Kamis, 26 Januari 2012

The Spirit of Java


Beberapa hari yang lalu, aku memiliki kesempatan untuk mengunjungi sebuah kota yang terkenal dengan slogan "Spirit of Java". Kota ini dikenal juga dengan nama Surakarta, namun lebih sering disebut sebagai kota Solo. Solo adalah sebuah kota yang terletak di Jawa Tengah dan memiliki banyak warisan budaya. Mungkin banyak orang lebih mengenal Yogyakarta dibanding Solo karena promosinya yang lebih baik. Namun, setelah mengunjungi Solo, aku berpikir Solo memiliki potensi untuk bisa dikembangkan lebih baik dan diperkenalkan kepada lebih banyak orang di dunia. Pemberian slogan "Spirit of Java" juga merupakan suatu upaya untuk menjadikan kota Solo lebih marketable, sehingga banyak orang yang mengenal dan berkunjung ke kota Solo.

Pertama menginjakkan kaki di kota ini, aku langsung disuguhkan dengan pemandangan rumah-rumah, bangunan, gedung, pasar yang dari sisi bentuk bangunannya sangat bernuansa tempo dulu. Jarang sekali aku temukan gedung-gedung tinggi menjulang seperti kota tempat aku tinggal saat ini, Surabaya. Ada banyak becak, pejalan kaki, beberapa kendaraan bermotor, pohon-pohon yang cukup rindang, dan kesemuanya itu memberi kesan bahwa Solo adalah kota yang sangat friendly. Tempo bicara kebanyakan orang Solo seragam dan bagiku cenderung lambat, apalagi aku terbiasa berkomunikasi dengan orang-orang Surabaya yang kebanyakan tempo bicaranya cepat. Kemudian, nada bicara, dari beberapa orang Solo yang aku temui, mereka cenderung berbicara dengan nada yang rendah dan menggunakan bahasa Jawa halus. Saking halusnya, aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman halus dan sebuah kata Jawa pamungkas, "enggeh".

Setelah melihat-lihat kota dengan beragam polah masyarakat dan bentuk-bentuk bangunannya, aku berpikir lagi. Mulai terbersit dalam pikiranku hubungan antara bentuk bangunan yang dominan di sebuah kota dengan karakter masyarakat yang ada di kota tersebut. Sebagian besar bentuk bangunan yang aku lihat di kota Solo tampak sederhana, jauh dari kemewahan. Ada motif-motif lengkungan yang cukup dominan, terutama pada bangunan seperti Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Pura Mangkunegaran, dan beberapa rumah penduduk. Motif lengkungan pada bangunan banyak juga kita jumpai di Bali ataupun Yogyakarta, tapi dengan pola yang berbeda. Namun, aku melihat ada kesamaan karakter masyarakat yang tinggal di kota yang didominasi oleh bentuk bangunan dengan pola-pola lengkungan, biasanya masyarakatnya ramah, santun, berjalan perlahan, dan terkesan santai. Berbeda dengan Jakarta dan Surabaya. Dua kota ini lebih didominasi oleh bentuk bangunan yang tinggi menjulang dan cenderung lurus, minim lengkungan. Dan karakter masyarakatnya cenderung bergerak cepat, tidak santai, berbicara dalam tempo yang cepat. Ini hanya pemikiranku saja, mungkin ada benarnya, mungkin juga banyak salahnya. Namun, setidaknya bagi diriku sendiri, lengkungan adalah refleksi dari fleksibilitas.

Selain melihat-lihat kota, aku juga sempat menikmati aneka kuliner di Solo. Kuliner yang pertama kali aku nikmati adalah timlo solo. Makanan ini cukup terkenal di Solo. Saking terkenalnya, nama makanan ini pun digunakan kelompok parodi Timlo yang sekarang cukup terkenal di jagat hiburan Tanah Air. Timlo adalah makanan berkuah dengan rasa gurih. Semacam sup yang berisi ati ayam, rempelo ayam, sosis, dan telur pindang potong. Khusus sosisnya, ternyata Solo mempunyai sosis tersendiri. Bukan seperti sosis-sosis berwarna merah yang sering kita jumpai di supermarket, tapi bentuknya seperti kulit lumpia dan berwarna coklat, dipotong hingga berbentuk persegi panjang dan di dalamnya berisi suiran daging ayam. Bagiku, rasanya timlo ini enak untuk kategori makanan yang baru pertama kali dicicipi. Timlo yang aku nikmati ini bernama timlo maestro yang terletak di jalan Ahmad Dahlan. Harganya bervariasi, mulai 11 ribu sampai 16 ribu, tergantung "isi" yang kita inginkan.

Selain itu, beruntung aku bisa mengunjungi pasar yang dibuka selama sebulan penuh dalam sebuah rangkaian acara yang dinamakan sekaten. Sekaten adalah sebuah acara yang diadakan untuk peringatan kelahiran Nabi Muhammad yang diadakan setiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud di Yogyakarta dan Solo. Ada banyak sekali dagangan yang dijual di area pasar ini, ada aneka kuliner, seperti gorengan, martabak, dan banyak sekali jajanan-jajanan pasar yang aku tidak tahu namanya, baju-baju batik, blangkon, keris, sandal, sepatu, mainan anak-anak, dan lain-lain. Setelah dari area pasar ini, aku menuju pasar klewer. Di pasar klewer banyak sekali pakaian batik dan asesorisnya. Aku tidak menghabiskan waktu lama di pasar ini, aku hanya sekedar melihat-lihat. Kemudian, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Keraton Kasunanan Surakarta. Lokasi dari pasar sampai ke Keraton memang tidak jauh, aku bisa berjalan kaki dengan santai. Keraton Kasunanan Surakarta bernuansa biru, banyak dihiasi motif lengkung, ada arca di kiri-kanan bangunan, dan halamannya cukup luas. Namun sayang, tidak ada plakat yang menunjukkan identitas bangunan ini. Aku pun sempat ragu apakah memang benar ini Keratonnya. Setelah bertanya, ternyata memang benar. Pasar Klewer pun demikian, tidak ada gapura khusus atau plakat yang menunjukkan identitas lokasi. Ini mungkin akan membingungkan bagi para wisatawan yang berkunjung. Pura Mangkunegaran pun setali tiga uang, tidak memiliki identitas lokasi. Yang terlihat adalah sebuah hamparan halaman yang luas dengan gerbang tinggi dan pendapa di dalamnya, tanpa nama. Pura Mangkunegaran bukanlah Pura tempat beribadah umat Hindu, tetapi sebuah istana yang dulunya adalah tempat kediaman sri Paduka Mangkunegara dan dibangun setelah tahun 1757. Bangunannya hampir serupa dengan Keraton, tetapi lebih kecil. Ini masukan untuk teman-teman di Solo ataupun mungkin pemerintah setempat untuk bisa memberikan nama pada area-area wisata yang penting di Solo, sehingga lebih memiliki daya tarik.




Lokasi lain yang aku kunjungi adalah Pasar Antik Triwindu. Pasar ini menjual banyak sekali kerajinan-kerajinan masyarakat, ada patung wayang beraneka jenis, setrika kuno yang masih menggunakan arang, kursi antik, topeng wayang, berbagai hiasan dinding dan meja, uang kuno, lampu kuno, dan banyak sekali barang-barang antik dan klasik lainnya. Pasar ini terletak di kawasan Ngarsopuro. Karena aku menginap di daerah Nonongan, jadi tinggal berjalan kaki saja menuju lokasi ini. Lokasi lainnya adalah Pusat Kuliner Galabo. Di lokasi ini berderet rombong-rombong yang berjualan makanan khas Solo, ada nasi liwet, gudeg cakar, timlo, tengkleng (makanan berbahan dasar kambing dengan kuah kuning rempah), sate kere (konon nama "kere" berasal dari orang-orang yang tidak bisa membeli daging, tetapi ingin makan sate, lalu membuat sate dengan tempe), pecel, dan lain-lain. Karena aku menyukai ceker, aku mencicipi gudeg cakarnya. Rasanya gudegnya enak dan manis, cekernya sangat empuk. Suasana di pusat kuliner ini sangat ramai, ada tenda-tenda yang dilengkapi tempat duduk dan meja untuk makan, kemudian ada juga live music yang panggungnya didirikan di mall seberang pusat kuliner ini. Suasananya sangat nyaman untuk makan.




Menariknya, selama mengunjungi berbagai lokasi di Solo, aku lebih banyak berjalan kaki. Jarak antarlokasi memang tidak jauh dan pemandangan seperti ini sangat jarang ditemukan di kota-kota besar, seperti Surabaya misalnya. Bila capek, berjalan kaki, banyak abang tukan becak yang siap mengantarkan. Tarifnya disesuaikan dengan jarak, bisa 10 ribu, 15 ribu, bahkan 20 ribu. Yang penting pintar-pintar menawar. Kebanyakan becak di Solo dicat berwarna merah. Baju dari abang tukang becaknya pun didominasi oleh kaos berwarna merah. Bus yang biasa digunakan untuk transportasi dalam kota, juga berwarna merah. Ini baru keren. Bukan karena warna merahnya, tapi karena sudah ada upaya pencitraan atau pemberiaan keunikan dari segi warna untuk menawarkan sesuatu yang berbeda dari sarana transportasi kota Solo sehingga kota ini memiliki ciri khas dan layak untuk dikunjungi oleh wisatawan, baik asing maupun lokal.

Tempat terakhir yang aku kunjungi adalah Solo Grand Mall. Aku ingin melihat apa saja barang yang banyak dijual di kota ini. Pertama memasuki Mall ini, aku langsung kaget melihat kerumunan orang. Mall ini sangat ramai, hampir seperti pasar. Mungkin hanya ada satu Mall di kota ini, sehingga masyarakat Solo tumpah ruah di bangunan ini. Produk-produk yang dijual hampir sama dengan Mall-Mall di kota lain, ada kebutuhan pokok, sepatu, sandal, tas, baju, elektronik, dan aneka makanan. Untuk para pengusaha properti, khususnya pusat perbelanjaan, Solo nampaknya memiliki potensi pasar yang luar biasa. Begitu juga untuk para pengusaha kuliner, banyak makanan berlabel franchise yang bisa dibawa ke kota Solo. Dan banyak juga makanan khas di Solo yang bisa memberi inspirasi untuk kemudian dikemas lebih menarik dan dipasarkan lebih luas.



Solo, terimakasih atas keramahan, kuliner, dan kenyamanan kotamu. Mudah-mudahan "Spirit of Java" meresap kepada semua masyarakat Solo untuk berkarya dan mambangun kota lebih baik lagi.