Hidup bukan tentang perjalanan kaki, tetapi perjalanan hati. Bukan tentang yang paling cepat, tapi yang paling dekat.
Minggu, 30 September 2012
Buah yang Terjatuh
Beberapa hari yang lalu, tepatnya seminggu yang lalu, tanggal 23 September 2012, saya bertemu dengan seorang pria pada satu sesi seminar di salah satu hotel di Surabaya. Pria ini sangat bersemangat. Usianya mungkin berkisar 30-35 tahun. Semangatnya bisa terlihat jelas dari tatapan mata dan gerakan tubuhnya. Dia berkeliling dari deretan bangku satu ke deretan bangku lain untuk membagikan kartu namanya. Hingga sampailah di deretan bangku dimana saya duduk. Akhirnya, terjadi percakapan. Saya lihat kartu namanya, tertera nama Atim Wibisono. Saya ulangi nama tersebut untuk memastikan bahwa saya mengejanya dengan benar. Kemudian dia menjawab, “Betul Mas, nama saya Atim, saya anak yatim!” Seketika itu juga saya tertawa karena saya mengira dia bercanda. Ada orang-orang yang memang senang mengaitkan namanya dengan suatu kejadian tertentu yang belum tentu benar. Kemudian dia berbicara lagi, “Loh, bener Mas, saya anak yatim, saya tidak punya bapak, ketika lahir ya ploong aja, ditinggal dan ditaruh aja, yang penting bisa hidup. Saya lulusan SD, saya berjuang sampai bisa seperti sekarang.” Seketika itu juga saya tertegun, saya lihat kembali kartu namanya, terdapat tulisan yang menunjukkan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengemasan produk. Saya tidak tahu persis apakah dia bekerja disana atau pemilik perusahaan tersebut, tapi yang jelas pria ini begitu membuat saya kagum.
Kisah yang diceritakan Mas Atim memang mengandung humor. Saat ini dia sudah berada pada posisi yang memungkinkan dirinya untuk memandangi dan menertawakan masa lalunya, menepuk dadanya dengan bangga karena sudah berhasil bangkit dari keterpurukan. Mungkin ada diantara teman-teman yang memiliki kesamaan cerita masa lalu dengan Mas Atim, namun saya yakin banyak yang lebih beruntung hidupnya. Banyak diantara kita yang masih memiliki orang tua hingga sekarang. Masih bisa duduk dengan nyaman di kursi sekolah, kuliah dengan tenang, kerja dengan aman. Kita syukuri keadaan ini, semoga orang tua kita senantiasa sehat dan bahagia. Dan bagi teman-teman yang orang tuanya sudah tiada, saya doakan semoga arwah mereka mendapat tempat yang baik dan segala amal semasa hidup mereka diterima disisi-Nya. Amin.
Kisah Mas Atim ini mengingatkan saya pada sebuah perumpaan tentang buah. Seperti dituliskan dalam banyak buku Bahasa Indonesia bahwa buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya. Arti dari perumpaan tersebut kurang lebih adalah bahwa karakter seorang anak tidak akan jauh dari karakter orang tuanya. Memang benar adanya bahwa karakter orang tua yang mengasuh kita semenjak kecil, memberikan pendidikan, perlindungan, dan tempat yang layak untuk tinggal, berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter diri kita. Tapi, mari kita tidak menelan arti perumpaan ini bulat-bulat. Kita kunyah dulu. Saya bahkan pernah bercanda dengan seorang teman dengan mengatakan, “Kalau pohonnya di tepi sungai, kan bisa beda ceritanya. Buahnya yang sudah matang dan terjatuh bisa saja langsung nyemplung ke sungai dan terbawa arus sungai, sehingga jauuuh dari pohonnya. Atau bisa juga pohonnya ada di lereng gunung, sehingga ketika ada buahnya yang jatuh, langsung menggelinding ke bawah dan berhenti pada posisi yang jauh sekali dari pohonnnya. Buah jatuh jauh dari pohonnya...hehe.” Mungkin Mas Atim termasuk ke dalam “buah” seperti contoh saya ini.
Syukurnya, kita ini lebih sakti dari buah, kita bisa bergerak lebih dinamis dibandingkan buah. Kita bisa menentukan apa yang kita lakukan selanjutnya setelah “terjatuh dari pohon”. Kita bisa memilih untuk diam di tempat, bergerak maju, bergerak mundur, bergerak zig-zag, salto sambil bilang “Waaww”, dan lain-lain. “Terjatuh” bisa diartikan mengalami hal yang tidak diinginkan, bisa juga diartikan “sudah matang dan dewasa”, sehingga bisa menentukan sendiri tujuan hidup yang ingin dicapai. Tapi terkadang tidak semudah itu. Kita, “sebagai buah”, boleh memiliki tujuan dan jalan hidup sendiri, tapi biasanya, “pohon” juga memiliki tujuan dan jalan hidup yang telah dirancang untuk “sang buah” tercinta. Bila tujuan dan jalannya sama, enak betul rasanya. Bila tujuannya sama, namun jalannya berbeda, ini agak pusing. Bila tujuan dan jalannya berbeda, ini pemicu kegilaan...hehe.
Komunikasi semata terkadang tidak cukup. Kita, “sebagai buah”, harus menunjukkan antusiasme, kesungguhan, dan upaya yang konsisten dalam menjalani apa yang kita inginkan, hingga perlahan-lahan “pohon” mulai bisa memahami dan mengerti bahwa apa yang sedang kita jalani adalah hal yang juga baik, namun dengan jalan yang berbeda. Bila belum bisa saling memahami? Sabar, apapun yang kita lakukan akan terbayar, namun pastikan bahwa yang kita lakukan adalah hal yang baik bagi diri kita dan keluarga. Dan jangan lupa doa. Di depan “pohon”, kita manggut-manggut, tapi saat berdoa, tolong yang paling sesuai dengan hati. Kan Tuhan penguasa “pohon” juga..hehe. Sentuhan terakhirnya dengan amal. Niatkan sedekah kita agar kita bisa menjalani hidup ini di atas jalan yang kita tentukan sendiri, bukan di atas jalan yang ditentukan orang lain bagi kita, sekalipun mereka adalah orang-orang yang kita cintai. Cinta, bagi saya, itu sebenarnya lebih kepada memberikan kebebasan bagi orang lain untuk melihat keindahan dalam dirinya sendiri, daripada membentuk orang lain menjadi indah berdasarkan keinginan kita.
Melalui catatan ini, saya tidak bermaksud menggurui siapapun. Saya tidak lebih baik dibandingkan teman-teman yang berkesempatan membaca catatan ini. Saya hanya ingin berbagi hal yang menurut saya baik. Bila ada hal yang bermanfaat, saya sangat bersyukur. Bila ada hal yang kurang berkenan, mari kita berdiskusi, sehingga nantinya catatan ini bisa menjadi lebih baik. Demikian yang bisa saya bagi pada kesempatan yang baik ini, selamat beraktivitas untuk semuanya. Happy Weekend!
Surabaya, 30 September 2012
Gambar dikutip dari: http://treelovers.premieretreeservices.com/2012/01/houston-fruit-trees/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar