Kamis, 24 April 2014

Gadis Berkerudung Biru

Pagi masih bersahabat, sinar matahari belum terasa menyengat. Angin pun masih sesekali berhembus, itupun pelan saja. Seorang gadis berkerudung mengayuh sepedanya dengan perlahan. Menyusuri jalan yang tidak begitu lebar. Mengenakan baju berlengan panjang berwarna biru muda, senada dengan warna kerudungnya. Celana jeans-nya juga biru, namun warnanya lebih muda dibandingkan bajunya. Paduan warna yang menyejukkan mata.

Hingga akhirnya sesuatu terjadi dan membuat gadis berkerudung ini harus merelakan celana jeansnya bersentuhan dengan jalan setelah sepedanya oleng dan hilang keseimbangan. Saya yang berada di belakangnya segera menghampiri, kemudian mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Dengan ramah, gadis ini tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Tentu saya tahu maksudnya. Segera saya angkat sepedanya dan menegakkannya kembali.

Setelah membersihkan debu-debu yang menempel di celana dan lengan bajunya, gadis ini segera menaiki sepedanya kembali. Saya pun bertanya, "Kenapa Mbak?" Dia pun menjawab, "Keberatan Mas." Saya mengerti betul maksudnya, karena ketika mengangkat sepedanya, saya merasakan ada beban yang berat, bukan beban sepedanya, tapi beban tas yang diletakkan di keranjang depan sepadanya. Setelah mengucapkan terimakasih, gadis ini langsung membuka tasnya dan memindahkan beberapa buku ke tas kresek yang telah disiapkannya di dalam tas. Saya pun mohon pamit dan melanjutkan perjalanan.

Banyak hal yang terjadi di hadapan kita memberikan pelajaran berharga. Terjatuh adalah hal yang tidak begitu disukai oleh sebagian kita, termasuk saya. Apalagi kalau bukan karena rasanya tidak enak dan mengharuskan kita berurusan dengan debu, kerikil, atau tanah yang menempel di pakaian kita. Belum lagi kalau menimbulkan luka. Ada yang mengatakan bahwa menyusuri hidup itu seperti mengayuh sepeda. Agar seimbang, kita harus mengayuhnya terus. Gadis berkerudung itu mengayuh sepedanya terus, namun beban yang diletakkan di depan sepedanya terlalu berat! Keseimbangan bukan hanya ditentukan oleh faktor mengayuh, tapi juga beban yang kita bawa.

Setiap kita memiliki beban masing-masing. Beragam pula cara kita membawanya. Dari terjatuhlah kemudian kita belajar untuk meletakkan beban, mengaturnya sedemikian rupa sehingga keseimbangan - yang kita harapkan - pun tercapai. Itu pun kalau kita mau berpikir untuk menata bebannya langsung. Hidup yang tanpa beban itu sepertinya ideal dan sempurna. Kita berjalan dengan keseimbangan kita masing-masing dalam hidup ini. Namun, hidup yang seperti itu tentu saja jauh dari uluran tangan orang lain, jauh dari senyuman hangat orang lain, dan jauh dari ucapan terimakasih.

Saya melihat, bukan ketiadaan beban yang membuat banyak orang bijak memiliki senyum yang teduh, namun kehandalannya dalam meletakkan beban pada tempatnya, kemudian tersenyum lembut kepada beban-beban itu sambil bertutur, "Aku mengakui dan menerima dirimu hadir dalam kehidupanku, namun dirimu bukan aku."

Senin, 21 April 2014

Cuman Numpang Lewat

Oksigen yang kau hirup itu, cuman numpang lewat ... Justru "numpang lewat" itulah yang membuatmu hidup ... Coba kau serakah dan ingin memiliki, kau pasti mati ...
Gak percaya? Tarik napas sebanyak banyaknya ... Lalu simpan, miliki dan jangan kau keluarkan lagi ... Rasa memiliki, justru membuat hidup ini kau akhiri ..

~Arif Rh

Jumat, 18 April 2014

Sebuah Afirmasi

Aku mengijinkan semua hal yang memberdayakanku, yang mengalirkan keberlimpahan hidupku, dan membawa manfaat bagi banyak orang, untuk terjadi dalam hidupku secara sengaja maupun tidak sengaja, melalui peristiwa apapun juga baik yang kurencanakan maupun tidak. Dan aku bersyukur bahwa hal-hal itu mewujud dalam waktu singkat.

#Bila anda merasa doa ini akan membawa manfaat bagi banyak orang untuk berubah kearah kemajuan hidupnya, silahkan kirimkan untuknya.


~Agung Webe

Sederhana yang Tidak Sederhana

Kita sudah terlanjur hidup di jaman yang canggih. Mungkin karena saking canggihnya, banyak orang - termasuk saya - lebih menyukai hal-hal yang beraroma rumit. Kalau sederhana, rasanya sudah tidak relevan lagi, ketinggalan jaman. Kurang 'high class'. Sehingga, yang namanya berpikir sederhana di jaman yang sudah terlanjur canggih bin modern ini bukanlah hal yang mudah. Atau bisa juga dikatakan, bukanlah hal yang disukai.

Beberapa permasalahan yang kita hadapi sebenarnya bisa saja diselesaikan dengan hal yang sederhana. Hanya saja, karena kita terlanjur menyukai kerumitan, ketika solusi itu muncul dari orang yang lebih berpengalaman, muncullah kalimat-kalimat ini, "Masa' bisa?!'', "Masa' gitu aja?!", "Kok sederhana sekali solusinya?! Masalah saya rumit!" Kita berpikir masalah yang rumit haruslah diselesaikan dengan solusi yang rumit. Biar pas. Biar pantes. Kita lupa kalau ukuran 'kunci' selalu lebih kecil dari 'gemboknya'.

Bahkan untuk beberapa masalah yang menyangkut emosi, seseorang pernah mengatakan bahwa solusinya bisa dengan melakukan pernapasan perut, menyadari napas yang masuk dan keluar, sambil mengucap syukur. Hanya itu. Kemudian saya berpikir, "Masa' gitu aja?!"

Happy Monday

#SapuDanLapPel

"Kata-kata ibarat sapu. Ketika dipakai menyapu, lantai lebih bersih, namun debu terbang kemana-mana. Dan hening ibarat lap pel. Lantai bersih tanpa membuat debu terbang."
Pujian, makian, kekaguman, kebencian, dan kata-kata manusia hanya menjernihkan sebagian, sekaligus memperkotor di bagian lain. Sedangkan hening di dalam bersama rasa cukup seperti lap pel, bersih, jernih tanpa menimbulkan dampak negatif.

~Susanna Tamaro

Masa Lalu..Biarlah Masa Lalu

Seorang anak kecil yang cantik, mungkin usianya belum sampai 5 tahun, mengenakan baju yang berwarna-warni, cerah, membuat banyak orang gemas melihatnya. Tangan kanannya memegang mic, bersiap untuk bernyanyi. Sambil sedikit menggerak-gerakkan badannya, gadis cilik ini dengan sabar menunggu musik intro mengalun. Akhirnya tibalah waktu yang tepat baginya untuk mengeluarkan suara..."Kau kira tak menyakiti aku.......Apabila dia menelponmu......Meskipun kau tlah resmi milikku......Karna dia bekas pacarmu....Kau kira hatiku tak cemburu......Disaat dia bersamamu......Ku takut terulang masa lalu......Saat dia jadi pacarmu...."

Ribuan orang dewasa bertepuk tangan melihat aksi gadis cilik ini. Mereka bergembira! Mereka bersorak-sorai! Siapa yang tidak bangga memiliki anak yang pintar bernyanyi?! Orang tua mana yang tidak senang melihat aksi panggung anaknya dilihat dan membuat senang banyak orang?! Bukan bermaksud menghakimi, bukan juga karena saya tidak menyukai lagu dangdut, tapi karena saya tahu bahwa daya serap gadis cilik itu terhadap apapun yang masuk ke otaknya sedang bagus-bagusnya. Baik itu berupa kata, gambar, nada, rasa makanan dan minuman, aroma sesuatu, tekstur suatu benda, dll. Kata-kata saja sudah sangat powerfull, bisa memengaruhi nasib, apalagi kalau kata-kata itu dibalut nada...apalagi kalau sering dinyanyikan.

‪#‎Repetisi‬

Jumat, 11 April 2014

Mengapa Harus Saya?

Bila disuruh jujur, ada bagian diri saya yang tidak menyukai kegagalan, sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman. Bagian diri yang kemudian meratap dan mempertanyakan sesuatu yang tidak membutuhkan jawaban, "Mengapa harus saya? Mengapa saat ini? Mengapa dengan cara seperti ini?"

Namun, bagian diri itu tidak sendirian. Ada bagian diri lain yang menemaninya sambil berkata, "Kegagalan itu adalah sebuah proses belajar untuk bertumbuh menjadi lebih baik, lebih kuat, dan lebih bijaksana. Kegagalan sangat mahal harganya karena berisi banyak pelajaran. Kesuksesan atau keberhasilan itu memiliki makna justru karena ada kegagalan. Sesuatu disebut gagal karena ada acuan yang disebut berhasil. Begitu juga sebaliknya. Dua hal yang berlawanan hadir untuk saling menguatkan makna satu sama lain."

Dan kehidupan pun, dengan adilnya, tidak selalu mempertemukan saya dengan kegagalan. Seringkali saya juga berjumpa dengan keberhasilan dan kesuksesan yang menyuguhkan rasa gembira. Namun, dalam kegembiraan itu, saya kadang mulai berlaku tidak adil. Hampir tidak pernah, dalam momen-momen seperti itu, ada bagian diri saya yang bertanya, "Mengapa harus saya? Mengapa saat ini? Mengapa dengan cara seperti ini?"

Tuuuttt...Kentuuuuttt

Kalau saya kentut, dan berkesempatan mencium aromanya, memang bau, tapi it's ok. Masih bisa dimaklumi, namanya juga kentut sendiri. Mungkin hampir tidak pernah saya menutup hidung saya sendiri beberapa saat setelah saya kentut. Tapi kalau ada orang lain yang kentut, belum aja mencium aromanya, biasanya saya sudah menutup hidung dan menjauh dari tempat itu. Itu tindakan awal. Tindakan selanjutnya adalah mengumpat orang yang kentut.

Ini kan sama saja dengan mengatakan lebih mudah mengumpat kentut (kesalahan) orang lain dibandingkan kentut (kesalahan) saya sendiri. Saya punya toleransi terhadap kentut sendiri dan sialnya itu tidak berlaku bagi kentut orang lain. Padahal, seandainya mau dikompetisikan dengan jujur, bisa jadi aroma kentut saya lebih busuk dari orang lain. Ini juga mungkin sama dengan mengatakan lebih mudah menasehati orang lain dibandingkan menasehati diri sendiri, lebih mudah menilai orang lain dibanding menilai diri sendiri.

Oiya, satu lagi...berdasarkan pengalaman..aroma kentut yang hening, namun "panjang"..lebih bau dibandingkan dengan aroma kentut yang meletup keras, tapi "pendek". Silakan ditafsirkan sendiri aja ya. :)

Dikampleng Kehidupan

Entah kapan bermulanya, sudah cukup lama ada bagian diri saya yang tidak nyaman dengan rumah sakit. Jangankan berkunjung, mendengar orang mengatakan "rumah sakit" saja sudah cukup membuat bagian diri ini tidak nyaman. Namanya saja rumah sakit, pasti berisi banyak orang sakit. Beda halnya kalau namanya rumah sehat, pasti banyak orang yang sehat disana, atau paling tidak, banyak orang yang sebentar lagi sehat.

Saya punya teman-teman dokter, bahkan adik kandung saya seorang perawat. Saya sangat menghargai profesi mereka, hanya saja makna saya tentang rumah sakit membuat saya antipati dengan tempat tersebut, semewah apapun, sebagus apapun. Saya menganggap, bila ada seseorang, pasien, yang masuk rumah sakit, pasti ada yang "tidak beres" dengan tubuhnya. Dan saya tentu saja tidak mau menjadi orang seperti itu.

Sampai suatu ketika, mau tidak mau, saya harus menginap di tempat yang tidak saya sukai ini. Alamak..mimpi apa saya semalam?! Berkunjung saja tidak nyaman, apalagi pakai acara menginap segala. Hmmm...saya jadi berpikir..kadang-kadang, untuk membuat pemaknaan kita lebih dewasa, kehidupan perlu mengambil tindakan "mengampleng". Ketika sedang "sempoyongan" karena "dikampleng", barulah saya sadar bahwa ada hal-hal baik, ada wawasan baru, ada keberkahan, ada rejeki, ada silaturahmi yang tersembunyi di dalam hal yang selama ini saya hindari karena tidak saya sukai.

Cerita atau Ceritera

Teman sekelas saya pernah bertanya kepada guru sastra indonesia, "Pak, mana kata yang benar, cerita atau ceritera?" Saya yang kebetulan duduk tidak jauh dari teman saya itu agak kaget mendengar pertanyaannya. Pertanyaan sederhana seperti itu sih bisa saya jawab, tidak perlu nanya guru segala. Itu gampil. Untuk ukuran anak kelas 2 SMA, saya tidak butuh waktu lama menjawabnya. Tapi, pertanyaan itu sudah terlanjur terlontar, tinggal mendengar jawaban guru kami saja.

Dan ini yang menarik, jawaban pak guru ternyata tidak sama dengan apa yang ada di pikiran saya. Itu yang membuat jawaban ini masih saya ingat sampai sekarang. Jawabannya betul-betul menghancurkan tembok keangkuhan yang saya bangun dengan banyak teori buku. Dengan santainya pak guru menjawab, "Kata apapun yang kamu pakai itu benar adanya. Ketika kamu memutuskan menggunakan kata cerita, gunakan kata itu secara konsisten pada seluruh karanganmu. Begitu juga ketika kamu memutuskan menggunakan kata ceritera. Pada akhirnya, pembaca bisa melihat konsistensi dari tulisanmu."

Jawaban pak guru ketika itu memang belum saya pahami secara utuh, namun seiring berjalannya waktu, saya semakin bisa melengkapi makna yang terkandung dalam jawaban beliau. Jawaban pak guru melampaui dualitas benar-salah, dan itu tidak mudah diterima oleh keangkuhan saya ketika itu, yang saklek memandang sesuatu, bahwa yang ini salah, yang itu benar. Akhirnya, saya semakin sadar juga, tidak semua orang yang membaca tulisan kita mengurusi hal remeh-temeh seperti baku atau tidaknya kata. Ada yang mampu melihat lebih dalam dari itu.

Bila kehidupan kita seperti sebuah cerita yang kita karang sendiri, maukah kita berlama-lama mengurusi kata-kata baku dan tidak baku, ketimbang menikmati membaca tulisan kita sendiri dan melihat konsistensinya?

Langkah Terbesar

Langkah-langkah perbaikan yg kita lakukan atas kerusakan-kerusakan yg terjadi diseluruh alam semesta ini memang terbilang "langkah2 kecil"... karena langkah yg terbesar adalah "penerimaan" kita atas kerusakan-kerusakan dan kerugian-kerugian yg sudah terlanjur terjadi... #JustDoIt

~Inayàt Tarunaşakti

Kalau Kita Mau

Suatu ketika saya mengalami kejadian yang membuat perasaan sedih saya muncul. Sudah lupa kapan tepatnya, tapi yang jelas, ketika itu perasaan saya berada pada kondisi 'aku rapopo' (aku RApuh POrak POranda)..hehe. Mau ngapa2in gak enak rasanya.

Sampai akhirnya sesosok malaikat berwujud manusia yang ditakdirkan menjadi teman saya muncul. Tidak lupa juga sambil membawa kata-kata penyejuk jiwa yang dipetiknya langsung dari surga. Dengan tenangnya dia bersabda, "Sudahlah Yud, yang lalu biarlah berlalu, masa lalu menjadi milik masa lalu, ikhlaskan saja." Mendengar kalimat suci itu, semua keinginan saya lenyap, kecuali 1 hal...keinginan untuk menampok mulutnya!

Jangankan orang yg sedang sedih, orang yang sedang biasa2 saja belum tentu bisa menjalankan perintah teman saya itu. Anggap saja saya sedang duduk selonjoran di lantai 1 sebuah gedung sambil nangis, kemudian seorang teman datang ingin membantu saya berdiri..tapi dia menyuruh saya langsung loncat ke lantai 10! Kan bisa tanya dulu, "Masih mau selonjoran atau mau berdiri dan naik ke lantai atas?"

Kadang, orang yg sedang sedih belum tentu langsung mau 'berdiri', dia mau 'selonjoran' dulu sambil 'menikmati' perasaannya. Kadang juga dia hanya ingin ada orang yang 'selonjoran' juga di sampingnya, mendengarkannya bercerita panjang lebar, kemudian setelah ceritanya habis, dia berdiri sendiri, bahkan tanpa perlu 'dibantu'. Kadang, ada yang senang 'disuguhkan' tangga, jadi dia bisa terbantu untuk 'berdiri dan naik".

Tidak ada yg salah dengan nasihat baik, tapi tidak semua orang butuh pencerahan. Orang yang merasa dirinya 'cerah' tidak perlu kita sajikan cahaya, beri 'kegelapan' agar 'cahayanya' semakin bersinar. Itupun kalau kita mau.

#Katanya.Kakek.Berjanggut.Putih

"Pendidikan yang sesungguhnya tidak akan mengajarkanmu bersaing, ia akan mengajarkanmu bekerjasama. Ia tidak akan mengajarkanmu untuk berjuang dan menjadi yang pertama. Ia akan mengajarkanmu menjadi kreatif, menjadi penuh belas kasih, menjadi berbahagia, tanpa ada pembandingan dengan orang lain"



~Osho

#MenikmatiSiang

Ada ruang di kedalaman hati kita masing-masing yang tidak bisa dimasuki oleh kata-kata. Disanalah tempat dimana kata-kata menjadi lunglai, sehingga kehilangan daya dan kekokohannya. Yang ada hanyalah keheningan. Dan bila kita cukup nyaman berada disana untuk beberapa waktu, kita akan menemukan tetesan-tetesan makna. Saat kembali, kita akan menyadari bahwa tidak semua makna dirajut dengan kata-kata.

#Dari.SejenakHening. By: Adjie Silarus

Pernahkah kita merasa rajin berdoa pada Tuhan, tapi doa kita tidak kunjung terkabul? Sebulan berdoa, menunggu, masih belum terkabul. Berdoa lagi, menunggu 3 bulan, belum juga terkabul. Bahkan hingga menunggu satu tahun belum juga terkabul.

Anehnya, disisi lain, ada orang yang biasa saja, berdoa jarang, tapi yang diminta dalam doa, semua terpenuhi. Padahal orang itu kelakuannya tidak beres, suka menipu, berbohong, dsb. Namun, apa yang dia minta dalam doa selalu terkabul.

Sekarang bayangkan kita sedang duduk di sebuah warung makan, nah, tidak lama kemudian datanglah pengamen. Tampilannya urakan. Main musiknya amburadul. Suaranya fals.

Bagaimana reaksi kita?

Kebanyakan dari kita akan bereaksi dengan segera memberikan uang, tidak tahan melihat dan mendengarkan suara falsnya lama-lama disitu, kan?

Berbeda jika pengamen yang datang rapi, main musiknya enak, suaranya merdu merayu, dan membawakan lagu-lagu kesukaan kita.

Bagaimana reaksi kita?

Pastinya kita akan menikmati apa yang dibawakan pengamen itu, membiarkannya bernyanyi sampai selesai, lama pun tidak masalah, dan kalau perlu kita suruh bernyanyi lagi.

Kalau pengamennya seperti itu, sampai sealbum pun kita rela mendengarkan, dan mau membayar dengan jumlah yang besar, mungkin sepuluh, dua puluh, atau bahkan seratus ribu. Kalau yang pengamen urakan tadi, paling cuma lima ratus rupiah atau paling banter selembar uang dua ribu rupiah.

Mungkin begitu pula cara Tuhan melihat kita yang taat dan setia menghadap-Nya. Tuhan betah dan suka mendengarkan doa kita dan melihat kita berdoa. Tuhan tersenyum dan bahkan tertawa melihat kita yang punya tekad kuat untuk berdoa, walaupun sambil terkantuk-kantuk.

Tuhan sepertinya ingin sering bertemu kita dalam waktu yang lama lewat doa. Bagi Tuhan, sebenarnya hal yang mudah untuk memberikan apa yang kita mau. Namun, Dia ingin menahan kita lebih lama, agar lebih intim bermesraan dengan-Nya. Lalu kemudian di penghujung nanti, apa yang kita dapatkan jauh lebih besar dan indah dari apa yang kita minta dalam doa, pada waktu-Nya.


#hanya.bagi.yang.cocok

#BukanSiapaSiapa

Ketika seorang memanggil Anda babi, idiot, atau apapun, Anda tidak perlu mendengarkannya. Kita mendengarkannya karena kita tertarik kepadanya; kita terlibat dengannya dan melekat pada dunia suara itu. Suara hanya datang sesuai alaminya. Ada suara indah, suara gila, dan suara burung. Sebagian burung bersuara merdu, dan sebagian lagi, seperti gagak, suaranya mengerikan. Namun, itu bukanlah salah gagak; begitulah alaminya mereka. Itu saja. Itu tidak ada hubungannya dengan kita.


#AjahnBrahm