Rabu, 25 April 2012

Sebungkus Nasi Pecel


Salah satu hal aneh yang aku temui ketika hari-hari awal aku tinggal di Surabaya adalah menu sarapan sebagian besar penduduknya. Mungkin sebagian besar orang tidak asing lagi dengan yang namanya nasi pecel. Di kota kelahiranku pun, Mataram, ada. Namun, bukan nasi pecelnya yang membuatku merasa aneh, tetapi suatu kenyataan bahwa menu nasi pecel adalah salah satu menu sarapan wajib yang disediakan oleh banyak warung makan di kota ini. Memang ada juga warung-warung yang menyediakan aneka sayuran dan beberapa lauk-pauk sebagai menu sarapan, namun lebih mudah menemukan nasi pecel di pagi hari di warung-warung makan. Ini aneh...lebih tepatnya asing karena aku tidak terbiasa dengan menu sarapan yang “berbumbu” seperti ini. Kalau dalam istilahku, “perut akan kaget kalau pagi-pagi sudah harus menerima asupan makanan yang berbumbu ‘hard’ seperti pecel”. Tapi mau bagaimana lagi, dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung, aku pun berusaha sedikit demi sedikit membiasakan diri sarapan dengan menu yang satu ini.

Lambat laun, seiring waktu berjalan, aku semakin ‘terlatih’ untuk menikmati pecel sebagai menu sarapan. Memang tidak mudah, penuh perjuangan. Dan semua pasti bisa menebak apa yang terjadi dengan perutku di awal-awal perjuangan ini. Berat sobat. Hidup memang bukan urusan perut saja, tapi bila perut bermasalah, hidup bermasalah..hehe. Minimal beberapa waktu dalam hidup harus rela dialokasikan di kamar mandi dan apotek!

Dua paragraf di atas sudah cukup untuk berbasa-basi, supaya tidak terlalu tegang...hehe. Sekarang kita masuk ke topikyang sesungguhnya. Pagi itu, beberapa bulan yang lalu, aku lupa hari apa, aku sedang bersepeda motor, berkeliling-keliling menikmati kota saja. Masih di Surabaya. Waktu itu, mungkin sekitar pukul 7, banyak sekali kendaraan tumpah ruah di jalan raya. Memang bukan hari libur, jadi banyak orang yang sedang dalam perjalanan menuju tempat kerja masing-masing, dengan raut wajah yang hampir semuanya tegang, entah karena takut terlambat, banyak pekerjaan yang masih harus diselesaikan hari itu, atau mungkin karena memang wajahnya seperti itu...hehe.

Ketika sedang mengamati raut-raut wajah itu, mataku terpaku pada salah satu warung pecel di sekitar jalan Panjang Jiwo. Warung pecel ini tidak begitu besar, tapi cukup ramai. Langsung saja aku menepikan motor dan memesan satu bungkus nasi pecel dengan ayam dan telur ceplok sebagai lauk, ditambah teh hangat sebagai pembersih tenggorokan. Berhubung ada penjual buah di dekat warung, aku membeli 1 potong buah pepaya dan 1 potong buah semangga. Beuh...mantap betul menu sarapan hari ini, lengkap dengan pencuci mulutnya.

Setelah transaksi selesai, aku melanjutkan perjalanan pulang. Dalam perjalanan menuju tempat kost, mataku disajikan pemandangan yang membuat hatiku bergetar. Ada seorang ibu yang cukup tua, mungkin sekitar 40 tahun, sedang menarik gerobak sampah yang berwarna kuning. Ibu ini berbaju kaos lengan panjang, bercelana panjang kaos, tanpa alas kaki, dan mengenakan topi lebar yang biasa dipakai para petani. Wajahnya? Jangan ditanya, lusuh dan penuh dengan keringat. Baru kali ini aku melihat seorang ibu menjadi penarik gerobak sambah. Gerobak itu penuh dengan sampah, jadi pasti cukup berat. Seketika itu juga aku teringat nasi pecel, teh hangat, dan buah yang baru aku beli. Aku mungkin bisa membelinya lagi, tapi ibu ini belum tentu. Langsung saja aku mendekati ibu itu dan memberikan sarapanku. Disini menariknya...Ketika aku memberikan sarapanku pada ibu itu, wajahnya seketika itu juga sumringah, berseri dengan senyuman yang sulit aku gambarkan dengan kata-kata. Mungkin itu senyuman yang jarang sekali dikeluarkan. Kemudian bibirnya mulai bergumam, “Ya Allah, matur nuwun, Mas..” Baru memberi nasi pecel saja sudah dibilang ‘ya Allah’...hehe. Tertangkap jelas ekspresi kebahagiaan yang dipancarkan ibu itu, dan aku pun tertular kebahagiannya.

Ada pelajaran menarik yang aku petik dari peristiwa itu. Seorang ibu telah mengajarkanku tentang kebahagiaan yang diputuskannya terhadap 1 bungkus nasi pecel. Aku jadi merenung, mungkinkah aku bisa sebahagia itu apabila mendapatkan satu bungkus nasi pecel dengan teh hangat dan sedikit buah-buahan ‘saja’? Mungkinkah aku bisa tersenyum selebar itu? Mungkinkah aku langsung berucap syukur ketika mendapat sebungkus nasi pecel? Jawabannya mungkin TIDAK! Kebahagiaanku nampaknya telah lebih mahal dari sebungkus nasi pecel, lebih mahal dari kebahagiaan ibu itu. Ya ampun! Seandainya kebahagiaan itu sesederhana penerimaan sebungkus nasi pecel, alangkah bahagianya aku saat ini dengan semua yang dititipkan-Nya kepadaku, hingga detik ini! Alangkah sederhananya merasa bahagia itu. Aku malu. Terlalu tinggi syarat yang aku tetapkan untuk merasa bahagia, sehingga sulit bagiku untuk melihat rasa syukur bahkan dalam sebungkus nasi pecel. Ibu itu telah mengingatkanku tentang syukur itu sendiri. Ibu itu memang telah dikirimkan-Nya untuk memberikan pelajaran berharga pada suatu pagi, beberapa bulan yang lalu, entah hari apa itu.

Surabaya, 25 April 2012
Gambar diambil dari: http://archive.kaskus.us/thread/8773803/

Kamis, 05 April 2012

Naik Becak..Ayo Melambat


Pernah naik becak?? Sebagian besar dari kita pasti pernah menaikinya. Bila belum?? Coba! Aku angkat judul naik becak pada catatan kali ini karena “merasa” ritme kehidupan berjalan begitu cepatnya di jaman yang serba canggih ini. Kemajuan teknologi membuat dunia semakin “datar” saja. Media jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, dan Myspace memungkinkan setiap orang terkoneksi dengan orang lain dengan begitu cepatnya dari berbagai belahan dunia. Dunia sudah tidak bulat lagi..hehe. Berbagai informasi menghantam otak manusia setiap saat dan memengaruhi keputusan, sikap, pola pikir, dan pada akhirnya membentuk kebiasaan-kebiasaan baru. Acara-acara hiburan di televisi membuat anak-anak kecil berlaku, berbicara, dan menyanyi lebih dewasa daripada usia mereka. Sampai-sampai ada yang berinisiatif membentuk “boyband” anak-anak! So fast to serious!! Bahkan sehari yang lalu, aku menanam biji cabe, sekarang sudah berbuah lebat..haha. Yang terakhir tentu saja bohong, tapi yang jelas, aku ingin menunjukkan bahwa banyak hal yang bergerak begitu cepatnya di jaman sekarang ini.

Begitu banyaknya orang yang menasihatkan agar kita bergerak lebih cepat..lebih cepat..dan lebih cepat lagi. Pekerjaan harus diselesaikan lebih cepat, kuliah S1 kalau bisa diselesaikan 3 tahun saja, yang belum memiliki pacar harus cepat-cepat mencari pasangan, yang sudah memiliki pasangan harus cepat-cepat menikah, dan yang belum memiliki rumah tinggal harus cepat-cepat mengontrak/membeli rumah. Banyak yang cepat, bukan? Asal jangan sampai ada orang yang menasihatkan, “Yang masih hidup harus cepat-cepat mati!” Kata cepat itu sendiri sebenarnya sudah keren, namun bila ditambahkan lagi 1 kata cepat menjadi cepat-cepat, nilai kerennya menurun. Cepat-cepat terkesan terburu-buru dan dilakukan dalam kondisi yang kurang nyaman. Catatan ini bukan dimaksudkan untuk memprovokasi siapapun untuk mengurangi apapun yang bisa dikerjakan dengan cepat, tapi lebih kepada bersama-sama menyediakan sedikit momen untuk melambat…setiap hari.

Inspirasi untuk melambat ini datang dari seorang Abang becak yang sedang mengayuh kendaraannya pada suatu pagi yang cerah. Aku jadi teringat masa-masa ketika bersekolah di Cianjur. Sering sekali aku menaiki alat transportasi yang satu ini. Rasanya menyenangkan, ada angin semilir yang menerpa wajah, dan banyak benda terlihat lebih jelas. Bentuk pohon, daun, awan, tiang listrik, bangunan, sungai, dan trotoar dapat terlihat lebih jelas bila dibandingkan saat kita menumpangi kendaraan bermotor. Banyak hal yang bentuknya lebih jelas apabila kita melambat, apalagi kalau kita diam…hehe. Sesekali tidak ada salahnya menyimpan kendaraan kita di garasi dan berkeliling kota dengan becak, itung-itung penghematan BBM. Ongkos naik becak memang agak gelap, tidak ada standar yang jelas untuk jarak tertentu, tapi tidak apa-apa, anggap saja kita beramal kepada Abang becak yang sebagian besar adalah bapak-bapak dan ada juga yang hampir kakek-kakek. Bila di daerah tempat tinggal tidak ada becak, pergi ke kota lain yang ada becaknya, sekalian jalan-jalan. Tapi ingat, becak yang aku maksud adalah kendaraan roda tiga yang dikayuh oleh manusia, bukan digerakkan oleh motor, karena di Lamongan ada satu jenis kendaraan seperti becak yang digerakkan oleh motor, namanya BELA (Becak Lamongan) dan pengendaranya menggunakan helm.

Sampai di paragraf ini, aku akan memberikan inti dari catatan ini. Sebagian besar dari kita mengejar sesuatu dalam hidup ini. Sebagian besar dari kita memiliki impian dan kecepatan adalah hal yang penting dalam proses pencapaiannya. Namun, apabila kita yakin bahwa keberhasilan pencapaian impian kita sangat ditentukan juga oleh ENERGI BESAR yang hanya bisa diakses dalam zona yang hening dan gelombang otak yang berfrekuensi rendah, maka momen untuk melambat adalah hal yang sangat penting. Gelombang otak yang berfrekuensi rendah inilah yang aku analogikan seperti naik becak, bukan kendaraan bermotor. Sebagian orang menyebutnya zona khusyuk, atau berada dalam frekuensi gelombang alfa, atau dalam bahasa yang lebih keren, meditation state. Inspirasi, kreatifitas, dan ide-ide baru biasanya hadir apabila kita berada dalam zona tersebut. Seperti yang aku tulis sebelumnya, banyak hal yang terlihat lebih jelas justru ketika kita melambat, dalam hal ini gelombang otak kita yang melambat. Dan sediakan sedikit waktu, mari kita duduk saja, santai saja, bernapas perlahan saja, amati udara yang keluar dan masuk, dan syukuri apa saja yang kita miliki/terima. Rasakan seperti naik becak..hehe. Mari melambat…how slow are you??!

Surabaya, 5 April 2012
Gambar diambil dari: http://pakdeazemi.wordpress.com/2010/06/28/pengen-meniru-keikhlasan-ttkang-becak-di-jogya/