Hidup bukan tentang perjalanan kaki, tetapi perjalanan hati. Bukan tentang yang paling cepat, tapi yang paling dekat.
Sabtu, 14 Mei 2011
Nasi dari Hati..
Menakjubkan. Itu adalah satu kata yang terbersit ketika aku memerhatikan 2 buah botol transparan yang aku letakkan di meja kamarku. Ini adalah percobaan ketiga yang aku lakukan untuk membuktikan hubungan yang terjalin antara eksistensi materi dan esensi energi, antara sesuatu yang nampak dan yang tidak nampak, antara sesuatu yang terlihat dengan sesuatu yang terasa. Lebih khusus lagi, mengenai respon yang diberikan materi terhadap energi yang menyertainya. Percobaan ini juga semakin meyakinkanku akan suatu tenaga yang sering orang bilang dengan istilah “the power of love”. Bila ada yang kurang menyukai istilah tersebut, aku akan mengalah dengan menyebutnya “kekuatan rasa syukur”.
Sebelum melanjutkan membaca catatan ini, ada baiknya membaca catatanku sebelumnya yang menunjukkan percobaan yang hampir sama dengan percobaan kali ini. Hal tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman kita dalam memandang fenomena yang terjalin antara sebuah materi dan sepaket energi, sehingga diharapkan terajut satu benang merah kesimpulan yang utuh. Dua percobaanku sebelumnya tertuang di http://cheminlove.blogspot.com/2009/10/ketika-air-sedang-mengajar-part-2.html dan http://cheminlove.blogspot.com/2010/12/tiga-botol-nasi-untuk-kita-resapi.html
Baiklah aku akan mulai. Percobaan ini dilakukan karena rasa ingin tahu yang besar mengenai sesuatu yang ada di alam semesta, namun tidak nampak, tetapi memiliki pengaruh yang cukup besar dalam merubah banyak hal. Ada semacam kekuatan yang dimiliki setiap insan hidup yang berdaya untuk merubah sesuatu. Aku memulainya dengan mengambil 2 buah botol transparan kecil, kemudian memasukkannya dengan sejumlah nasi yang sama. Botol-botol tersebut aku tutup dengan solasi bening untuk menghindari aliran udara yang mampu memengaruhi kecepatan reaksi yang terjadi. Oleh karena itu, reaksi yang terjadi berada dalam sistem tertutup. Botol pertama aku beri label “DH”, yang merupakan singkatan “Dari Hati”, sedangkan botol kedua aku beri label “TDH”, yang merupakan singkatan “Tidak Dari Hati”. Pemberian label ini hanya untuk membedakan saja antara botol pertama dan botol kedua yang tentu akan diperlakukan berbeda. Pada percobaan kedua, jelas sekali membuktikan bahwa label hanya digunakan sebagai sistem pembeda dan tidak memengaruhi secara langsung perubahan materi di dalam botol.
Kedua botol ini kemudian aku taruh berdekatan satu sama lain di atas meja. Setiap hati, sebelum sembahyang, aku sempatkan untuk memegang botol yang berlabel “DH” kemudian mengucap syukur dan terimakasih atas segala anugerah yang diberikan-Nya dalam kehidupan ini. Baik berupa kesehatan, keluarga yang begitu mendukung segala aktivitasku, teman-teman yang begitu baik, mata yang mampu memandang, hidung yang mampu bernapas dengan baik, telinga yang bisa mendengar suara-suara alam, kaki yang mampu berjalan, tangan yang mampu menggenggam dan menulis. Aku ucapkan terimakasih yang berulang-ulang seraya menghayati setiap anugerah yang ada dalam kehidupan ini. Setelah selesai, aku letakkan botol pertama dan mengambil botol kedua yang berlabel “TDH”. Sambil menggenggamnya aku ucapkan terimakasih berulang-ulang dalam hati, namun perbedaannya, aku tidak menghayati setiap kata terimakasih yang aku ucapkan. Aku hanya berfokus ada pengulangan kata terimakasih yang aku ucapkan. Bila dihitung secara matematis, kata terimakasih yang aku ucapkan pada botol “TDH” LEBIH BANYAK dibandingkan dengan botol “DH”.
Setiap hari aku ulangi aktivitas tersebut pada kedua botol. Dan ini adalah hasilnya setelah 4 hari, tepatnya pada tanggal 12 Mei 2011.
Nasi pada botol TDH berwarna hitam, sedangkan pada botol DH berwarna hijau kekuningan. Dan hasilnya setelah 6 hari seperti pada gambar di bawah.
Teman-teman, banyak hal yang bisa kita petik dari percobaan yang sederhana ini. Dan seperti biasa, aku selalu memberi kesempatan seluas-luasnya kepada teman-teman sekalian untuk menyimpulkannya, mengaitkannya ke dalam banyak aspek kehidupan, dan membawanya menjadi satu kecerdasan yang teraplikasi dalam hidup. Mungkin aku bukan orang yang tepat berbicara tentang moral, tetapi percobaan ini memiliki nilai moral yang cukup tinggi. Seringkali dalam kehidupan, kita jumpai bahwa kualitas lebih berperan dibandingkan dengan kuantitas. Namun yang terbaik tentu saja kuantitas yang didukung juga dengan kualitas yang baik. Bukan tentang seberapa banyak, seberapa sering, tetapi seberapa besar rasa syukur atau energi yang menyertai setiap tindakan kita. Seringkali kita melakukan sesuatu “tanpa daya di dalamnya”. Mengucapkan terimakasih tanpa benar-benar merasakan bahwa pemberian yang kita terima adalah suatu anugerah, memberikan maaf tanpa benar-benar merasakan bahwa setiap kesalahan orang lain perlahan-lahan sirna dari hati, mengucapkan selamat ulang tahun hanya agar terdengar mengucapkannya tanpa benar-benar ingin mendoakan yang terbaik. Aku tidak mengatakan bahwa kegiatan tersebut salah, hanya saja akan menjadi lebih baik bila didukung “power” yang senada. Hal-hal diatas sering juga aku lakukan, dan kini aku telah mengerti bahwa mengisi setiap ucapan dengan “energi” yang senada pasti akan menghasilkan sesuatu yang menakjubkan.
Sebagai penutup, aku ingin mengatakan bahwa “KATA-KATA MENJADI PENTING BUKAN SAJA KARENA KEINDAHANNYA TERAJUT OLEH KECEMERLANGAN PIKIRAN, TETAPI JUGA KARENA DESIR ENERGI YANG MENGALIRINYA….DARI DALAM HATI.” Itu saja.
Surabaya, 14 Mei 2011
Jumat, 06 Mei 2011
Cintaku Bercara...
Engkau yang terus-menerus mengetuk pintu hati..
Kemudian berhembus lembut mengitari bunga-bunga di dalamnya
Merangkum semua wewangian itu menjadi sesungging senyum
yang membuat orang sekitarku merasa aneh,
mengerutkan keningnya, menarik sedikit lehernya
dan mengatakan "apa kamu sudah gila?"
Tapi engkau tetap saja berputar-putar di relung ini,
seolah tak peduli dengan apa yang ada di sekitarku,
dengan apa yang telah engkau perbuat pada waktu,
sehingga berjalan lebih lambat dari biasanya
dengan apa yang telah engkau perbuat pada purnama,
sehingga terlihat lebih indah dibandingkan biasanya
dengan apa yang telah engkau perbuat pada kicau burung-burung itu,
sehingga terdengar begitu harmonisnya
dengan apa yang telah engkau perbuat pada jantungku,
sehingga bekerja lebih giat, berdenyut lebih kencang..
Ini memang gila..
Tapi begitulah dirimu bicara..
dengan cara-cara yang bagaimanapun juga
sulit untuk diterjemahkan oleh para pengolah pikiran,
tapi tetap saja banyak yang ingin mendefinisikanmu,
memenjarakanmu dengan kata-kata,
mereduksi dayamu untuk berhembus..
Cara-cara yang terkadang juga kurasa aneh
Cara-cara yang terkadang juga membuatku ingin marah
Cara-cara yang seringkali tak dapat diterima akal sehatku
Tapi mungkin begitulah caramu..
Tersadarku bahwa setiap kita memiliki
cara yang tak sama dalam menghembuskannya
Dan di antara semua hembusan yang ada, engkau berbeda,
Aku mencintai caramu menghembuskannya mengelilingi hatiku,
Aku mencintai cintamu,
namun terlebih lagi, aku mencintai caramu mencintaiku. Itu saja..
Surabaya, 6 Mei 2011
Langganan:
Postingan (Atom)