Selasa, 26 Januari 2010

Cilacap Part 2

Lanjutan dari Cilacap Part 1 (Kenangan Sebuah Perjalanan)!
Setelah puas berfoto-foto ria di telaga sunyi, perjalanan dilanjutkan ke Pancuran Tiga. Perjalanan ke Pancuran Tiga tidak kalah mengenaskan. Jembatan Gantung yang sudah direparasi tidak luput dari pandangan selama menyusuri jalan menuju Pancuran Tiga. Naik turun tangga membuat kakiku terasa ngilu. Lima puluh meter sebelum Pancuran Tiga ada sebuah tempat pemberhentian sementara. Kita semua beristirahat sebentar disana sambil melihat foto-foto yang banyak tertempel di dinding. Di tempat tujuan, banyak sekali orang-orang yang sedang berendam dengan santainya. Mungkin mereka percaya bahwa semua penat, lelah, dan rasa jenuh akan menguap bersama uap air hangat yang mereka pakai untuk berendam. Semoga saja. Secara perlahan aku mendekati sebuah tempat...dan ternyata disana terdapat tiga buat pancuran yang mengeluarkan air hangat. Tempatnya juga khusus, agak menjorok ke bawah. Namun, yang membuat semua penderitaan perjalananku tidak terbayarkan adalah : KETIGA PANCURAN ITU BUATAN MANUSIA!!!!! TIDAK ALAMI SAMA SEKALI!!!!


Badanku langsung remuk redam, luluh lantah tak berdaya. Lelahku selama perjalanan langsung mengumpul menjadi satu. Berbeda dengan Pancuran Tujuh yang sangat alami, Pancuran Tiga dibuat oleh tangan manusia dari semen dan sejenisnya, sehingga dihasilkan tiga pancuran yang kesemuanya memancurkan air hangat dan memancurkan amarahku!! Sabar...sabar...!

Setelah dari Pancuran Tiga, kita semua langsung menuju tempat makan soto di dekat salah satu Bank yang ada di Purwokerto. Tempatnya sebenarnya biasa saja. Satu porsi soto dihargai 6 ribu rupiah. Yang membuat kita semua terpana adalah orang-orang yang pernah mengunjungi tempat makan ini. Orang-orang itu diantaranya: Doni Sibarani (Ada Band), Dewa Budjana (Gigi), mantan Menteri Perhubungan yang khas dengan kepala botaknya, almarhum Taufik Safalas, dan Komar (Empat Sekawan). Pasti sotonya enak kalau sudah dikunjungi oleh banyak orang terkenal.

Soto datang tepat setelah alarm perutku berbunyi. Penampilannya penuh warna...!! Ada kerupuk yang berwarna merah, ada juga yang kuning, seperti lagu balonku ada sepuluh. Yang khas lagi, sambalnya menggunakan sambal kacang. Tehnya merupakan teh yang baik untuk kesehatan, yaitu teh yang tidak mengandung gula sama sekali. Satu hal saja yang membuat soto ini tidak bernilai sempurna, porsinya terlalu sedikit bagi anak kost seperti aku. Hanya beberapa suap saja, piring sudah bersih dari soto...!

Setelah kenyang, kita semua langsung kembali ke rumahnya si Om. Mas Eko langsung pulang setelah mengantar kita semua sampai rumah. Sepertinya badannya Mas Eko harus segera diistirahatkan di rumah. Kita pun beristirahat di rumah sambil mengenang indahnya perjalanan tadi.

Hari selanjutnya kita jalan-jalan ke Teluk Penyu. Kita berangkat pagi hari dari rumahnya si Om, sekitar jam 6. Supir kita kali ini adalah Dedi. Walaupun baru SMA, Dedi sudah lumayan handal menyetir. Nama lokasinya cukup bagus, tapi sayang disana sama sekali tidak ada penyu. Cuaca agak mendung sewaktu kita kesana. Pemandangannya lumayan indah, bersih, dan airnya sedang pasang. Seandainya cuaca agak bersahabat, mungkin kita berenam sudah sampai di Nusa Kambangan. Sayang sekali, kita hanya bisa melihat Nusa Kambangan dari jarak puluhan kilometer dari Teluk Penyu.



Dari Teluk Penyu kita kembali ke rumah si Om. Setelah menuntaskan kebutuhan jasmani di ruang makan, kita langsung mandi dan tidak lupa gosok gigi. Setelah ganteng, kita meluncur menuju Benteng Pendem. Bentengnya lumayan luas. Nuansa perangnya terasa. Ada banyak terowongan disana. Ada ruang peluru, ruang amunisi, penjara, dan banyak lagi. Jangan menyuruhku menjelaskan sejarah benteng ini, si Om saja, sebagai penduduk pribumi, tidak tahu. Setelah santai-santai di tepian pantai sambil minum es degan, kita semua pulang ke markas. Pulang untuk meninggalkan Cilacap dan kembali ke Surabaya. Namun, suatu saat kita pasti kembali lagi. Aku yakin.



Terima kasih untuk semua pengalaman ini, A2. Mudah-mudahan kita masih bisa merasakan nikmatnya berjalan-jalan dengan sedikit rencana, sedikit biaya, banyak bercanda, dan banyak berdoa. Semoga sukses selalu untuk kalian!

Cilacap Part 1 (Kenangan Sebuah Perjalanan)


20-24 Juni 2008

Perjalanan dimulai lagi. Selalu dengan sedikit rencana dan sedikit biaya. Oleh karena itu, aku, Dani, Daus, Mushlik, dan si Om memilih kereta ekonomi sebagai alat transportasi. Kita sampai di stasiun Gumilir sekitar jam 9 malam setelah sebelumnya sempat hampir turun di stasiun Karangandri karena si Om sudah kangen berat dengan ibu bapaknya. Sampai di stasiun, kita semua disambut orang tuanya si Om. Bapaknya persis sekali dengan si Om. Ibunya terlihat sebagai sosok yang selalu ceria. Kita berlima menuju jalan Bisma dengan avanza silver. Rumahnya si Om berlantai dua. Tentu saja ini yang dinanti-nanti anak-anak, tidur di lantai dua dan bisa genjrang-genjreng sepuasnya. Kamar di lantai dua lumayan luas. Ada gitar akustik, kasur, bantal, gitar elektrik, bas, drum, sofa, tali jemuran, dan yang paling menjengkelkan lagi adalah ada TV. Anak-anak pasti nonton EURO sambil teriak-teriak. Dan yang paling menderita adalah aku karena sepak bola bukan obsesiku dan terjaga di malam hari bukanlah pekerjaan mudah.

Di rumahnya si Om ada kakak ceweknya, namanya Neti. Mbak Neti kuliah di UPN Yogya jurusan teknik kimia. Adik laki-lakinya si Om namanya Dedi. Agak langsing kalau dibandingkan dengan si Om dan lebih gaul..maklum, masih SMA. Satu perbedaan yang paling mendasar antara si Om dan Dedi adalah Dedi punya pacar, sedangkan si Om ....(lanjutin sendiri!)

Malam pertama di Cilacap dilalui dengan tidur nyenyak. Aku tidur di sofa, sedangkan anak-anak yang lain lebih nyaman di kasur bawah. Mungkin tidur kita bakal lebih nyenyak seandainya saja kita berempat tidak mengalami penyakit murahan setelah berjam-jam berada dalam kereta ekonomi dan membiarkan jendela kereta terbuka selama perjalanan. Berdasarkan kesepakatan negara-negara berkembang, nama penyakit ini adalah: “enter wind”. Sang Bayu dengan puas bersenandung di dalam perut kita berempat. Kenapa hanya berempat? Satu-satunya orang yang tidak terserang penyakit memalukan ini adalah si Om. Mungkin juga ini adalah efek kebahagiaan pulang kampung dan bertemu keluarga tercinta. Aku baru percaya bahwa kebahagiaan adalah obat terbaik.

Suasana pagi di Cilacap sangat sejuk. Adem-ayem dan cocok dengan suasana hati. Bisa jadi satu lagu nih disini...hehe. Ibunya si Om baik sekali. Pagi-pagi sudah membuatkan teh untuk kita dan tidak lupa juga menyajikan sarapan pagi. Masakannya mengundang lidah untuk bergoyang, walaupun bukan masakan padang. Aku jadi rindu masakan ibu. Sudah lama tidak merasakannya lagi. Dua makanan yang berasal dari Cilacap dan akan teringat seumur hidupku adalah mendoan dan tahu berontak. Rasa dua gorengan ini: ”Ajip banget, Om...!”

Jam 10 siang kita berangkat ke Purwokerto. Sang supir bernama Mas Eko. Mas Eko adalah teman akrabnya si Om dan rumahnya tidak terlampau jauh dari rumahnya si Om. Dedi juga ikut serta dalam kegilaan kita. Di jalan, kita sempat melihat waduk Serayu yang lumayan luas. Perjalanan ke Purwokerto ditempuh selama 2 jam. Kita langsung mengunjungi objek wisata Batur Raden. Masuk ke tempat wisata tentu saja mengharuskan kita semua merogoh kocek. Satu kepala harus membayar 15 ribu rupiah untuk semua objek wisata yang ada disana.


Objek wisata pertama bernama Pancuran Tujuh. Tempatnya bagitu memukau. Memang ada tujuh pancuran air hangat disana. Mungkin dulu ada tujuh bidadari yang sempat mampir di tempat seperti ini. Aku sangat menyesal tidak mempelajari sejarah dengan baik. Sulfur sudah jadi pemandangan biasa disana. Mineral yang satu ini selalu ada di tempat-tempat pemandian air hangat yang alami. Ada juga bubuk sulfur yang dijual untuk obat seharga 500-1000 rupiah per plastik. Secara umum, jalan menuju Pancuran Tujuh berliku-liku dan banyak pohonnya. Maklum saja, karena kawasan ini adalah kawasan hutan.



Jalan-jalan di area Pancuran Tujuh lumayan membuat capek. Mas Eko juga menyerah dan langsung memesan satu cangkir kopi untuk memulihkan kembali energinya. Anak-anak tidak mau kalah. Aku dan anak-anak langsung menyantap makanan yang tidak bosan-bosannya kami nikmati selama perjalanan ini. Makanan itu adalah MENDOAN!!


Perjalanan dilanjutkan ke lokasi kedua, yaitu Telaga Sunyi. Perjalanan ke telaga cukup menanjak. Untung saja kita semua berada di dalam sebuah benda yang oleh masyarakat Indonesia lebih dikenal sebagai mobil. Perjalanan hanya tentang memutar-mutar benda bulat di hadapan pengendara, menginjak gas dan rem, serta menggerakkan tongkat pendek yang terletak di samping kirinya. Di sepanjang jalan ditemukan banyak terparkir sepada motor yang ditinggal begitu saja oleh pengendaranya. Tempat parkirnya cukup strategis karena bersebelahan dengan semak belukar. Setelah perjalanan yang berliku, kita sampai juga di Telaga Sunyi. Pemandangannya sip, Bro!! Indonesia masih kaya akan objek-objek wisata eksotis. Air telaga begitu dingin, jernih – seolah tidak berusaha menyembunyikan apapun di dalamnya. Gemericik suara air begitu syahdu terdengar telinga. Tuhan, terima kasih atas anugerah-Mu.

Lanjutannya di Cilacap Part 2..!

Minggu, 17 Januari 2010

Dilarang atau Terimakasih


Sewaktu kanak-kanak, seringkali aku dilarang untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya ingin sekali aku lakukan. Larangan itu biasanya datang dari ibunda, ayahnda, kakek-nenek, om-tante, guru-guru, dan teman-teman akrab. Larangan mereka mungkin merupakan perwujudan rasa sayang, namun satu hal yang selalu tertanam dalam otak sebagian anak kecil adalah "Semakin Dilarang, Semakin Penasaran." Larangan pertama mungkin bisa menghentikan langkahku karena tidak jarang disertai dengan bentakan dan munculnya dua jari tangan kanan berbentuk capit yang siap menjewer telingaku. Namun, hal ini tidak begitu ampuh untuk menghentikan langkah selanjutnya. Bila langkah selanjutnya tidak berhasil juga, dengan terpaksa aku mengeluarkan jurus andalan terakhir, yaitu menangis sekeras-kerasnya agar seluruh orang disekelilingku iba dan prihatin. Syukur-syukur kalau ada seorang ibu yang tiba-tiba menghampiri sambil membawakan sebatang coklat agar aku berhenti menangis. Itulah anak kecil. Seringkali tindakannya hanya untuk mendapat perhatian orang lain agar keinginannya terpenuhi.

Terkadang sulit bagi kita, sewaktu kanak-kanak, memahami maksud orang dewasa melarang kita melakukan aktivitas tertentu. Selalu ada satu pertanyaan mendasar dalam hati, "Kenapa hal tersebut dilarang?" Walaupun sudah ada alasan, tetap saja aku belum menemukan korelasi yang tepat antara nasi yang masih tersisa di atas piring dengan kematian seekor ayam. Aku juga belum pernah menemukan pohon yang tumbuh dalam perut seorang anak karena sebelumnya menelan sebutir biji jeruk. Aku rasa, lidahku tidak memanjang setelah aku mengumpat atau berbohong. Dan aku masih penasaran, kapan tangan kanan kita ini diberi predikat tangan manis.

Pernah suatu ketika aku menghadiri sebuah acara pelatihan sumber daya manusia. Ketika istirahat, pada layar proyektor tertulis begitu anggunnya sebuah larangan: "Terimakasih karena Anda tidak Mengaktifkan Handphone." Seketika itu juga, aku langsung mamatikan handphone yang berada di kantong celana. Itu adalah sebuah peringatan yang berisi larangan untuk mengaktifkan handphone, tapi ditulis dengan energi yang sangat positif. Rasanya tidak ada alasan untuk tidak melakukan hal yang diperintahkan. Ada kesejukan dalam hati. Seandainya semua larangan ditulis atau disampaikan dengan cara demikian, aku yakin akan mampu mengurangi peluang dilakukannya tindakan-tindakan yang menyimpang dari yang diperingatkan. Bagiku, ada dua kata yang memiliki energi positif sangat tinggi, yaitu "cinta" dan "terimakasih". Kedua kata positif ini mampu memberikan kedamaian, bukan saja untuk diri sendiri, tapi juga semua orang di dunia ini.

Seiring berjalannya waktu, kita semakin tahu tentang dikotomi benar-salah, baik-buruk, pantas-tidak pantas, tetapi semakin enggan untuk mempertanyakan alasan dibalik kebenaran dan kesalahan itu. Banyak orang tahu sesuatu itu salah atau benar, pantas atau tidak untuk dilakukan, tetapi tidak mengerti mengapa bisa demikian. Kitab suci menuliskan begitu, orang banyak berpendapat sama, dan aku malas harus berbeda dari yang lain adalah alasan-alasan klise. Bukannya ingin mengajarkan bagaimana menyimpang dari ajaran agama, norma, atau aturan yang sudah ada, hanya ingin berbagi bahwa kreativitas itu muncul bukan karena kita selalu mengikuti kebiasaan-kebiasaan umum. Kita tidak akan menjadi orang yang khusus bila selalu menggunakan cara-cara umum. Jangan pernah takut berbeda karena yakinlah yang terbaik itu pasti berbeda. Bebaskan pikiran kita untuk bereksplorasi dengan hal-hal baru. Jangan kurung pikiran itu dengan keengganan melakukan sesuatu karena takut berbuat salah. Dan tetaplah jadi diri sendiri. Hiduplah dengan standar-standar kebahagiaan yang kita tentukan sendiri, bukan yang ditentukan orang lain untuk kita. Kita mungkin sering melakukan kesalahan pada waktu mencoba sesuatu, tetapi itu lebih berharga dibandingkan kita tidak melakukan apapun. Pengalaman adalah guru segalanya. Pada akhirnya, kita akan menjadi pribadi yang unik, mempunyai gaya sendiri, lain dari yang lain, dan memiliki karakter yang kuat. Semoga bermanfaat.


17 Januari 2010, selsurya.blogspot.com

Minggu, 10 Januari 2010

Kesempatan Adalah Sebuah Reaktan


Hidup yang kita jalani saat ini adalah sebuah kesempatan. Kesempatan untuk memberi manfaat bagi sesama seraya mendekatkan diri kepada Yang Maha Tinggi. Satu ciri khas sebuah kesempatan adalah adanya batas waktu. Dengan kata lain, kesempatan selalu terbatas. Ini yang harus kita sadari. Terbatasnya kesempatan mengharuskan kita memberikan usaha-usaha terbaik untuk memanfaatkannya, bukan malah menjadi pribadi manja yang hanya bisa mengeluh. Mengeluh itu hanya memperbesar ukuran keringat.
Banyak orang mengatakan bahwa kesempatan tidak datang dua kali. Namun, ada sebagian lagi yang didatangi kesempatan yang sama berulang kali. Memang ada kesempatan yang datang hanya sekali seumur hidup. Ada juga yang datang berkali-kali. Bagiku, tidak penting seberapa sering kesempatan itu datang. Yang terpenting adalah kesadaran kita akan kehadirannya dan berusaha menyambutnya dengan segenap usaha. Kesempatan adalah salah satu reaktan keberuntungan. Keberuntungan terbentuk karena reaksi yang sempurna antara kesempatan, persiapan, dan usaha. Dengan tambahan doa sebagai katalis, maka hidup adalah sebuah keajaiban. Kita seringkali mengharap keajaiban datang setiap berhadapan dengan masalah tanpa menyadari bahwa kehidupan yang kita jalani saat ini adalah sebuah keajaiban. Masalah itu justru hadir untuk melapangkan hati kita agar mampu menerima anugerah yang lebih besar lagi. Ada perbedaan paling mendasar antara orang optimis dan pesimis, yaitu perbedaan cara pandang mengenai masalah. Orang optimis memandang masalah sebagai sebuah kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri, namun orang pesimis memandangnya dengan cara terbalik, setiap kesempatan selalu dianggap masalah. Menjadi salah satu diantaranya adalah sebuah pilihan.
Kadangkala kita berada pada satu titik dimana kita berhadapan langsung dengan dua atau lebih pilihan yang sulit. Sulit karena kesemuanya itu memberikan kesempatan yang sama untuk dapat meningkatkan kualitas diri. Sulit juga karena dengan memilih salah satu berarti juga mengorbankan yang lainnya. Ingin berlari tetapi tidak mampu. Memutuskan diam, namun tidak nyaman. Kemudian doa terlantun begitu indahnya, bahkan lebih panjang dari biasanya. Seseorang pernah mengajarkan bahwa cara terbaik membuat keputusan dari pilihan-pilihan yang sulit adalah dengan mendekatkan kematian. Kematian, yang entah kapan itu, didekatkan secara perlahan untuk memicu pikiran dan hati kita memberikan stimulus-stimulus positif yang mengarah pada keputusan terbaik. Terbaik bagi kehidupan di dunia, maupun kelak. Memang sedikit menyeramkan, tapi tidak ada salahnya dicoba karena toh hanya pengandaian saja. Setidaknya, dengan mendekatkan kematian, kita akan semakin menyadari bahwa hidup bukan hanya urusan perut saja. Bukan hanya tentang kekuasaan saja. Bukan juga melulu tentang uang. Uang memang penting. Namun, sifat materinya hanya bisa didekatkan dengan sifat materi lain, bukan dengan energi. Uang bisa digunakan untuk membeli rumah, mobil mewah, kasur yang empuk, dan makanan yang nikmat (materi), tetapi tidak bisa digunakan untuk membeli persahabatan, persaudaraan, kenyamanan, kebahagiaan, keikhlasan, dan umur panjang, apalagi cinta (energi).
Mudah-mudahan semua keputusan dan tindakan yang kita ambil untuk setiap kesempatan yang hadir memberi warna tersendiri dalam hidup. Warna-warna yang pada akhirnya membentuk satu lukisan kebijaksanaan diri yang menawan. Semoga bermanfaat.



Terima kasih kepada Ibunda dan Ayahnda yang sangat menghargai keputusan yang telah aku ambil. Mudah-mudahan bisa menjadi berkah bagi keluarga. Amien.