Sama seperti jutaan penduduk Indonesia lainnya, hari ini aku melakukan perjalanan menuju kampung halaman. Suatu tempat dimana aku dilahirkan, diasuh, dan dibesarkan oleh orang-orang tercinta. Hanya dengan mengingat semua kenangan itu, perjalanan yang akan menempuh waktu 4 jam di laut ini tidak akan terasa membosankan. Pukul 5 pagi, aku telah sampai di pelabuhan Padangbai dan segera menaiki kapal dengan nama Perdana Nusantara.Kapal ini cukup besar, sehingga tak mengherankan jika penumpang yang menaiki kapal ini pun cukup banyak. Belum lagi truk-truk yang mengangkut bahan-bahan makanan ikut ambil bagian. Perjalanan menggunakan kapal laut seperti ini bukan yang pertama kalinya aku lakukan, sehingga aku sangat yakin sekali bahwa banyak penduduk pribumi mencari tempat duduk untuk melepaskan kembali lelahnya dengan merebahkan tubuhnya pada kursi yang tersedia, apalagi matahari pun belum muncul di ufuk timur. Hal ini sangat berbeda dengan orang-orang non pribumi yang mencari tempat duduk sebagai tempat untuk membaca buku, dan tak jarang yang memang sengaja tak mencarinya karena ingin menikmati perjalanan laut dengan melihat pemandangan sekitar. Bukan maksud hati ingin menyinggung perasaan, hanya ingin bertutur bahwa ada banyak hal berbeda yang terjadi pada waktu yang sama. Sungguh indah..
Kapal laut berangkat tepat pukul 05.30 ditandai dengan suara bel yang cukup keras. Perlahan kapal ini meninggalkan pantai bergerak menuju laut. Menit demi menit berlalu, jam pun demikian, hingga pada akhirnya pelabuhan sudah tak terlihat lagi. Sepanjang mata memandang hanya hamparan permadani biru yang begitu mempesona. Kadang tenang, kadang bergelombang, seperti mengajarkan bahwa menjalani hidup tak selamanya harus berlari kencang, ada saatnya untuk menenangkan diri seraya berinstropeksi. Hamparan laut yang begitu luas dan dalam ini membuat aku semakin yakin bahwa kerendahan hati adalah hal yang penting. Letak lautan yang lebih rendah dibandingkan sungai dan danau menyebabkan seluruh aliran air bermuara padanya. Sikap rendah hati yang selalu terbuka menerima aliran cinta layaknya lautan yang menyerahkan dirinya secara ikhlas menerima aliran air dari segala penjuru.
Paduan yang sangat indah sekali ketika kapal laut yang terbuat dari logam yang sangat keras melaju di atas lembutnya kumpulan air yang membentuk laut, seperti bercerita bahwa ada keindahan ketika dua hal berbeda saling bekerja sama tanpa keinginan untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Sungguh indah sekali. Benar-benar tertampar rasanya ketika mengingat masa lalu yang tak jarang berselisih paham dengan orang lain karena tidak bisa saling menerima satu sama lain. Keangkuhan dan ego benar-benar menjadi tuan, masih merasa bahwa kebersatuan hanya akan memperkeruh suasana, dan yang terjadi sesuai dengan apa yang dirasa. Ingin rasanya mengulang masa lau dan memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Ah…tapi itu sungguh sulit dilakukan. Maaf atas semua khilaf dan ketidakdewasaan itu.
Tidak cukup dengan tamparan itu, air menyindirku dengan wujudnya. Kelembutan air merupakan paduan antara dua zat yang dekat sekali dengan api, hidrogen dan oksigen. Hidrogen merupakan gas yang mudah terbakar, sedangkan oksigen adalah gas yang menyebabkan pembakaran itu terjadi. Dua gas “panas” ini bersatu pada keadaan yang tepat membentuk air yang begitu lembut. Seandainya saja aku lebih mampu mengolah semua zat panas (baca: emosi, benci, iri) dalam diri, tentu akan terbentuk kelembutan hati yang indah. Lagi-lagi aku harus meminta maaf.
Tak terasa air sudah banyak mengajariku hari ini, sudah banyak mengingatkanku akan kesalahan-kesalahan masa lalu, dan tak terasa pula telah sampailah aku di pelabuhan Lembar. Perjalanan 4 jam ini sungguh sangat berarti dan menyentuh hati. Sesaat lagi aku akan bertemu dengan orang-orang tercinta. Orang-orang yang penuh dengan kehangatan dan kelembutan. Aku kini telah kembali setelah sekian lama pergi. Banyak hal yang harus kembali, bukan hanya untuk semakin dekat, tapi juga untuk menyadarkan pentingnya suatu awal..(Mataram, 17 September 2009)
selsurya.blogspot.com