusul nih?
Yuda : (Glek!)

(Di rumah sakit)
Yuda : Selamat ya akhirnya punya momongan juga!
Risa : Makasi banyak udah jengukin. Kamu sendiri kapan mau nyusul punya momongan?
Yuda : (Garuk-garuk kepala sambil cengengesan!)

(Di tempat pemakaman)
Yuda : Aku turut berduka cita. Yang sabar ya Jo. Mudah-mudahan arwah ayahnda diterima disisi-Nya.
Paijo : Amien. Makasi banyak Yud. Kamu kapan nyusul?
Yuda : Kamu aja kale..!!!!

Itu hanya sebagian kecil dari ribuan lomba lagi yang tersaji lengkap dengan sindirannya. Kawan, hidup itu tak harus kencang terus berlari (grup band Padi). Ada kalanya kita duduk-duduk santai di pantai hanya untuk melihat riuhnya ombak. Ada kalanya bangun di suatu pagi yang cerah, kemudian tersenyum kepada mentari, dilanjutkan tidur kembali (Alm. Mbah Surip). Ada satu waktu ketika kita harus lebih lama di kamar mandi hanya untuk menyanyikan 1 album lagu Ungu sambil gosok gigi. Lakukan saja yang membuat kita bahagia, merasa damai, dan tenteram. Tak perlu mengambil bagian dalam semua kompetisi. Lentur saja seperti air yang mengalir terus menuju samudera kebahagiaan.
Selamat bersantai!

Jumat, 11 September 2009

Bertemu Perpisahan..


Akhir-akhir ini aku ingin sekali menulis tentang perpisahan. Mungkin karena sesaat lagi aku akan "berpisah" dengan beberapa orang yang selama 4 tahun ini menemaniku memasuki lorong-lorong waktu kehidupan dalam suka dan duka (baca : C23)

Banyak orang yang takut berpisah, tidak sedikit pula yang memang mengharapkannya, dan sisanya tidak terlalu ambil pusing dengan momen ini. Semua reaksi itu tentu saja tergantung kualitas pertemuan yang terjadi dan momen-momen yang terjalin setelahnya. Ada pertemuan yang begitu indahnya, sampai pada akhirnya berujung pada air mata dan lambaian tangan yang lembut. Ada juga yang begitu buruknya, sampai pada akhirnya berujung pada satu napas kelegaan disertai sebuah kalimat, "syukur deh aku nggak ketemu lagi!". Itulah hidup, selalu ada dua sisi yang begitu sulit untuk dipisahkan. Ada suka dan duka, ada gelap yang berganti terang, dan ada awal yang berujung akhir. Bertumpu pada dualitas ini, Kahlil Gibran pernah menulis, "tatkala kita bercengkrama dengan kebahagiaan di ruang tamu, kesedihan sedang menunggu di tempat tidur".
Terlepas dari kebahagiaan dan kesedihan, selalu ada alasan kenapa kita dipertemukan dalam satu ruang dan satu waktu, dan perpisahan menjadi satu momen penyadaran bahwa begitu indahnya memberi dalam hidup. Hal yang begitu menyedihkan adalah apabila kita berada pada satu titik perpisahan dan sadar dengan sepenuhnya bahwa waktu begitu cepat berlalu tanpa kita pernah memberikan sesuatu yang berarti selama momen-momen pertemuan. Kepala Sekolah Laskar Pelangi pun selalu berujar bahwa hidup itu untuk memberi sebanyak-banyaknya. Tidak harus dengan harta, cinta pun bisa (pasti udah ada yang mulai pusing, mual, dan pasti ada yang tersenyum kecil (",)).
Pertemuanlah yang menyebabkan perpisahan. Seandainya kita tidak pernah bertemu, pasti kita tidak akan berpisah. Jadi, yang patut disalahkan untuk setiap butir air mata yang kita keluarkan saat berpisah adalah pertemuan. Dan ini akan menjadi unik ketika 2 orang yang baru pertama kali bertemu saling menangis satu sama lain, karena menyadari akan adanya perpisahan, sambil berjabat tangan dan mengucapkan namanya masing-masing (kalo belum ketawa, baca ulang lagi!).
Dan sebagai penutup tulisan ini, aku ingin berpesan; jika matahari adalah kebahagiaan dan hujan adalah kesedihan, maka kita membutuhkan keduanya untuk dapat melihat indahnya pelangi. Anggaplah pertemuan dan perpisahan layaknya 2 insan yang saling mencintai dan melahirkan seorang anak yang diberi nama kenangan indah.
NB: Terima kasih atas semua kenangan indah yang terlahir dari pertemuan dan perpisahan kita, Chemistry 23.

Keputih, 10.30 WITS
selsurya.blogspot.com