Senin, 24 November 2014

What We Accept, Transform

Ada seseorang yang tidak menyukai aktivitas memasak. Namun, sebagai seorang perempuan, dia merasa lingkungan seolah-olah menuntutnya untuk pintar memasak. Baginya, memasak itu rumit dan ribet, terlebih lagi dia tidak suka capek-capek membeli bahan-bahan makanan, kemudian mengolahnya. Lebih mudah dan praktis membeli makanan jadi di tempat makan. Simple.
Di jaman modern seperti sekarang ini, saya memang kerap bertemu dengan orang-orang, terutama perempuan, yang tidak menyukai memasak atau tidak begitu handal dalam memasak. But it's ok. Jaman berubah, dan bagi saya, setiap orang punya hobby yang berbeda-beda. Memiliki hal yang disukai dan tidak disukai. Tidak perlu dipaksakan untuk menyukai sesuatu yang sebenarnya tidak disukai.
Saya katakan kepada perempuan ini, "Tidak apa-apa bila tidak suka memasak. Itu oke. Lakukan saja apa yang kamu suka. Tidak ada yang salah dengan memasak, jadi tidak perlu sampai membencinya. Kamu hanya belum menyukainya saja, belum menemukan sesuatu yang menarik disana karena pikiranmu sudah membloknya dengan kata 'ribet'. Ada memang masakan yang perlu dimasak dengan 'ribet', namun ada juga yang praktis." Dalam banyak pertemuan dengannya, saya berulang kali mengatakan hal yang serupa dan mirip maknanya.
Bertahun-tahun berlalu, hal yang mengagumkan terjadi, kini perempuan itu suka memasak! Ketika bertemu saya, dia berkata, "Saya heran kenapa sekarang saya jadi suka memasak?! Hahaha...!" Saya juga ikut tertawa jadinya. Kini dia menyadari bahwa tidak semua aktivitas memasak itu ribet, ada juga yang mudah dan praktis. Saya sangat senang melihat perubahannya. Terutama saya menjadi semakin sadar bahwa dalam penerimaan, terjadi transformasi.
Seringkali kita berupaya mengubah seseorang untuk menjadi seperti ini dan seperti itu. Untuk menjadi seseorang dengan karakter yang 'baik' sesuai pandangan kita atau orang banyak. Namun, hal tersebut belum tentu nyaman dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Bisa saja orang itu 'berusaha berubah' sesuai dengan yang kita inginkan, namun bila dalam prosesnya dia merasa tidak nyaman, seperti sedang 'melawan sesuatu', akan ada titik jenuh yang menyeretnya kembali kepada pola lama. Dan setelah itu, bisa saja kita kecewa karena merasa orang tersebut keras kepala dan tidak mendengarkan kita.
Dalam penerimaan, kita memberi ruang bagi seseorang untuk merasa nyaman dengan sesuatu yang dianggapnya sebagai kekurangan. Dirinya akan merasa diterima dan dicintai. Dan ketika cinta itu muncul dalam dirinya, cinta itulah yang nantinya menggerakkannya untuk melakukan sesuatu. Untuk bertransformasi menjadi lebih baik. Tidak perlu kita 'berupaya mengubah' orang lain, biarlah rasa cinta di dalam dirinya yang menggerakkannya. Yang perlu kita lakukan adalah memberi ruang agar seseorang bisa lebih menerima dan mencintai dirinya sendiri, terutama mencintai kekurangannya sendiri. Ketika seseorang 'melihat' ada ruang yang lebih besar yang terisi cinta, sesuatu yang menakjubkan terjadi. Di dalam hidup ini, tidak ada yang lebih ajaib dari cinta, bukan?!

Berterimakasih kepada ATM

Saya menegurnya, kemudian menyodorkan sebuah kartu ATM dengan warna keemasan. Jelas sekali dia kaget, matanya melotot, leher dan bahunya menegang. Dengan cepat tangan kanannya mengambil kartu ATMnya dari tangan saya. Beberapa detik kemudian, akhirnya dia tersadar, kemudian mengucapkan, "Thank You." Saya mengangguk pelan, tersenyum kepadanya, kemudian pergi. Bahagia rasanya bisa menolong orang lain. Tubuh kita sepertinya memang didesign untuk berbahagia setelah membantu orang lain. 
Beberapa menit yang lalu memang ada suatu kejadian. "Tiiittt....tiiiittt....tiiittt...", suara sebuah ATM di samping saya berbunyi. Ternyata cewek bule yang baru saja keluar dari ruangan lupa untuk mengambil kartu ATMnya kembali. Dia nampaknya terburu-buru tadi. Setelah mengakhiri transaksi, saya ambil kartu ATM yang terlupakan itu. Saya mencari-cari kemana gerangan sang cewek bule. Ternyata cepat juga jalannya...hehe. Dia memasuki supermarket, kemudian saya menghampirinya.
Dia mengucapkan terimakasih. Saya pun demikian. Saya mengucapkan terimakasih kepada ATM yang telah mengeluarkan bunyi tertentu, sehingga saya tahu ada tindakan yang belum tuntas. Berterimakasih kepada telinga yang berfungsi dengan baik. Kepada mata, tangan, kaki, dan semua aparat tubuh yang telah membantu saya dalam memberikan ATM itu kepada pemiliknya  Hari yang indah selalu lahir dari hati yang bersyukur. Tidak harus menunggu ucapan terimakasih dari orang lain, ucapkanlah kepada diri kita sendiri. Minimal kepada udara yang masih lalu-lalang di hidung kita semua. Sudah berterimakasih hari ini??

Melihat Bulan

"Kau sedang melihat bulan itu, Kawan?"
"Ya, Aku sedang memandanginya."
"Bila kau melihatnya lebih dekat, mungkin Kau tidak akan takjub lagi memandanginya. Permukaan bulan tidak lagi seindah yang dapat Kau pandangi dari sini..."
"Maka biarkan Aku memandanginya dari jarak yang membuat bulan itu tetap indah di mataku."
"Apakah Engkau puas hanya dengan memandanginya, tanpa mendekatinya?!"
"Tidak semua hal yang ingin Kau nikmati harus Kau dekati. Kadangkala, dengan memandanginya saja, itu sudah cukup. Bulan tetaplah bulan, dia ada di langit sana. Namun, keputusan untuk menikmati keindahannya ada di dalam diri kita sendiri. Bulan hanyalah bulan. Keindahan bulan tidak ada pada bulannya, tapi ada di dalam cara kita memandangnya."
"Kau termanipulasi pikiranmu sendiri, Kawan.."
"Mendekati bulan untuk menikmati keindahannya pun adalah bentuk lain dari manipulasi pikiran."
"Tapi, keindahan harus diuji."
"Bukan keindahan yang harus diuji, tapi ketidakpercayaan kita terhadap keindahan itu. Kita seolah-olah menguji keindahan, tapi yang sebenarnya kita uji adalah keraguan kita terhadap keindahan. Sama halnya dalam cinta, kita seolah-olah melakukan sesuatu untuk menguji cinta seseorang kepada kita, tapi yang sebenarnya kita lakukan adalah menguji keraguan kita sendiri terhadap cinta seseorang itu kepada kita."
"Ya,,sekarang Aku mengerti. Nampaknya kita sudah cukup panjang berdebat tentang bulan yang sama, yang kita lihat berdua malam ini."
"Untuk hal yang sama-sama bisa kita lihat saja, kadangkala perdebatan bisa muncul, apalagi untuk hal-hal yang sama-sama tidak bisa kita lihat."

Orang yang Angkuh

Kami sedang sama-sama menunggu takoyaki yang sedang diolah sang koki. Saya duduk di sebuah kursi plastik, sedangkan lelaki ini berdiri sekitar 1 meter di samping saya. Tangannya terlipat di depan dada, semakin memperjelas bentuk otot-otot lengannya yang sangat terlatih mengangkat beban. Bajunya kaos hitam ketat, seperti ingin menunjukkan bentuk dada dan otot-otot perutnya. Tidak lupa juga kacamata hitam yang membuatnya tampak sebagai sosok lelaki yang sangat macho. "Angkuh," pikir saya.
Beberapa menit berlalu, dan akhirnya takoyaki 'lelaki macho' itu sudah siap untuk dibawa pulang. Dan mau tidak mau, dia harus melewati saya untuk mengambil makanannya. Saya perhatikan bagaimana dia bergerak dan berjalan, dan ketika melewati saya, badannya membungkuk, senyumnya terurai, dan ini yang membuat semua pikiran saya tentang dia rontok: Bibirnya mengucapkan, "Permisi Mas.." Sangat sopan! Semua penilaian saya tentang lelaki ini hancur lebur dalam sekian detik. Siapa yang sedang menonjolkan otot lengannya? Siapa yang sedang memamerkan otot dada dan perut? Siapa yang angkuh??!! Bukan lelaki itu, tapi pikiran saya tentang lelaki itu!
Tidak jarang kita..ehmm...saya menilai orang dari fisiknya, kemudian membuat penilaian keseluruhan sifatnya dari data fisiknya itu. Itu sangat angkuh! Saya yang angkuh, lebih tepatnya pikiran saya yang sedang angkuh. Ini permainan pikiran. Melihat sesuatu tidak seperti apa adanya, kemudian terjebak dengan penilaian-penilaian parsial, dibalut dengan emosi-emosi yang diambil dari 'lemari masa lalu'. Melihat orang dari 'otot tubuhnya', bukan dari 'otot hatinya'. Memang tidak mudah melihat 'otot hati' seseorang, namun bila hanya bermodalkan melihat 'otot tubuh' seseorang (tampilan fisik) kemudian melakukan penilaian sifat dan sikap, itu adalah cara tercepat untuk 'tersesat'.
Tidak semua yang kita pikirkan benar. Terkadang penilaian yang dilakukan pikiran kita didasarkan pada ketakutan kita sendiri, kesedihan yang pernah muncul di masa lalu, dan kenangan-kenangan lainnya. Menyadari itu saja sudah sangat bagus, karena nantinya, penilaian-penilaian kita, makna yang kita buat terhadap sesuatu, membawa kita kepada rasa-rasa tertentu. Rasa suka ataupun tidak suka, cinta ataupun benci. Dan ada yang pernah mengatakan begini, "Terimakasih karena telah mencintaiku, karena dengan begitu engkau telah meletakkanku di hatimu. Terimakasih telah membenciku, karena dengan begitu engkau telah meletakkanku di pikiranmu."

Kita itu seperti Televisi yang punya Antena

Penampilannya sederhana. Saya bertemu dengan lelaki ini sekitar 2 tahun yang lalu ketika sedang di Mataram. Namun, apa yang dikatakannya ketika itu masih 'membekas' di ingatan saya sampai sekarang. Kami berbincang-bincang tentang banyak hal di tempat kerjanya, sampai akhirnya dia menceritakan tentang ilmu kebatinan yang dia miliki. Ketika itu, saya tidak terlalu tertarik dengan ilmu seperti itu. Dia bercerita pernah bertarung dengan orang sakti inilah, orang sakti itulah, di alam ini dan itu. Saya hanya mendengarkan saja, karena tidak paham mau mengomentari apa. Sambil bercerita, tangannya lihai sekali mengerjakan pesanan saya.
Setelah ceritanya selesai, dia berkata begini, "Saya sebenarnya sudah tidak mencari apa-apa lagi dalam hidup ini, Mas. Apa yang mau dicari kalau semuanya sudah ada?! Saya bekerja untuk keluarga, untuk memberi contoh kepada anak saya bahwa dalam hidup, kita harus bekerja. Saya menjalaninya dengan santai saja, dan yang penting senang." Jeda beberapa saat, dia melanjutkan lagi, "Kita itu seperti tivi yang punya antena, Mas..ada channel-channelnya. Kalau Mas suka olahraga, akan ketemu orang-orang yang suka olahraga. Kalau suka musik, akan ketemu orang-orang yang suka musik juga. Dan kita bisa atur...kita mau ketemu orang seperti apa, tinggal diatur aja 'channelnya'. Hidup ya kaya gitu. Sampean masih muda, kalau mau menikmati hidup, gilai sesuatu." Logat jawanya tidak hilang, walaupun tinggal di Mataram.
Senyumnya terkembang mengakhiri nasehatnya. Untuk orang berusia 40 tahun, dia terlihat awet muda. Saya tidak hanya kagum dengan kebijaksanaanya, tapi saya bahkan hampir tidak percaya bahwa kata-kata itu bisa keluar dari seorang lelaki pembuat stempel, yang ruang kerjanya berukuran 2 x 2 meter. Sungguh wawasannya melampaui ruang kerjanya. Tidak semua guru ada di ruang kelas..kita bisa menemukan dimanapun, selama kita 'mengatur channel' untuk melihat dunia sebagai tempat belajar yang asyik, dan setiap orang akan terlihat hadir untuk memberikan pelajaran-pelajaran 

Mirroring

Di dalam ilmu kimia, ada dikenal sebuah konsep yang bernama "Like Dissolves Like". Konsep ini menjelaskan kenapa satu larutan bisa bercampur dengan larutan tertentu, tapi tidak dengan larutan yang lainnya. Ini tentang perbedaan kutub (polaritas) yang dimiliki tiap-tiap larutan. Kita juga demikian. Kita cenderung berkumpul dengan orang-orang yang 'polaritasnya' (hobby, visi, sifat) sama atau hampir sama.
Konsep ini hampir sama dengan konsep 'Law of Attraction' yang sering kita dengar. Kita cenderung memiliki kemampuan 'menarik' sesuatu yang memiliki kesamaan sifat dengan kita. Kebahagiaan menarik kebahagiaan. Kesedihan menarik kesedihan. Keluhan menarik keluhan. Kita menarik kebahagiaan dengan menjadikan diri kita bahagia terlebih dahulu, sehingga kebahagiaan yang ada di dalam diri menarik kebahagiaan-kebahagiaan lain yang ada di luar diri. Kita justru hanya memiliki sedikit daya untuk menarik kebahagiaan hanya dengan menginginkan kebahagiaan, sedangkan rasa di hati kita sedang sedih. Keinginan itu penting, namun rasa di balik keinginan itu jauh lebih penting.
Bila kita telusuri lebih dalam, ini bukan sekedar konsep tarik-menarik, tetapi lebih kepada konsep 'Mirroring'. Konsep ini saya ketahui dari seseorang bernama Gregg Braden. Konsep ini berbicara tentang medan energi yang menyusun semua materi yang ada di alam semesta. Ini tentang rasa (feelings) di dalam diri kita yang memiliki daya magnetik dan elektrik untuk membentuk pola-pola tertentu. Pola yang terbentuk di dalam diri kita inilah yang nantinya menggerakkan semesta untuk membentuk pola yang sama di luar diri kita. "Dunia luar" merefleksikan "dunia yang ada di dalam diri kita". Yang ada di "dalam", ada di "luar". Bila ingin mengubah yang 'di luar', ubah yang 'di dalam'.
Segitu dulu aja, saya udah mulai pusing..hahaha 

Tinggi-Rendah

Mohon maaf saya menggunakan kata "tinggi" dan "rendah" pada status ini. Tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun atau pihak manapun, hanya ingin mengajak untuk saling bercermin, saling belajar, saling memberi inspirasi, dan saling memuji.
Ada orang yang pendidikannya rendah, tapi ulet dan tekun dalam membangun usaha, akhirnya sukses dan bisa memperkerjakan banyak orang yang bahkan pendidikannya lebih tinggi. Ada orang yang pendidikannya tinggi, memanfaatkan kepintarannya untuk berkarya, memberi inspirasi bagi banyak orang, menjual sesuatu yang bermanfaat, dan akhirnya hidup berkelimpahan, namun tetap rendah hati.
Ada orang yang pendidikannya rendah, malas, tidak suka belajar, sukanya mengkritik, membenci orang-orang kaya, hidupnya serba kekurangan, dan menganggap itu adalah nasib yang harus diterima dengan ikhlas. Ada orang yang pendidikannya tinggi, dan dengan kepintarannya senang mengkritik, menjatuhkan orang lain, menjalankan usaha hanya untuk meraup keuntungan pribadi, sombong, dihujat banyak orang, dan senang dengan kepopuleran seperti itu.
Ada begitu banyak orang di dunia ini, dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Pendidikan itu penting, namun yang utama tentu kebermanfaatan untuk sesama. Tinggal "kacamata" apa yang kita gunakan dalam melihat hal-hal tersebut. Kalau memang niatnya mengkritik, orang sebaik apapun selalu bisa dicari "titik lemahnya". Kalau niatnya belajar, bahkan kita bisa belajar dari anak kecil yang belum bersekolah. Ini semua tentang niat. Seperti sebuah ungkapan yang cukup lucu, "Kalau Anda baru belajar tentang palu, semua orang akan terlihat seperti paku!"
Orang-orang pintar dan berpendidikan tinggi (seharusnya) bisa terlihat dari caranya menyederhanakan sesuatu yang kompleks, bukan malah merumitkan sesuatu yang sederhana agar terkesan canggih. Dan ini perlu kita ingat bersama, bahwa orang berpendidikan tinggi yang hanya bekerja demi keuntungan pribadi tentu tidak lebih baik daripada orang yang pendidikannya rendah, namun mendedikasikan dirinya untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Dalam dimensi "memberi manfaat" tersebut, dualitas "tinggi-rendah" seharusnya sudah saling meluruhkan satu sama lain. Sudah tidak menjadi persoalan yang perlu menjadi bahan perdebatan. Lebih baik kita saling mendukung satu sama lain dan berkarya..berkarya..berkarya!

Tentang Ngoceh

Setiap kita belajar dari pengalaman kita masing-masing. Entah itu rasanya 'MANIS', 'asin', 'asem tenan', 'pahit', dan 'gurih'.  Yang jelas, setiap kejadian yang 'ada rasanya', pasti lebih nyantol, teringat, dan menjadi pengalaman untuk kita serap pelajarannya. Dan pelajaran-pelajaran itu tentu saja khas bagi setiap orang. Kita menyerap pelajaran yang berbeda satu sama lain karena pengalaman kita yang berbeda-beda. Kita melihat kejadian yang berbeda, memaknai kejadian dengan cara berbeda, merespon kejadian dengan gaya yang berbeda, dan pastilah pelajarannya pun berbeda!
Cuma, kadang kita kebablasan. Kita merasa pengalaman kita yang paling berharga, paling benar, paling hebat...karena dilewati dengan perasaan yang paling-paling deh. Kemudian, pengalaman ini kita jadikan referensi untuk 'mengatasi' masalah orang lain. Bila masalahnya belum bisa teratasi juga, kita paksakan, kita salahkan orang lain karena cara yang dia lakukan belum sama dengan cara kita. Karena kalau sudah sama, pasti berhasil, dan masalahnya teratasi. Apa benar cara yang sama selalu memberikan hasil yang sama? Belum tentu! Banyak orang meniru cara seseorang melakukan sesuatu, tapi mendapatkan hasil yang berbeda. Kenapa? Niatnya berbeda!
Memaksakan cara kita menyelesaikan sesuatu kepada orang lain sama seperti kita memaksakan baju kita untuk dikenakan orang lain. Orang lain belum tentu memiliki 'ukuran badan' yang sama dengan kita. Itu baru perihal ukuran, belum perihal 'warna', 'jenis kain', dan 'modelnya'. Belum tentu juga sesuai 'seleranya'. Dan belum tentu juga orang lain sedang membutuhkan 'baju', walaupun kita sedang melihatnya tidak mengenakan 'baju'. Bisa jadi dia sedang 'kepanasan' dan lebih butuh 'dikipasi'. Setiap orang punya pola artistik tersendiri dalam melakukan dan menyelesaikan sesuatu..dan juga, sebenarnya sudah memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya, hanya saja sedang sibuk dengan ocehan pikirannya sendiri. Jangan kita tambahi dengan 'ngoceh' juga. Dan saya baru sadar, ternyata saya sudah kebanyakan 'ngoceh' juga ini. 

Kacang Rebus

Saya lagi ngemil kacang rebus..saya amati kacang-kacang yang masuk ke mulut..saya kunyah perlahan..saya perhatikan dengan seksama tekstur kulit-kulit kacangnya..di dalam kulit-kulit yang kasar itu bisa ada 'buah' yang enak dan permukaannya halus..ini keren..di dalam sesuatu yang kasar, bisa ada sesuatu yang lembut..apa yang kita lihat kasar di luar, belum tentu kasar di dalam..dan perlu diingat, kacang ini tumbuh di dalam tanah..tanah itu posisi 'rendah'..di posisi 'rendah', kacang bisa menghasilkan 'buah'.

Bisa-Bisanya

Seorang bapak keluar dari tempatnya menjahit, kemudian memberi tau saya bahwa tempat tambal ban ada di sebelah utara, sedangkan saya sedang berjalan menggiring sepeda motor ke arah selatan. "Kalau terus ke selatan, tidak ada tempat tambal ban...jadi putar balik saja..ada gang di sebelah kanan..masuk saja..tambal bannya di sekitar sana," kata bapak itu. "Oh begitu..terimakasih banyak ya, Pak!" jawab saya.
Saya berjalan sekitar 50 meter, tiba di sebuah gang, dan menemukan tempat tambal ban yang buka. Syukurlah. Setelah diperiksa, ternyata pentil bannya lepas, sehingga harus mengganti ban dalam. Tidak apa-apa, pikir saya. Tidak ada pilihan lain juga. Yang penting ban belakang sepeda motor saya bisa tertangani dengan baik, dan saya bisa pulang dengan mengendarai sepeda motor yang kondisinya sudah baik.
"Buka 24 jam, Pak?" tanya saya kepada bapak tukang tambal ban. "Nggak Mas, bukanya malam saja sampai jam 7 pagi. Siang sampai sore tutup." Hebat juga, pikir saya. Saya jarang menemukan tempat tambal ban sepeda motor yang bukanya malam sampai pagi hari. Dan ini pertama kalinya saya mampir ke tempat tambal ban jam 12 malam! Bersyukur masih ada orang-orang yang bekerja malam hari seperti bapak ini. Ternyata ada juga rejekinya walaupun buka tambal ban malam hari seperti ini. Dan saya yang ditugaskan mengantarnya malam ini. 
Setiap pertemuan tentu tidak terjadi begitu saja. Tidak terjadi secara kebetulan. Kalaupun kita menyebutnya kebetulan, itu adalah batasan logika kita dalam membangun alasan atau merancang sebab terjadinya sesuatu. Di sepanjang perjalanan pulang, saya masih tidak habis pikir, bisa-bisanya saya bertemu seorang bapak penjahit yang memberi tau saya tempat tambal ban. Bisa-bisanya juga saya bertemu bapak tukang tambal ban itu. Bisa-bisanya ban motor saya 'bermasalah' tengah malam seperti ini. Dan bisa-bisanya Anda menemukan tulisan ini dan membacanya! Ada sebabnya?

#YangMembutakan

Cinta itu tidak membutakan. Justru dengan cinta, kita bisa melihat sesuatu lebih dalam. Kita bisa menemukan keindahan pada sesuatu yang mungkin selama ini kita anggap biasa saja. Pandangan kita menjadi hanya terfokus pada keindahan. Cinta membuat kita melihat keindahan lebih jelas.
Jadi, bukan cinta yang membutakan..yang membutakan adalah kemarahan. Ribuan kebaikan dari seseorang bisa lenyap seketika ketika api amarah muncul dari dalam diri. Dan dari semua api yang ada dalam kehidupan kita, api di dalam diri kita lah yang paling berbahaya...karena bukan saja mampu membakar kebaikan-kebaikan orang lain, tetapi juga mampu membakar hubungan baik yang selama ini dibina.
Setiap orang punya 'titik api' di dalam dirinya. Sekali titik ini tersentuh oleh pikirannya sendiri tentang keadaan, kejadian, atau sikap seseorang, api amarah muncul. Ketika ada bagian di dalam diri kita yang sedang marah, menyadari bahwa diri kita sedang marah adalah langkah penting agar 'nyala apinya tidak melebar kemana-mana'. Namun, upaya untuk menahan 'nyala apinya', memaksa diri agar tidak marah ketika sebenarnya ingin marah adalah langkah awal untuk membuat 'kobaran apinya' semakin besar di kemudian hari.

Tuhan Ada Dimana?

"Pernah gak kalian bercermin?" tanya saya kepada beberapa anak SMP yang sedang mengikuti camp di salah satu lembaga bimbingan belajar.
"Ya pasti pernah, Mas!!" kata mereka, sambil menunjukkan raut wajah yang sedikit kebingungan. Mungkin karena pertanyaannya yang aneh atau tidak begtu penting.
Saya tersenyum, kemudian melanjutkan bertanya, "Nah, ketika kalian bercermin, pernah gak kalian tersenyum dan mengucapkan terimakasih kepada orang yang ada di depan cermin?"
Seorang anak cowok langsung merespon pertanyaan saya itu dengan berkata, "Gendeng Mas!" Teman-temannya yang lain langsung tertawa mendengar jawaban anak ini.
Kemudian, mulai terdengar jawaban dari anak-anak yang lain: "Gak pernah, Mas!", "Aneh Mas!", "Ngapain gitu, Mas?!", "Untuk apa, Mas?", "Narsis Mas!"
"Kalau kalian gak pernah mengucapkan terimakasih pada diri sendiri, lalu kalian mengucapkan terimakasih kepada siapa?" tanya saya lagi.
Seorang anak dengan cepat menjawab, "Kepada Tuhan, Mas." Anak-anak yang lain langsung terkagum-kagum dengan jawaban anak ini yang cepat dan tegas. Termasuk saya.
"Tuhan ada gak di dalam diri kita?" tanya saya.
"Ada Mas!" jawab mereka serempak.
"Kalau kita mengucapkan terimakasih kepada diri sendiri, kita sedang mengucapkan terimakasih kepada Tuhan, gak?"
Wajah mereka tampak berpikir, dan akhirnya seluruh anak mengatakan, "Iya Mas."
"Tuhan ada gak di tangan kita?" tanya saya lagi.
"Ada Mas!" kata mereka.
"Kalau kita mengucapkan terimakasih kepada tangan kita, sama gak dengan mengucapkan terimakasih kepada Tuhan?" kembali saya bertanya.
"Iya Mas!" kata mereka lagi.
"Tuhan ada di kaki kita?"
"Ada."
"Tuhan ada dalam diri setiap orang?"
"Ada."
"Ada dalam diri binatang?"
"Ada"
"Ada di dalam diri anjing?"
"Ada."
"Ada di dalam diri babi?"
Sebagian anak mulai kebingungan, sebagian lagi mengatakan, "Ada Mas."
"Tuhan ada dalam kotoran sapi?" tanya saya sedikit jahil.
Dan merekapun serempak menjawab, "Gak ada Mas!" sambil menunjukkan wajah jijik.
Saya tertawa, dan seisi kelas pun tertawa.