Sabtu, 27 Maret 2010

Memudahkan atau Membutakan


“Aku boring banget hari ini,” keluh seorang rekan pada suatu siang. Ekspresinya jauh dari bahagia. Jangankan untuk senyum, menghilangkan lekukan diantara kedua alisnya saja dia tidak mampu. Lain lagi denganku. Bagiku ini sangat lucu. Aku sering sekali mendengar dan melihat orang lain memuji dirinya sendiri, tetapi baru kali ini mendengar seseorang menghina dirinya sendiri. Dalam kamus Inggris-Indonesia, ternyata arti kata boring adalah membosankan, sedangkan untuk kata bosan diartikan sama dengan bored. Doesn’t matter, friend! Tidak ada orang yang melarang untuk berekspresi dengan perpaduan dua bahasa seperti ini.

Penguasaan bahasa Inggris memang sangat penting di jaman sekarang ini. Cara tercepat mempelajari bahasa yaitu dengan mempraktekkannya dalam percakapan sehari-hari. Teknik belajar seperti ini dikenal dengan nama yang cukup rumit, yakni “learning by doing”. Karena keinginan yang kuat dari generasi muda saat ini, maka tidak jarang percakapan sehari-hari diwarnai perpaduan beragam bahasa dari beragam daerah dan Negara. Kata “sory” saat ini lebih populer dibandingkan kata “maaf”. Begitu juga yang terjadi dengan kata “thanks” yang telah berhasil menggeser kata “terimakasih” di posisi yang cukup terpuruk. Ribuan anak muda kini telah biasa mengunduh file bertipe MP3, walaupun hanya sedikit yang tahu bahwa kepanjangannya adalah Motion Picture Experts Group, Audio Layer 3. Yang lain masih agak ragu menjawab bahwa kepanjangan JPEG adalah Joint Photographic Experts Group. Ada juga yang masih belum yakin bahwa PDF adalah singkatan dari Portable Document Format. Sisanya tetap saja bingung arti kata “calculate”, walaupun setiap hari membawa kalkulator untuk menghitung.

Singkatan-singkatan seperti tersebut diatas ditujukan untuk memudahkan penyebutan suatu hal yang terlampau panjang dan rumit. Namun, tidak jarang singkatan-singkatan itu, karena terlampau sering diucapkan, menjadi pengabur makna sebenarnya. Singkatan tersebut telah menjadi nama yang lebih populer dibandingkan kepanjangannya. Jarang sekali orang yang berkata warung telepon atau warung international networking karena tentu saja ada yang lebih singkat. Tentu juga sangat repot bila harus mengatakan, “Wah, aku baru saja mendapatkan short message service dari teman Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dulu”. Bila ada yang lebih singkat, tidak perlu diperlambat. Oleh karena itu, saat ini seringkali muncul cara-cara atau metode-metode singkat. Hampir seluruh lembaga bimbingan belajar menawarkan rumus-rumus cepat mata pelajaran eksakta. Itu strategi yang cukup efektif untuk menghemat waktu dalam rangka penyelesaian ujian akhir. Namun, belajar tidak berakhir di kertas ujian atau ijasah. Belajar masih harus terus berlanjut hingga akhir hayat. Maka dari itu, tidak cukup dengan tahu cara-cara cepat itu, kita juga harus mengenal konsep dasarnya agar dapat mengembangkan sesuatu yang baru.

Masih banyak hal yang harus kita pelajari. Masih banyak konsep yang bisa kita ramu. Masih banyak cara-cara singkat yang terlahir dari analisis panjang pola pikir kritis. Terbuka untuk hal-hal baru tentu saja lebih baik dibandingkan tidak mau menerima apapun dan mempertahankan cara-cara lama yang tidak lagi relevan. Tidak semua jalan pintas itu pantas, tetapi yang terburuk adalah mengatakan bahwa “semakin banyak belajar, semakin banyak lupa”. Tetap semangat belajar kawan-kawan…!!
Semoga bermanfaat!

Rabu, 24 Maret 2010

Peluitmu, Deritaku


Kemandirian adalah hal yang paling diasah ketika kita jauh dari keluarga dan hidup merantau. Menghuni sebuah tempat yang sama dengan beberapa orang yang tidak dikenal sebelumnya. Tempat yang bernama kost-kostan itu telah akrab dengan hidupku selama 4,5 tahun belakangan ini. Mulai dari kuliah, hingga bekerja saat ini, aku menghuni kost-kostan dan bertemu dengan orang-orang yang memiliki beraneka karakter. Mulai dari yang senang berada di dalam kamar hingga yang jarang pulang ke kost. Mulai dari yang lama di kamar mandi sampai yang lama di tempat tidur. Mulai dari yang senang mendengarkan lagu sedih sampai yang senang nonton film Korea. Mulai dari yang rajin bayar uang koran dan kost hingga yang kurang rajin. Mereka semua telah berhasil menambah khasanah pergaulanku. Terima kasih teman-teman.

Sebagai seorang penghuni kost yang kurang handal dalam hal masak-memasak, aku mempercayakan menu makananku pada koki-koki warung tenda. Bukannya aku tidak suka masakan restoran, tetapi karena urusan perut dekat sekali hubungannya dengan urusan kantong, aku harus pandai-pandai memanfaatkan setiap momen agar tidak kelabakan di akhir bulan. Memang tidak semua makanan yang disajikan di warung tenda memenuhi standar kesehatan ahli-ahli gizi. Ada kalanya sakit perut mendera dan diare tak terhentikan. Berbekal pengalaman itu, aku lebih berhati-hati memilih lokasi warung tenda sebagai tempat makan. Selain berhubungan dengan urusan kantong, warung tenda adalah tempat yang nyaman untuk membicarakan hal-hal ringan bersama teman-teman akrab. Tertawa terbahak-bahak tanpa ada yang merasa dirugikan, makan dengan tangan tanpa ada yang merasa jijik, dan berbagi dengan pengamen tanpa pernah mengomentari suaranya yang jauh sekali dari harapan pendengar.

Kegemaran mengunjungi warung tenda inilah yang membuatku semakin akrab dengan profesi yang satu ini. Bukan ahli masak, bukan juga ahli gitar bolong, tapi ahli atur kendaraan. Profesi terhormat ini dikenal masyarakat dengan sebutan juru parkir. Berbekal peluit dan beberapa lembar karcis parkir, profesi ini cukup menjanjikan dari segi finansial, apalagi bila dilakukan pada area-area padat pengunjung. Sampai sekarang pun aku tidak tahu berapa biaya parkir sepeda motor yang paling pas. Pas di kantong, pas juga di hati. Beberapa juru parkir mengucapkan terima kasih ketika diberi uang receh 500 rupiah. Beberapa lagi menerima dan memasukkan uang seribu rupiah dengan pelan ke saku celananya, kemudian membuang muka sambil menoleh kanan-kiri. Ada juga yang dengan tegas mengatakan “kurang Mas, seribu!” Sisanya menerima uang seribu, kemudian berlalu tanpa ingat bahwa masih ada motor yang harus diselamatkan dari himpitan motor-motor yang lain. Belum lagi “preman-preman parkir” yang dengan tega meniup peluit dari jarak puluhan meter tanpa memberikan karcis parkir sebelumnya atau orang yang tiba-tiba berdiri di samping kendaraan ketika kita hendak pergi, seolah-olah menunggu kita mengeluarkan uang seribu rupiah, bahkan tanpa membawa peluit. Seandainya semua juru parkir ini dilengkapi dengan identitas berupa baju seragam, peluit, dan karcis parkir yang resmi, tentu aku tidak akan mengomel dalam hati setelah memberi uang seribu rupiah. Kita sama-sama cari makan, tapi jangan saling merugikan. Memang tidak semua juru parkir demikian, ada juga yang bekerja dengan begitu profesionalnya.

Memperbaiki keadaan memang tidak sesederhana membaca koran, harus ada tindakan nyata. Pemerintah kota, daerah, dan aparat keamanan diharapkan memberikan perhatian terhadap hal-hal semacam ini. Tentu saja dengan dukungan segenap warga masyarakat. Pemberian atribut parkir tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kita bisa berupaya memaksimalkan potensi yang ada di daerah, membayar pajak tepat waktu, dan usaha-usaha lain yang berakibat secara langsung terhadap peningkatan pendapatan daerah. Dana inilah yang nantinya diharapkan bisa membantu program tersebut agar terealisasi dan berjalan dengan baik.

Di jaman sekarang memang banyak orang berlomba-lomba mencari pekerjaan. Ada yang dilengkapi dengan ijasah SMA, STM, S1, dan S yang lainnya. Patut disyukuri bila saat ini telah mendapatkan tempat yang memberikan ruang untuk berkreasi dan berkarya. Namun, bila belum, tetaplah berusaha dan berdoa, jangan merugikan orang lain. Tindakan premanisme tidak menyelesaikan masalah, justru itulah masalahnya. Jadilah orang-orang terhormat yang karena profesinya memberikan manfaat bagi orang lain. Sebagai penutup, selamat bekerja para juru parkir Indonesia!!
Semoga bermanfaat.

Minggu, 21 Maret 2010

Mimpi dan Angin


Beberapa hari yang lalu, aku menghubungi seorang kerabat. Sudah lama juga tidak berjumpa dan saling menanyakan kabar. Karena menggunakan kartu SIM yang sama, tarif telepon cukup bersahabat dengan kantong. Apalagi pagi hari adalah waktu yang tepat untuk merealisasikan niat mulia ini. Namun, sungguh mengejutkan, kalimat sambutannya bagai petir di pagi hari. Mungkin hal ini sering dialami oleh sebagian besar diantara kita, namun tidak pernah menjadi persoalan karena merupakan hal wajar yang bisa terjadi dalam hubungan persahabatan atau kekeluargaan. Kalimat tanya yang tersohor itu adalah : “Wah, mimpi apa nih pagi-pagi udah nelpon?”. Ada juga satu kalimat tanya yang maknanya hampir sama, yakni : “Wuah!! Ada angin apa sampe bela-belain nelpon pagi-pagi?”

Kedua kalimat tersebut cukup unik dari segi komposisinya. Kalimat pertanyaan yang sama sekali tidak membutuhkan jawaban. Hanya ungkapan kekaguman atau keheranan seseorang yang sudah lama tidak kita jumpai atau hubungi. Namun, kenapa harus mimpi? Ada apa juga dengan angin? Kenapa harus dua hal ini yang menunjukkan keheranan seseorang? Tidakkah lebih baik menanyakan kabar orang yang menghubungi dibandingkan menanyakan mimpi atau angin?

Keterkejutan seringkali membawa kita pada suatu dimensi yang aneh. Logika terguncang dan kadangkala membuahkan hasil berupa pertanyaan-pertanyaan yang lucu. Seperti kasus di atas, jelas sekali bahwa pertanyaan-pertanyaan itu hadir karena adanya suatu keterkejutan, sehingga untuk menanyakan kabar saja harus berputar-putar menanyakan mimpi dan angin.

Hidup itu penuh dengan kejutan yang tak terduga. Bagi yang siap menghadapi semua kejutan itu, mungkin bisa bersikap tenang. Namun, bagi yang tidak siap, inilah yang menjadi persoalan. Bagaimana kita menyiapkan diri terhadap hal-hal yang masih menjadi misteri? Tidak seorang pun tahu apa yang akan terjadi beberapa menit ke depan, besok, atau lusa. Lalu, untuk apa kita mempersiapkan diri? Lebih baik mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya hari ini karena hidup tak kan pernah bisa terulang. Pikiran tersebut tidak salah, hanya saja masih harus dikembangkan lagi agar hidup ini benar-benar dirasakan sebagai anugerah. Tidak ada seorang pun yang ingin hidup hanya pada hari ini saja. Semua ingin umur yang panjang, rezeki yang berlimpah, dan kesehatan yang membawa berkah. Oleh karena itu, kita harus memiliki rencana-rencana yang membawa kita pada tujuan yang kita inginkan. Rencana-rencana itulah yang akan menghindari kita dari “keterkejutan-keterkejutan” yang dapat mengguncangkan logika dan perasaan.

Hidup ini adalah anugerah, tapi bukan berarti tanpa masalah. Banyak orang yang terpukul, terguncang emosinya, dan sedih yang berkepanjangan karena menghadapi sesuatu hal, bukan karena jarang bersyukur, tetapi karena tidak siap dengan kejutan yang hadir. Kita memang tidak memiliki kewenangan untuk memodifikasi takdir, tetapi kita tidak dilarang untuk memperbaiki nasib, tentu saja dengan usaha dan doa. Mungkin terlalu ideal bila kita berbicara tentang usaha, doa, dan kesuksesan. Banyak orang telah berusaha maksimal dan berdoa panjang-lebar, namun tetap tidak bisa merubah kondisi apapun. Inilah gunanya belajar. Menyerap sesuatu yang baru setiap hari dan mengaplikasikannya secara langsung. Tidak cukup dengan berkerja keras banting tulang, kita harus mampu mengelola akal agar mampu bekerja dengan cerdas dan penuh perhitungan. Memang tidak semua hal yang bisa dihitung, pantas untuk dihitung, tapi alangkah baiknya kita tidak mengenyampingkan logika dalam bekerja dan berkarya. Setelah segenap usaha dan doa kita persembahkan, barulah hasilnya kita pasrahkan kepada Sang Pemberi Rezeki itu.

Bermimpilah, berencanalah, dan wujudkanlah semua niat baik itu, serta bungkus rapi dengan doa. Kita memang tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, memiliki apa yang kita cintai, dan meraih apa yang kita cita-citakan, tetapi yakinlah ada Tangan Maha Lembut yang akan mengantarkan kita menuju gerbang keikhlasan untuk setiap usaha yang fokus, doa yang tulus, dan kesabaran dalam penantian. Jangan pernah pasrahkan mimpi-mimpi kita kepada angin yang berhembus di luar sana. Sekencang apapun angin itu tidak akan mampu mengantarkan mimpi kita pada realitasnya. Kebahagiaan itu hadir bukan karena reaksi antara mimpi dan angin, tetapi keselarasan antara rencana bumi dan rencana langit. Jadi, bukan “ada angin apa” atau “mimpi apa tadi malam”, tetapi “senang sekali hari ini, bagaimana kabarnya?”
Semoga bermanfaat.