Hidup bukan tentang perjalanan kaki, tetapi perjalanan hati. Bukan tentang yang paling cepat, tapi yang paling dekat.
Senin, 13 Agustus 2012
Satu, Loro, Three...
Aku sangat yakin, sebagian besar dari teman-teman sudah mengenal deretan angka yang menjadi judul tulisan ini, yaitu satu, dua, tiga. Loro berasal dari bahasa Jawa yang berarti dua, sedangkan three berasal dari bahasa Inggris yang berarti tiga. Lalu, mengapa dicampurkan antara bahasa Indonesia, Jawa, dan Inggris? Ya suka-suka. Sebagai orang yang pernah berkutat lama dengan ilmu kimia, aku senang mencampur-campurkan sesuatu agar menghasilkan sesuatu yang baru..hehe. Kalau belum menghasilkan sesuatu yang baru berarti belum reaksi kimia…(“,)
Ok, kita mulai. Kita semua sudah mengenal konsep angka semenjak di taman kanak-kanak. Biasanya konsep angka disandingkan dengan gambar-gambar. Misalnya, untuk menunjukkan angka satu, digambarkan seekor bebek yang sedang berenang. Untuk menunjukkan angka dua, digambarkan dua batang korek api. Untuk menunjukkan angka tiga, digambarkan tiga buah mobil, dan seterusnya. Mengapa harus disandingkan dengan gambar? Agar lebih mudah ditangkap pikiran. Pikiran kita yang canggih itu senang sekali dengan gambar-gambar, apalagi yang berwarna-warni. Sederhananya, gambar/simbol digunakan untuk memudahkan sesuatu masuk ke dalam pikiran. Coba saja bayangkan tugu! Yang muncul di pikiran kita, walaupun tidak sama bentuknya, adalah sebuah gambaran bentuk tugu, bukan deretan huruf T, U, G, dan U, apalagi deretan huruf I, T, dan S..hehe. Dengan catatan, kita sudah pernah melihat tugu sebelumnya. Bila belum? Ini yang namanya pikiran akan galau..(“,)
Seiring semakin tingginya pendidikan, gambar/simbol semakin disederhanakan. Untuk menunjukkan angka satu, cukup dituliskan 1. Untuk menunjukkan angka dua, cukup dengan 2. Untuk menunjukkan angka tiga, ditulis 3. Angka-angka tersebut juga adalah gambar/simbol dan tentu saja lebih sederhana dibandingkan gambar bebek, korek api, dan mobil. Karena kita tinggal di Indonesia, sehingga kita mengenal bentuk angka satu, dua, dan tiga seperti yang ada sekarang ini (1, 2, dan 3). Coba saja kita tinggal di Mesir, Arab, India, Cina, pasti berbeda bentuknya. Berbeda bentuk, namun esensinya sama. Jadi sebenarnya, konsep angka itu abstrak, namun disederhanakan dengan simbol/gambar, sehingga lebih mudah dilihat, dijangkau pikiran, dan diingat. Kemudian berkenalanlah kita dengan ilmu-ilmu sains, terutama matematika, yang mampu meng’konkret’kan konsep abstrak tersebut, sehingga banyak yang menyebut ilmu-ilmu sains sebagai ilmu-ilmu pasti.
Itu tadi tentang perbedaan bentuk. Sekarang tentang penamaannya. Jangan bandingkan dengan luar negeri dahulu. Di Indonesia saja, satu-dua-tiga disebutkan dengan berbagai nama. Ada yang menyebutnya dengan hiji-dua-tilu. Ada yang senang melafalkannya dengan setunggal-kalih-tiga, siji-loro-telu, asa-dua-talu, besik-due-telu, sekeq-due-telu, sada-dua-tolu, dan lain-lain. Bila aku uraikan terus, pasti akan sangat panjang. Namun, poinnya adalah berbeda nama, esensi sama.
Banyak hal dalam hidup ini yang sebenarnya memiliki esensi yang sama, namun dalam RUPA dan NAMA berbeda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan daya interpretasi dan tafsir kita akan sesuatu. Mengacu terhadap hal tersebut, aku mengajak teman-teman untuk bersama-sama terus belajar, memperdalam sesuatu, dalam hal apapun yang disukai. Mulai menghaluskan daya penglihatan untuk menyentuh esensi setelah menyentuh eksistensi. Karena eksistensi sendiri mudah goyah dan seringkali berganti. Berhentilah meributkan sesuatu yang tampaknya berbeda, namun memiliki esensi yang sama. Damaikan diri kita, heningkan pikiran, ayo kita sama-sama belajar menghargai dan menghormati perbedaan.
Denpasar, 12 Agustus 2012
Gambar dikutip dari: http://nizarast.wordpress.com/2010/10/09/cara-mengetahui-angka-keberuntungan-lewat-tanggal-lahir/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar