Selasa, 14 Agustus 2012

Udeng dan Helm, Tentang Sebuah Dasar.


Beberapa hari yang lalu, aku berkesempatan mengikuti rangkaian upacara keagamaan yang dihadiri oleh ribuan umat Hindu di area pantai Matahari Terbit. Sebagian besar umat menggunakan sepeda motor, dan ada juga yang mengendarai mobil, sehingga cukup membuat jalanan menjadi penuh sesak. Semua umat menggunakan pakaian sembahyang, mulai udeng sampai kamen. Udeng adalah kain pengikat kepala yang bentuknya khas dan digunakan laki-laki pada saat terlibat dalam acara-acara yang bersifat keagamaan. Untuk perempuan memang tidak menggunakan pengikat kepala. Kamen adalah kain penutup bagian pinggang hingga kaki. Semua pengendara motor yang menggunakan pakaian sembahyang memang tidak menggunakan helm, tapi udeng. Hal seperti ini memang sudah sering aku amati dari dulu, terutama di Denpasar dan Mataram. Ada ‘toleransi’ dari pihak kepolisian untuk tidak menilang pengendara motor yang tidak menggunakan helm, namun menggunakan pakaian sembahyang.

Sementara di Surabaya, umat Hindu yang akan bersembahyang tetap menggunakan helm ketika sedang mengendarai motor. Sesampainya di tempat ibadah, barulah menggunakan udeng. Sebenarnya ini bagus. Aku lebih cocok dengan style yang ini..hehe. Bagaimanapun juga, ketika berkendara, kita sebisa mungkin mematuhi aturan lalu lintas. Helm digunakan untuk melindungi bagian tubuh kita yang sangat penting, yaitu kepala. Memang kita tidak mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi ketika bersepeda motor, namun bila kecelakaan tidak bisa dielakkan, helm akan menjadi benda yang paling berjasa.

Aku sempat bertanya kepada beberapa orang, “kenapa tidak menggunakan helm ketika berpakaian sembahyang?” Sampai saat ini belum ada jawaban yang membuat hatiku lega. Jawaban yang keluar biasanya, “tenang aja, polisi gak akan nilang!” Jawaban ini memang tidak nyambung, tapi menarik, ayo kita bahas! Kita menggunakan helm ketika bersepeda motor di jalan raya kan bukan semata-mata untuk menghindari tilang dari polisi, tetapi untuk melindungi diri kita, terutama kepala, terhadap benturan apapun yang mungkin terjadi. Dengan kaca helm, mata kita bisa terhindar dari debu jalanan yang terbawa angin. Selain itu, rambut yang baru saja dikeramas bisa terjaga kebersihannya di dalam helm. Intinya, helm digunakan untuk melindungi diri kita sendiri, sebagai bentuk dari rasa cinta kepada diri kita sendiri, bukan semata-mata untuk menghindari tilang polisi. Kalau yang terakhir itu menjadi alasan mengapa kita memakai helm, kita akan cenderung mudah menemukan kesempatan untuk bersepeda motor tanpa helm ketika tidak ada polisi yang bertugas di jalan raya. Di lain pihak, udeng terbuat dari bahan kain yang tentu tidak sekuat bahan pembuat helm. Dari segi tekstur bahannya, helm lebih baik dalam hal perlindungan kepala dibandingkan udeng saat kita bersepeda motor. Dan juga, selama ini, aku tidak pernah merasa kepalaku lebih keras ketika menggunakan pakaian sembahyang dibandingkan ketika menggunakan pakaian yang lain…hehe. Jadi menurutku, helm itu tetap perlu digunakan ketika bersepeda motor, walaupun dan meskipun kita berpakain sembahyang.

Apa poin dari catatan ini? Seringkali yang aku rasakan dalam kehidupan ini adalah bahwa kita bergerak karena didasarkan oleh salah satu dari 2 ENERGI. Energi takut dan energi cinta. Ini yang aku rasakan, tapi bila ada hal lain yang teman-teman ketahui, mohon bersedia untuk melengkapi catatan ini. Kita biasanya lebih mudah bergerak ke arah sesuatu yang kita sukai atau cintai. Aku mencintai basket, sehingga berlatih basket. Namun, ada juga yang berlatih basket karena merasa tersiksa dengan ukuran tubuhnya. Ada yang hobi dalam bidang teknologi karena memang menyukainya, tapi ada juga yang memelajari teknologi karena “takut disangka” tidak gaul oleh teman-temannya. Ada yang beribadah karena memang senang sekali mengucap syukur atas anugerah Tuhan dalam hidup, ada juga yang beribadah karena takut akan bencana, karena takut ketika tidak beribadah, sesuatu yang buruk akan terjadi. Ada yang memakai helm karena lebih berniat untuk melindungi dirinya saat bersepeda motor, ada juga yang karena menghindari tilang polisi. Ada yang mengerjakan PR karena memang menyukai tugas sekolah, ada juga yang takut dimarahi ibu guru bila tidak mengerjakannya. Aktivitasnya sama, namun digerakkan oleh energi yang berbeda.

Setelah aku pikir kembali, ketika sekolah dulu, banyak hal yang aku lakukan karena takut hal buruk terjadi. Takut dihukum di depan kelas, takut dimarahi guru dan orang tua, takut diledek teman-teman, takut kulit gosong karena dijemur, takut ditolak, dan takut-takut yang lain. Namun, sekarang aku berupaya untuk melakukan sesuatu atas dasar cinta. Mengapa? Karena dasar cinta itu LEBIH SOFT dan POWERFULL dibandingkan dasar takut. Alasan yang berdasar cinta membuat langkah semakin ringan, kita semakin cepat berkembang, dan meningkatkan kepuasan diri. Melangkah dengan alasan dasar ketakutan akan membuat langkah berat, stress, pusing, cepat marah, dan sering kecewa. Memang ada saja hal-hal yang kita takutkan dalam hidup ini. Ideal sekali rasanya bila berbicara melakukan semua hal dalam hidup ini atas dasar cinta. Namun, dengan pikiran dan hati kita, kita bisa perlahan-lahan untuk menggeser niat kita ke arah yang meringankan langkah. Mungkin dalam beberapa aspek terlebih dahulu, kemudian disusul yang lainnya. Semua orang ingin berbahagia, jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak melangkah secara damai. Dan cinta itu sendiri adalah energi yang mampu mendamaikan hati dan meringankan langkah kita dalam hidup ini. Aku mencoba, teman-teman juga ya..(“,)!

Denpasar, 14 Agustus 2012
Gambar dikutip dari: oyeblog

Senin, 13 Agustus 2012

Satu, Loro, Three...


Aku sangat yakin, sebagian besar dari teman-teman sudah mengenal deretan angka yang menjadi judul tulisan ini, yaitu satu, dua, tiga. Loro berasal dari bahasa Jawa yang berarti dua, sedangkan three berasal dari bahasa Inggris yang berarti tiga. Lalu, mengapa dicampurkan antara bahasa Indonesia, Jawa, dan Inggris? Ya suka-suka. Sebagai orang yang pernah berkutat lama dengan ilmu kimia, aku senang mencampur-campurkan sesuatu agar menghasilkan sesuatu yang baru..hehe. Kalau belum menghasilkan sesuatu yang baru berarti belum reaksi kimia…(“,)

Ok, kita mulai. Kita semua sudah mengenal konsep angka semenjak di taman kanak-kanak. Biasanya konsep angka disandingkan dengan gambar-gambar. Misalnya, untuk menunjukkan angka satu, digambarkan seekor bebek yang sedang berenang. Untuk menunjukkan angka dua, digambarkan dua batang korek api. Untuk menunjukkan angka tiga, digambarkan tiga buah mobil, dan seterusnya. Mengapa harus disandingkan dengan gambar? Agar lebih mudah ditangkap pikiran. Pikiran kita yang canggih itu senang sekali dengan gambar-gambar, apalagi yang berwarna-warni. Sederhananya, gambar/simbol digunakan untuk memudahkan sesuatu masuk ke dalam pikiran. Coba saja bayangkan tugu! Yang muncul di pikiran kita, walaupun tidak sama bentuknya, adalah sebuah gambaran bentuk tugu, bukan deretan huruf T, U, G, dan U, apalagi deretan huruf I, T, dan S..hehe. Dengan catatan, kita sudah pernah melihat tugu sebelumnya. Bila belum? Ini yang namanya pikiran akan galau..(“,)

Seiring semakin tingginya pendidikan, gambar/simbol semakin disederhanakan. Untuk menunjukkan angka satu, cukup dituliskan 1. Untuk menunjukkan angka dua, cukup dengan 2. Untuk menunjukkan angka tiga, ditulis 3. Angka-angka tersebut juga adalah gambar/simbol dan tentu saja lebih sederhana dibandingkan gambar bebek, korek api, dan mobil. Karena kita tinggal di Indonesia, sehingga kita mengenal bentuk angka satu, dua, dan tiga seperti yang ada sekarang ini (1, 2, dan 3). Coba saja kita tinggal di Mesir, Arab, India, Cina, pasti berbeda bentuknya. Berbeda bentuk, namun esensinya sama. Jadi sebenarnya, konsep angka itu abstrak, namun disederhanakan dengan simbol/gambar, sehingga lebih mudah dilihat, dijangkau pikiran, dan diingat. Kemudian berkenalanlah kita dengan ilmu-ilmu sains, terutama matematika, yang mampu meng’konkret’kan konsep abstrak tersebut, sehingga banyak yang menyebut ilmu-ilmu sains sebagai ilmu-ilmu pasti.

Itu tadi tentang perbedaan bentuk. Sekarang tentang penamaannya. Jangan bandingkan dengan luar negeri dahulu. Di Indonesia saja, satu-dua-tiga disebutkan dengan berbagai nama. Ada yang menyebutnya dengan hiji-dua-tilu. Ada yang senang melafalkannya dengan setunggal-kalih-tiga, siji-loro-telu, asa-dua-talu, besik-due-telu, sekeq-due-telu, sada-dua-tolu, dan lain-lain. Bila aku uraikan terus, pasti akan sangat panjang. Namun, poinnya adalah berbeda nama, esensi sama.

Banyak hal dalam hidup ini yang sebenarnya memiliki esensi yang sama, namun dalam RUPA dan NAMA berbeda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan daya interpretasi dan tafsir kita akan sesuatu. Mengacu terhadap hal tersebut, aku mengajak teman-teman untuk bersama-sama terus belajar, memperdalam sesuatu, dalam hal apapun yang disukai. Mulai menghaluskan daya penglihatan untuk menyentuh esensi setelah menyentuh eksistensi. Karena eksistensi sendiri mudah goyah dan seringkali berganti. Berhentilah meributkan sesuatu yang tampaknya berbeda, namun memiliki esensi yang sama. Damaikan diri kita, heningkan pikiran, ayo kita sama-sama belajar menghargai dan menghormati perbedaan.

Denpasar, 12 Agustus 2012
Gambar dikutip dari: http://nizarast.wordpress.com/2010/10/09/cara-mengetahui-angka-keberuntungan-lewat-tanggal-lahir/