Kamis, 09 April 2015

Kang Suto Mencari Tuhan

....
Di Klender, yang banyak masjid itu, saya mencoba menghayati keadaan. Sering ustad menasehati, "Hiasi dengan baca Quran, biar rumahmu teduh."
Para "Unyil" ke mesjid, berpeci, dan ngaji. Pendeknya, orang seperti kemaruk terhadap agama.
Dalam suasana ketika tiap orang yakin tentang Tuhan, muncul Kang Suto, supir bajaj, dengan jiwa gelisah. Sudah lama ia ingin salat, tapi salat ada bacaan dan doanya. Dan dia tidak tahu. Dia pun menemui pak ustad untuk minta bimbingan, setapak demi setapak.
Setelah pendahuluan yang bertele-tele, ngaji pun dimulai. Alip, Ba, Ta, dan seterusnya. Tapi di tingkat awal ini Kang Suto sudah keringat dingin. Digebuk pun tak bakal ia bisa menirukan pak ustad. Di Sruweng, kampungnya, 'ain itu tidak ada. Adanya cuma ngain. Pokoknya kurang lebih ngain.
"Ain, Pak Suto," kata Ustad Bentong bin H. Sabit.
"Ngain," kata Kang Suto.
"Ya kaga bisa nyang begini mah," pikir ustad.
Itulah hari pertama dan terakhir pertemuan mereka yang runyam. Tapi Kang Suto tidak putus asa. Dia cari guru ngaji yang lain. Nah, ketemu anak PGA. Langsung Kang Suto diajarinya baca Alfatika.
"Al-kham-du...," tuntun guru barunya.
"Al-kam-ndu..," Kang Suto menirukan. Gurunya bilang, "Salah."
"Lha kam ndu lilah...," Guru itu menarik napas. Dia merasa wajib meluruskan. Dia bilang, bahasa Arab tidak bisa sembarangan. Salah bunyi lain arti. Bisa-bisa kita dosa karena mengubah arti Quran.
Kang Suto takut, "Mau belajar malah cari dosa," gerutunya.
Ia tahu, saya tidak paham soal kitab. Tapi ia datang ke rumah, minta pandangan keagamaan dari saya.
"Begini Kang," akhirnya saya menjawab. "Kalau ada ustad yang bisa menerima ngain, teruskan ngaji. Kalau tidak, apa boleh buat. Salat saja sebisanya. Soal diterima atau tidaknya, urusan Tuhan. Lagi pula, bukan bunyi yang penting. Kalau Tuhan mengutamakan 'ain, menolak ngain, orang Sruweng masuk neraka semua, dan surga isinya cuma orang Arab melulu."
....
~Mohamad Sobary

Kapan Kamu Merasa Cukup?

Pertanyaan yang hadir di benak saya tadi malam adalah, "Kapan kamu akan merasa cukup?"
Pertanyaan yang sederhana, namun membuat saya merenung cukup lama. Merenungi perjalanan hidup yang sebagian besar diisi dengan menciptakan impian, kemudian mengejarnya. Bila berhasil senang, jikalau gagal sedih. Menciptakan impian lagi yang lebih besar, dan mengabaikan impian sebelumnya..terus-menerus, seperti berlari ke suatu tempat yang tidak ada ujungnya. Sekalipun terpenuhi, akan tercipta impian dan keinginan baru yang lebih besar dan meminta untuk dipenuhi. Di tengah perjalanan, baru tersadarkan olen sebuah pertanyaan, "Kapan kamu akan merasa cukup?"
"Apakah kamu takut, jika dalam merasa cukup, segala anugerah untukmu akan berhenti dialirkan?" Itu menjadi pertanyaan selanjutnya yang hadir di benak. Kemudian ada suara yang tak kalah jernihnya, "Hanya dalam rasa berkecukupanlah, rasa syukur dapat tumbuh. Dan hanya dengan rasa syukurlah, kebahagiaan akan mekar dalam dirimu. Rasa kekurangan tidak akan menumbuhkan kebersyukuran, apalagi kebahagiaan. Ketika engkau merasa cukup, engkau mulai bisa menikmati aliran anugerah dalam hidupmu. Dalam rasa cukup, engkau menerima segalanya. Ini bukan tentang apa yang sedang engkau miliki, tapi tentang mensyukuri apapun yang engkau miliki saat ini. Dan itu tidak didapatkan dengan memaksa hal-hal di luar dirimu untuk mencukupkan dirinya, tapi keputusan sadar dari dalam diri untuk merasa cukup." Jadi, kapan kamu merasa cukup?

Jebakan Ego

Apakah jika saya mencintai kanan, saya harus membenci kiri?
Apakah jika saya mencintai gelap, saya harus membenci terang?
Apakah jika saya mencintai biru, saya harus membenci sesuatu yang bukan biru?
Apakah jika saya mencintai bunga, saya harus membenci sesuatu yang bukan bunga?
Apakah jika saya mencintai matahari, saya harus membenci bulan?
Apakah jika saya mencintai ketenangan, saya harus membenci keramaian?
Apakah jika saya mencintai kebersihan, saya harus membenci kekotoran?
Apakah jika saya mencintai kebaikan, saya harus membenci keburukan?
Apakah jika saya menganut agama tertentu, saya harus membenci orang-orang yang menganut agama lain?
Apakah jika saya tidak menganut agama tertentu, saya harus membenci orang-orang yang menganut agama?
Apakah jika saya mencintai makanan tertentu, saya harus membenci orang-orang yang mengharamkan makanan itu?
Apakah jika saya mengharamkan makanan tertentu, saya harus membenci makanannya dan orang-orang yang memakannya?
Apakah jika saya mencintai kebahagiaan, saya harus membenci kesedihan?
Apakah setiap rasa cinta yang tumbuh dalam diri harus diiringi hadirnya rasa benci sebagai bayangannya?
Apakah harus seperti itu polanya?
Apakah itu hanya semacam jebakan ego?
Mungkinkah pertikaian yang hadir di bumi ini bukan karena orang-orang tidak memiliki rasa cinta, namun memilikinya dan membenci bagian lain dari apa yang dicintainya?
Mungkin ini bukan kumpulan pertanyaan yang perlu dijawab, hanya perlu direnungi, karena masing-masing kita sebenarnya sudah sama-sama mengetahui jawabannya.

Apa Salahnya?

Apa salahnya punya rasa marah?
Kita menderita bukan karena kemarahan, tapi melawan dan menolak rasa marah yang muncul.
Apa salahnya punya rasa sedih?
Kita menderita bukan karena kesedihan, tapi melawan dan menolak rasa sedih yang muncul.
Apa salahnya punya rasa bosan?
Kita menderita bukan karena kebosanan, tapi melawan dan menolak rasa bosan muncul.
Apa salahnya punya rasa kecewa?
Kita menderita bukan karena kekecewaan, tapi melawan dan menolak rasa kecewa yang muncul.
Kita menderita bukan karena hadirnya rasa-rasa itu, tapi lebih karena menolak hadirnya rasa-rasa itu agar tampak kuat di hadapan orang lain, agar tampak hebat, agar tampak baik. Padahal, kekuatan seseorang itu terlihat bukan karena berhasil melawan, tapi berhasil menjadikan rasa-rasa itu sebagai kawan.

Tentang Cinta Terakhir

Aku ingin menulis sesuatu tentang kita
Tentang rasa, tentang cinta
Tentang sesuatu yang membalut hatimu dan hatiku
Candamu dan candaku
Juga lukamu dan lukaku
Mungkin engkau bosan
Menatap seorang lelaki pemuja kata
Mengumbar rasa kepada semesta
Karena engkau tau cinta tak terbahasa
Tapi ijinkan aku untuk tidak memperdulikannya
Setidaknya untuk saat ini saja,
Ketika aku ingin menulis sesuatu tentang kita
Tentang rasa, tentang cinta
Bukan untuk mengumbarnya
Bukan untuk menyombongkannya
Bahkan harus kukatakan, bahwa ini bukan untukmu
Tapi untukku
Untuk membuatku semakin sadar
Semakin ingat, bahwa aku mencintaimu
Cinta dalam kesadaran
Sadar dalam mencintai
Cinta yang tidak membuatku mabuk
Tapi cinta yang membuatku melakukan
Hal-hal terbaik yang kupunya..untuk kita
Cinta yang tidak membutakan
Tapi cinta yang membuatku mampu
Melihat keutuhan dirimu, keunikan dirimu
Canda-tawamu, sedih-lukamu, lebih-kurangmu
Cinta yang tidak hanya memaksamu untuk bahagia
Tapi cinta yang juga mengijinkanmu untuk bersedih
Cinta yang mengijinkanmu untuk bosan
Cinta yang mengijinkanmu untuk bete
Cinta yang mengijinkanmu untuk ngambek dan ngomel-ngomel
Cinta yang mengijinkanmu untuk memarahiku
Karena aku tau,
Setiap aku menahan kemarahanmu padaku
Aku telah menyediakan ruang yang lebih besar
Untuk amarahmu di lain waktu
Dan mungkin ini yang terberat
Yang tidak pernah kau baca sendiri dari semua kata-kataku
Yang tidak pernah kau dengar sendiri dari semua ucapanku
Hingga detik ini..
Aku ingin memohon ijin kepadamu
Dengan seluruh keikhlasanmu
Dengan seluruh rasa cintamu
Ijinkan aku untuk mengatakannya dengan jujur
Bahwa engkau bukanlah cinta terakhirku!
Maafkan aku bila kau anggap ini menyakitkan
Tapi aku ingin selalu mencintaimu dengan sederhana
Aku hanya ingin engkau ingat bahwa cinta tidak punya akhir
Biarkan aku jatuh cinta lagi..dan lagi..dan lagi..
Kepadamu
Kepada duniamu
Kepada bahagiamu
Dan kepada semua pertanyaan yang sering kau lontarkan
Padahal kita sudah sama-sama tau jawabannya.
Surabaya, di sebuah kontrakan yang tak berpagar, 31-03-2015

Hidup dalam Tidur

Aku sedang hidup dalam tidur
Berlari di masa lalu
Dengan semua rasa pilu
Berkejaran di masa depan 
Dengan semua khayalan dan angan
Aku melihat tubuh
Namun, jarang merasakan diriku utuh
Aku melihat kaki
Namun, jarang hadir di masa kini
Mataku tertutup, wajahku tertunduk,
Berharap doaku Kaupeluk
Tapi pikiranku tak tertuju
Hatiku masih ragu
Ketus menuntut Kau tak keliru
Mengabulkan semua doaku dan rindu

Kita Tetaplah Anak-Anak

Berapapun usia kita, kita tetaplah anak dari orang tua kita. Kadangkala, mereka memperlakukan kita seperti anak-anak, padahal kita merasa diri kita sudah 'besar'. Tapi, kita memanglah anak mereka, dan setiap orang memiliki sisi kanak-kanak di dalam dirinya masing-masing. Tidak perduli apakah orang itu remaja ataukah sudah dewasa.
Banyak orang yang mungkin rindu diomeli ibu, diceramahi bapak, dibawelin mama, dijewer kupingnya sama papa, ditanya hal-hal sepele tiap beberapa jam, masih diingetin mandi walaupun sudah besar, diingetin sembahyang padahal lagi males-malesan, tapi tidak bisa mengulang momen itu kembali. Bersyukurlah kalau kita masih dikaruniai mereka hingga saat ini. Kita mungkin mengeluh ibu kita cerewet, tapi jutaan orang di luar sana mungkin saja ingin mendengar kembali suara ibu mereka ketika ngomel. Kita mungkin juga mengeluh dengan sikap ayah kita, tapi mungkin saja ada banyak orang yang rela melakukan apa saja untuk bertemu ayah mereka beberapa saat hanya untuk memohon maaf dan mengucapkan terimakasih.
Bagi orang tua kita, kita tetaplah anak-anak. Bersyukurlah kita masih diingatkan bahwa ada sisi kanak-kanak di dalam diri kita, karena dengan menyadari sisi itulah kita memiliki kesempatan untuk lebih berbahagia, sekalipun kita merasa diri kita sudah dewasa. Dan kedewasaan bagi saya bukanlah tentang penolakan terhadap sisi kanak-kanak di dalam diri, apalagi berusaha menghilangkan sisi itu, tapi kemampuan untuk menyadari dan memeluknya dengan lebih hangat.