Hidup bukan tentang perjalanan kaki, tetapi perjalanan hati. Bukan tentang yang paling cepat, tapi yang paling dekat.
Rabu, 21 April 2010
Daerahku, Daerahmu
Ketika aku ditanya dari mana asalku, aku selalu menjawab dengan singkat, “Mataram”. Bila ada pertanyaan lanjutan, aku akan mencoba menjelaskan bahwa ayahku berasal dari Denpasar, sedangkan ibuku berasal dari Mataram. Pertanyaan selanjutnya biasanya aku jawab sambil tersenyum, “Dua adikku bernama Desi dan Dewi”. Bila kebetulan aku sedang mempunyai waktu luang, aku akan melanjutkan dengan sebuah cerita singkat bahwa aku menikmati masa kecil, TK, dan SD selama 11 tahun di Cianjur, 6 tahun masa SMP dan SMA di Mataram, dan sempat kuliah selama 4 tahun di Surabaya. Bila membayangkan masa-masa mengenyam pendidikan, sungguh angkuh rasanya bila aku tidak bersyukur. Aku hanya tinggal duduk memperhatikan guru atau dosen yang mengajar, mengerjakan tugas, membaca-baca buku pelajaran, praktikum, mengikuti ujian, bermain dengan teman-teman dekat, sedangkan orang tua banting tulang untuk membiayai semua pernak-pernik pendidikanku ini. Belum lagi begitu banyaknya orang yang tak kukenal telah membantu biaya kuliahku di perguruan tinggi negeri. Mohon maaf karena telah merepotkan semuanya. Mudah-mudahan ada pahala yang setimpal untuk semua kebaikan ini.
Mengenang masa lalu seperti ini membawa memoriku pada sebuah kota yang kecil, bila dibandingkan Surabaya, tempat dimana aku dilahirkan. Di kota kecil ini juga aku mulai belajar naik motor, mengurus SIM C, belajar bahasa Sasak, berenang di pantai Senggigi, memancing di Lingsar, meminum air awet muda di Narmada, merasakan pelecing kangkung dan sate bulayak, naik cidomo, dan nongkrong di jalan Udayana. Banyak hal yang aku dapatkan di kota bernama Mataram ini, namun belum ada yang bisa aku berikan bagi tanah kelahiranku ini. Terkadang ada rasa malu ketika mengaku berasal dari Mataram, tetapi tidak lancar berbahasa Sasak. Belum sempat lancar berbahasa Sunda, pindah ke Mataram. Belum fasih Ha-Na-Ca-Ra-Ka, pindah ke Surabaya. Baru sedikit bicara “Ora opo-opo”, sudah ditertawakan teman-teman. Ini yang membuatku mencintai bahasa ibu, bahasa Indonesia.
Seringnya berpindah tempat hidup seperti ini, membuatku bertanya apa makna dari “putra dan putri daerah”. Beberapa kali aku berkunjung ke suatu acara yang menampilkan tarian, nyanyian, dan peragaan busana dengan mengusung nama “persembahan putra-putri daerah”. Sampai disini mungkin belum terlalu menjadi permasalahan. Bisa saja orang-orang yang menampilkan tarian, nyanyian, dan peragaan busana itu adalah orang-orang yang memang lahir dan tinggal lama di daerah tersebut, sehingga layak disebut putra dan putri daerah. Apalagi bila mereka juga lahir dari orang tua yang asli dari daerah tersebut. Atau bisa juga mereka adalah beberapa siswa dari salah satu sekolah di daerah tersebut yang kebetulan mengikuti ekstrakurikuler tari, olah vokal, atau peragaan busana, walaupun diantara mereka ada yang lahir di daerah lain. Orang tua mereka pasti senang karena anak-anaknya memiliki bakat lain di luar potensi akademik-teoritis.
Tahapan yang lebih serius, mungkin juga bisa dikatakan masalah, adalah ketika kita mengusung nama putra dan putri daerah ini pada proses pemilihan kepala atau pimpinan atau ratu pada daerah tertentu. Banyak orang yang memang lahir di suatu daerah kemudian mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin daerah tersebut. Hal tersebut sah-sah saja, apalagi bila didukung oleh kemampuan orasi yang memadai, uang yang cukup, sikap yang pantas diteladani, dan tentu saja pendukung yang selalu siap untuk berkeliling-keliling kota. Namun, ada juga calon pemimpin yang lahir di daerah pencalonan, tetapi sebelumnya tinggal lama dan berkiprah di daerah lain. Belum lagi bila pekerjaan sebelumnya tidak ada hubungannya dengan ranah politik sama sekali. Bagaimana dengan kompetensi orang-orang, yang secara KTP, tidak dilahirkan di daerah tersebut, tetapi memilki pengaruh dan peranan cukup besar bagi masyarakat sekitar? Tentu saja masyarakat sekarang lebih mampu menilai dan memilih dengan bijak. Melalui tulisan ini, tidak ada niatan kepada siapapun untuk mengarahkan suatu pilihan tertentu atau menghasut untuk tidak memilih apapun, hanya ingin memaparkan pandangan mengenai putra dan putri daerah saja. Mohon maaf bila dirasa menyinggung. Mudah-mudahan kita bisa sama-sama berlibur di suatu daerah bernama Mataram. Masih ada gunung Rinjani yang harus didaki. Semoga bermanfaat..!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar