Kamis, 26 Agustus 2010

Engkau seperti...


Sekian lama sudah kujejaki langkah di bumi
mencoba berdamai dengan sesuatu yang kusebut takdir..
mencoba menguak banyak hal yang tersembunyi
di balik paparan foton matahari..
di balik keangkuhan selubung awan di langit..
di balik harmoni aliran air..
dan di balik rintihan hujan dari langit..
dengan pikirku..

Dan diantara semua keindahan itu
Engkau hadir..
Dengan seribu bias yang sulit untuk kumengerti..
tak mudah untuk kupahami..
Sekalipun demikian, engkau tetap dalam eksistensimu..
Tak tahu Engkau yang menemukanku
atau bahkan Aku yang menemukanmu..
Namun, aku percaya ada yang mempertemukan kita..
Dalam dimensi ini

Dan bagiku
Engkau seperti..
Angin kencang yang mengoyak ombak gelisah
pada samudera hatiku..
Sebuah frekuensi yang menggetarkan
relung atom jiwaku..
Dan butir-butir air yang terjun dari sebuah tebing,
mencoba mengikis bebatuan kesombanganku..
Dan dalam semua gejolak ini,
aku berharap Engkau adalah sebuah elektron
yang pada akhirnya bertahta pada singgasana orbital kosongku..itu saja..

Gresik, 26 Agustus 2010

Rabu, 25 Agustus 2010

WAHAI ENGKAU WAKTU


Wahai engkau yang begitu angkuh,
yang tak pernah berhenti berjalan sekalipun engkau tahu
aku telah lama mengikutimu..
bertahun-tahun, hingga kini..
Tak tahu dari mana asalmu,
kemana tujuanmu, dan untuk apa engkau ada,
tapi keadaan seolah memaksaku untuk bisa mengikutimu..

Perlahan, namun pasti..
Jantungku berdetak, langkahmu berdetik,
Terkadang kita seirama..
Terkadang engkau seolah berjalan
lebih cepat, menggilas asaku, menggilas mimpiku..
Terkadang lagi engkau begitu lambat,
sehingga ingin kudorong saja tubuhmu yang gemuk ini..
Sebenarnya siapa yang tidak konsisten?
Aku atau dirimu?
Langkahku atau langkahmu?

Sungguh curang dirimu ini..
Engkau melenggak tak kekurangan suatu apapun,
sedangkan aku berjalan menjadi semakin tua,
namun belum tentu semakin dewasa,
belum tentu semakin bijaksana,
belum tentu semakin pandai berdamai dengan hati..
Dan engkau terus saja bergulir seolah bangga
dengan jejakmu yang kausebut masa lalu,
bangga dengan alurmu nanti yang kausebut masa depan..
Namun, aku hanya hadir di masa kini..hanya di masa kini,
berjumpa denganmu...terjerat olehmu...itu saja

Kamis, 19 Agustus 2010

Songa = Songai = Sungai(Part 3)


Satu..dua…tiga…satu..dua..tiga…begitulah kira-kira teriakan kami ketika mendayung perahu maju mengikuti arus sungai Pekalen. Jeram pertama yang kami lewati bernama PILAR, pilihan jeram tersulit. Arus airnya sangat deras, bebatuan yang ada di sekitar pun berukuran besar. Sempat ada rasa takut, tetapi melihat semangat teman-teman, keberanianku pun semakin tumbuh. Akhirnya, jeram pertama terlewati dengan sukses. Berhasil melewati jeram pertama, aku semakin termotivasi untuk melewati jeram berikutnya. Setiap berhasil melewati rintangan yang sulit, kami selalu menempelkan dayung menghadap ke atas, kemudian memukulkannya ke permukaan air sambil meneriakkan nama tim kama, Hap-Hap. Aku tidak tahu persis nama tim Wawan dan kawan-kawan, tapi nampaknya nama yang cocok adalah Gerombolan si Berat. Walaupun beranggotakan empat orang, termasuk Mas Tono, guide, aku yakin total beban perahu mereka lebih berat dibandingkan total beban perahu kami yang berisi lima orang.


Jeram-jeram lain tak kalah seru tantangannya. Ada yang bernama jeram hiu, ada juga yang bernama jeram titanic. Aku tidak hapal nama keseluruhan jeram yang ada disana karena sangat banyak. Ada sekitar 50 jeram yang ada di songa atas. Keseluruhan jeram menghadirkan pesona yang berbeda. Beberapa kali kami melihat air terjun yang begitu indah. Perahu pun sengaja kami dekatkan agar kami merasakan cipratan air terjun yang jatuh dengan bebasnya. Gua-gua kelelawar pun tak luput dari pandangan kami selama mendayung perahu. Yang lebih indah lagi, aku dapat melihat pelangi begitu dekat, begitu nyata, di atas permukaan air sungai. Sungguh, ini panorama yang begitu indah. Pelangi yang selama ini hanya bisa aku lihat setelah hujan di atas langit sana, kini bisa aku lihat di depan mataku, diantara cipratan-cipratan air sungai yang jatuh dari atas tebing. Tuhan, sungguh pemandangan yang luar biasa. Aku bangga bisa hadir di tempat seindah ini. Aku bangga bisa menjadi warga Indonesia.

Ada pelajaran menarik setiap kali aku mendayung perahu mengarungi jeram, baik itu maju, maupun mundur. Sulit bagiku mengontrol arus air yang ada, tetapi aku diberi kemampuan untuk mengontrol perahu yang aku tumpangi. Bergerak maju atau mundur adalah pilihan. Terkadang ingin mengarungi sisi jeram sebelah kiri, tetapi arus terlalu deras membawa kami ke sisi sebelah kanan. Melawannya seringkali membawa perahu kami tersangkut pada batu yang besar. Berpegang pada pengalaman itu, kami pun selalu mencoba bergerak seirama dengan arus air yang mengalir, dengan penuh semangat, tanpa merasa putus asa. Begitu juga dalam mengarungi jeram kehidupan ini. Kita dianugerahi akal pikiran untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan tantangan ini. Terkadang ada keinginan yang tidak tercapai karena angin nasib membawa kita pada pilihan yang berbeda. Dan kita pun senantiasa berusaha dan berjuang, mencoba menjalani kehidupan dengan tetap menjaga harmonisasi dengan alam semesta. Tetaplah semangat karena selalu tersaji keindahan dibalik setiap tantangan yang kita hadapi dalam hidup ini.

Sempat juga kami beristirahat sejenak sambil memakan pisang goreng dan meneguk teh hangat yang dicampur dengan jahe pada sebuah gubuk sambil mengistirahkan raga yang sedari tadi tak hentinya mendayung. Begitu nikmat, walaupun hanya pisang goreng. Mungkin karena dimakan pada saat kelelahan di tempat yang sangat indah. Lima belas menit beristirahat, kami pun segera melanjutkan perjalanan yang tersisa. Tiga puluh menit mendayung, akhirnya kami semua sampai pada titik akhir perjalanan arung jeram siang ini. Mobil pick up telah menunggu untuk mengantarkan kami menuju basecamp.

Sesampainya di basecamp, kami langsung menuju kamar mandi dan langsung membersihkan badan. Benar-benar petualangan yang penuh dengan kesegaran dan tantangan. Selesai mandi, makan siang telah siap di meja makan, dan kami pun sudah tidak sabar melahapnya. Ada sebakul nasi putih yang dicampur dengan jagung, ada urap-urap, tahu, tempe, ikan pari, sambal yang menggugah selera, dan tidak lupa semangka sebagai buah pencuci mulut. Sungguh nikmat makan siang hari ini.



Setelah makan siang kami pun menyempatkan berbincang-bincang dengan Mas Andre dan Mas Tono. Dari keterangan yang diberikan, kami menjadi tahu bahwa objek wisata sungai Pekalen mematok target 29 ribu pengunjung setiap tahun. Hingga bulan Agustus ini, target itu telah tercapai. Sungguh luar biasa…!! Kami bertujuh termasuk orang beruntung yang bisa menikmati keindahan berarung jeram di lokasi ini. Setelah berbincang-bincang, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Surabaya. Tidak lupa, kami pun mampir untuk menikmati nasi punel di daerah Bangil, tepatnya di jalan Jaksa Agung Suprapto.




Hari semakin petang, dan matahari kian tenggelam. Bias sinarnya masih mampu membuat mataku takjub akan kehadiran pelangi yang membelah langit. Sungguh pemandangan yang memesona di balik kaca jendela mobil yang kami tumpangi. Terimakasih Tuhan, terimakasih teman-teman. Sampai jumpa di perjalanan selanjutnya…Gunung Rinjani menunggu kita!!!

Selasa, 17 Agustus 2010

Songa = Songai = Sungai (Part 2)

Matahari begitu indahnya memaparkan kemilaunya pagi ini. Kami bertujuh berada di balik kaca jendela mobil kijang mencoba mengumpulkan tenaga sambil bercanda dan mendengarkan radio. Sudah tidak sabar menikmati keindahan sungai Pekalen. Sesampainya di daerah Gending, kami berbelok ke arah kanan. Di daerah ini terdapat pabrik gula yang cukup tua. Terlihat dari bentuk bangunan yang tidak terlalu terawat dengan baik. Setelah cukup jauh memasuki kawasan Gending, kami bertanya kepada penduduk setempat tentang lokasi sungai Pekalen. Dari informasi yang diperoleh, ternyata kami masih harus terus menanjak. Untung saja supir yang juga merangkap sebagai teman kami terlatih untuk daerah-daerah terjal.

Tidak beberapa lama, kami memasuki kawasan hutan. Di kiri-kanan jalan banyak sekali terdapat pohon-pohon yang menjulang tinggi. Aku tidak tahu persis jenis pohon yang tumbuh, tetapi cukup menyejukkan. Jalan yang kami lewati juga sudah semakin kecil, sehingga supir harus lebih berhati-hati. Beberapa saat kemudian, papan kayu yang bertuliskan “Songa Adventure” terpampang jelas di hadapan kami. Akhirnya sampai juga, pikirku. Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit dari rumah Syafi di jalan Citarum, Probolinggo. Setelah memarkir kendaraan, kami disambut ramah oleh orang-orang yang ada di basecamp songa adventure. Banyak dari mereka berpakaian layaknya seorang guide yang telah siap memandu kami berarung jeram pagi ini. Basecamp ini memiliki lahan parkir yang cukup luas, terdapat meja makan, dan kursi-kursi di bagian tengah. Disisi kiri pintu masuk terdapat gudang penyimpanan perlengkapan arung jeram, sedangkan di sisi kanannya terdapat beberapa kamar mandi yang sangat bersih. Setelah urusan administrasi selesai, kami disuguhi teh botol dingin. Segar sekali rasanya meminum es teh di kawasan seperti ini. Desa Pesawahan, Tiris, yang indah.



Setelah minum es teh, kami membagi kelompok menjadi dua karena satu perahu hanya bisa diisi oleh 5 orang, termasuk guide. Setelah berpikir agak rumit, akhirnya aku berkelompok dengan Dani, Daus, dan Kakang, sedangkan Wawan berkelompok dengan Syafi dan Anto. Setelah mengganti pakaian, kami memakai atribut arung jeram, mulai dari helm, pelampung yang bentuknya seperti rompi, kemudian tidak lupa juga membawa dayung. Selain itu, kami juga dibekali air mineral. Sebuah mobil pick up dan dua orang guide telah siap mengantar kami sampai titik start petualangan hari ini. Perjalanan cukup berliku dan terjal. Banyak bebatuan yang membuat perjalanan kami dipenuhi goyangan-goyangan tidak penting, tapi mengasyikkan. Setelah 20 menit berlalu, kami masih harus berjalan kaki menyusuri kampung hingga ke tepian sungai. Tidak apa-apa, yang penting sehat.



Ternyata sudah banyak orang di tepian sungai Pekalen. Ada yang sedang mencuci perahu, ada yang duduk-duduk santai saja, dan ada yang mengobrol. Suasananya begitu sejuk. Sungai Pekalen begitu memesona, buih-buih air yang menabrak bebatuan besar di sungai itu seolah berbicara, “Saatnya, berpetualang, Guys!!” Aku, Daus, Dani, dan Kakang menaiki perahu yang telah dipompa dan dicuci sebelumnya. Guide kita bernama Mas Andre. Wawan, Anto, dan Syafi ada di perahu yang lain. Guide mereka bernama Mas Tono. Mas Andre memberikan banyak sekali pengarahan sebelum kami berarung jeram. Kami harus benar-benar paham akan aba-aba seperti “maju”, “mundur”, “kanan”, “kiri”, “boom”, dan “goyang-goyang”. Kami juga dijelaskan bagaimana cara berenang apabila terpelanting dari perahu, bagaimana mengangkat teman yang terlempar dari perahu, selain itu dijelaskan pula cara memegang dayung yang benar agar terhindar dari hal-hal yang tidak kita inginkan bersama. Mas Andre juga berpesan, “Berarung jeram itu tidak harus cepat, santai saja tetapi seirama.” Artinya, kekompakan tim adalah penting. Suatu prinsip hidup yang luar biasa bila kita bisa terapkan secara utuh karena hidup itu bukan hanya melulu tentang yang lebih cepat, yang lebih baik, tetapi bagaimana juga menjaga keserasian hubungan dengan alam, lingkungan, dan sesama. Inilah yang dimaksud dengan “santai saja, tetapi seirama”. Setelah selesai berdoa, kami langsung mendayung perahu maju, dan siap berpesta dengan arus air yang nakalnya minta ampun ini…!!!..(bersambung..)

Senin, 16 Agustus 2010

Songa = Songai = Sungai (Part 1)


Dulu, ketika masih kuliah, aku ingin sekali bisa jalan-jalan ke daerah Probolinggo sambil menikmati panorama sungai Pekalen. Hanya saja, waktu itu, faktor finansial masih menjadi pertimbangan utama, walaupun waktu luang untuk melakukan aktivitas tersebut cukup memadai. Semangat saja memang tidak cukup. Uang tidak serta-merta jatuh dari langit dan mengenai kepala kita di saat tertidur di malam hari. Apalagi berharap, ketika kita bangun, kita sudah berada di lokasi wisata yang diidamkan. Buang jauh-jauh pikiran itu. Bila masih muncul sedikit saja, tendang sampai kutub utara…!!

Kini, ketika sudah bekerja, keinginan itu muncul lagi. Mencuat seperti jamur yang tumbuh tiba-tiba di pekarangan rumah. Masalah finansial mungkin sudah bisa sedikit teratasi. Hanya tinggal mengalkulasi pendapatan tiap bulan yang dikurangi dengan pajak penghasilan, pinjaman, biaya kost, biaya pulsa dan biaya pokok lainnya, kemudian menguranginya lagi dengan biaya rekreasi ke sungai Pekalen, setelah itu didapat sisa uang. Sisa uang inilah yang berfungsi sebagai cerminan jumlah hari yang digunakan untuk berpuasa dalam bulan ini. Sungguh perhitungan yang matematis-dramatis. Akan tetapi, bukan itu masalah utamanya. Masalah yang lebih penting lagi adalah ketersediaan waktu luang untuk melakukan aktivitas tersebut. Kesibukan kerja saat ini memang cukup menyita waktu. Oleh karena itu, harus dicari waktu yang benar-benar tepat untuk melakukan aktivitas rekreasi. Sungguh bukan bermaksud untuk sombong, tetapi aku ingin mengatakan bahwa uang bisa dicari, tetapi waktu tak dapat kembali. Maka dari itu, sungguh berharganya waktu ini apabila kita bisa menikmatinya bersama orang-orang yang kita sayangi, bersama keluarga atau teman-teman yang dekat di hati. Dan beruntung sekali, aku memiliki teman-teman yang sangat menyukai kegiatan jalan-jalan sambil menikmati keindahan alam.

Setelah beberapa bulan melakukan bincang-bincang secara langsung, maupun komunikasi via sms dan jejaring sosial, akhirnya diputuskan tanggal keberangkatan ke sungai Pekalen adalah 8 Agustus 2010. Memang tidak semua teman yang ingin ikut, bisa ikut. Namun, menunggu mereka pulang dari Jakarta dan Kalimantan pasti membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Akhirnya, beranggotakan tujuh pasukan, kami berangkat menuju Pekalen.

Sabtu malam, kami bertujuh telah berkumpul di Keputih gang makam, blok E, no. 22, Surabaya. Sebuah mobil kijang telah siap di depan pagar. Itu tandanya, Mushlik dan Wawan telah berhasil memindahkannya dari pelataran parkir wisma SIER. Pukul 19.30, kami telah berkumpul semua, berdoa bersama, dan bersiap untuk perjalanan yang mengasyikkan ini. Walaupun sempat tertunda beberapa menit karena ternyata Wawan agak kesusahan mengoperasikan mobil ini, tapi semuanya bisa teratasi berkat pengetahuan perbengkelan Syafi dan Daus, serta Kakang yang mengambil selang, entah untuk apa. Kami pun siap berangkat. Posisi supir tentu saja diisi oleh Wawan yang didampingi seorang navigator bernama Daus. Di posisi tengah ada aku, Syafi yang kondisinya belum sembuh betul, dan Kakang yang terus-menerus mengingatkan pentingnya keselamatan mengemudi. Di posisi belakang, ada Anto dan Dani yang semakin akur saja setelah sekian lama tidak bertemu. Bila kita cermati dengan seksama, perpaduan kedua badan mereka nyaris menyerupai angka sepuluh. To..To..jangan lupa olahraga!! Probolinggo, here we come…!!!


Tujuan pertama malam ini adalah rumah Syafi, tempat dimana kita akan beristirahat sejenak sebelum menuju Pekalen besok paginya. Surabaya – Porong – Pasuruan berhasil kami lewati, tentunya melalui jalur alternatif karena kita tidak memiliki banyak waktu untuk menikmati keindahan panorama lumpur Lapindo pada malam hari. Setelah menghabisan 3,5 jam perjalanan, kita semua sampai di jalan Citarum, Probolinggo, dan langsung disambut ramah oleh ibunda Syafi. Ternyata tidak hanya sambutan ramah, tetapi sepiring nasi, ayam kecap, tempe dan tahu penyet, rempeyek, dan tumis wortel membuat kebahagiaan hati dan perutku semakin sinergis saja. Setelah mengobrol santai sambil makan malam, kami pun bergegas tidur di lantai dua, mempersiapkan diri untuk bertemu matahari besok pagi.

Dan pagi pun begitu cepat datang, lebih cepat dibandingkan perkiraan kedua mataku, tetapi tidak bagi Wawan yang telah terbangun semenjak jam 3 subuh dan kebingungan mencari kamar mandi. Kami semua mandi bergiliran, kemudian beribadah, dan langsung menuju ruang tengah, bukan untuk menonton televisi, tetapi untuk makan (lagi). Menu sarapan hari ini adalah ayam goreng, tempe dan tahu penyet, sop, kerupuk upil, dan rempeyek…tentu saja. Beruntung sekali pak Ustad (baca: Syafi) dilahirkan dari rahim seorang ibu yang begitu baik. Seorang ibu yang mengingatkan kami bahwa, “Sing telaten, bakal panen”. Sungguh nasehat yang bermakna dalam. Beliau juga sempat bertutur, “Siapapun yang mencari, akan menemukan”. Setelah saling pandang dan saling ejek, kami pun mohon pamit untuk melanjutkan perjalanan yang tinggal beberapa menit saja…


(bersambung..)

Senin, 02 Agustus 2010

Kata dalam Semesta


Kita sedang sama-sama berbicara,
namun dalam gaya yang berbeda..
Aku selalu saja berbicara dengan kata,
sedangkan Engkau bersabda melalui semesta,
melalui gerakan air yang kusebut mengalir..
melalui gerakan angin yang kusebut berhembus..
melalui gerakan matahari yang kusebut terbit dan terbenam..
melalui gerakan bumi yang kusebut berotasi dan berevolusi..
melalui mekarnya bunga..
melalui riuh-rendahnya ombak di pantai..
melalui gemuruhnya halilintar..
dan melalui derasnya hujan..

Engkau merajut pelangi,
kemudian aku menuturkan kata indah..
Engkau mengangkat sedikit tanah bumi,
kemudian bibirku menggetarkan musibah..
Engkau hadirkan fajar,
dan aku pun berdecak kagum..
Engkau goyangkan samudera,
kemudian aku limpahkan air mata..

Kita sedang sama-sama berbicara,
namun dalam gaya yang berbeda..
Aku masih tetap angkuh berbicara dengan kata,
menafsirkan kedipan mata-Mu dengan sastra,
membaca liukan tubuh-Mu dengan persamaan gerak fisika,
menghitung kasih-Mu dengan rumus empiris matematika,
menakar keajaiban-Mu dalam tabung reaksi kimia,
dan Engkau tetap saja bersabda dengan semesta,
menyadarkanku bahwa begitu sulitnya menyentuh bahasa-Mu
dengan logikaku,
tetapi mungkin dengan hatiku


Gresik, 2 Agustus 2010, selsurya.blogspot.com