Teman
sekelas saya pernah bertanya kepada guru sastra indonesia, "Pak, mana
kata yang benar, cerita atau ceritera?" Saya yang kebetulan duduk tidak
jauh dari teman saya itu agak kaget mendengar pertanyaannya. Pertanyaan
sederhana seperti itu sih bisa saya jawab, tidak perlu nanya guru
segala. Itu gampil. Untuk ukuran anak kelas 2 SMA, saya tidak butuh
waktu lama menjawabnya. Tapi, pertanyaan itu sudah terlanjur terlontar, tinggal mendengar jawaban guru kami saja.
Dan ini yang menarik, jawaban pak guru ternyata tidak sama dengan apa
yang ada di pikiran saya. Itu yang membuat jawaban ini masih saya ingat
sampai sekarang. Jawabannya betul-betul menghancurkan tembok keangkuhan
yang saya bangun dengan banyak teori buku. Dengan santainya pak guru
menjawab, "Kata apapun yang kamu pakai itu benar adanya. Ketika kamu
memutuskan menggunakan kata cerita, gunakan kata itu secara konsisten
pada seluruh karanganmu. Begitu juga ketika kamu memutuskan menggunakan
kata ceritera. Pada akhirnya, pembaca bisa melihat konsistensi dari
tulisanmu."
Jawaban pak guru ketika itu memang belum saya
pahami secara utuh, namun seiring berjalannya waktu, saya semakin bisa
melengkapi makna yang terkandung dalam jawaban beliau. Jawaban pak guru
melampaui dualitas benar-salah, dan itu tidak mudah diterima oleh
keangkuhan saya ketika itu, yang saklek memandang sesuatu, bahwa yang
ini salah, yang itu benar. Akhirnya, saya semakin sadar juga, tidak
semua orang yang membaca tulisan kita mengurusi hal remeh-temeh seperti
baku atau tidaknya kata. Ada yang mampu melihat lebih dalam dari itu.
Bila kehidupan kita seperti sebuah cerita yang kita karang sendiri,
maukah kita berlama-lama mengurusi kata-kata baku dan tidak baku,
ketimbang menikmati membaca tulisan kita sendiri dan melihat
konsistensinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar