Jumat, 11 Mei 2012

Dua Pijakan


Beberapa hari yang lalu, aku sempat berbincang hangat dengan seorang sahabat.Sudah lama juga tidak bertemu, kita membicarakan banyak hal, hingga akhirnya menyentuh tentang aktivitas sehari-hari dan pandangan masa depan. Bangga rasanya memiliki seorang teman yang visioner, memiliki keinginan-keinginan yang luar biasa untuk masa depannya, dan oleh karenanya bekerja begitu keras untuk mewujudkan kesemuanya itu. Aku melihat keseriusan dari wajahnya ketika menceritakan detail keinginannya dan apa saja yang dia lakukan untuk mencapainya. Sahabatku ini memang seorang pekerja keras, dan aku selalu bangga untuk karakternya yang satu ini, dari semenjak kuliah.

Aku terus mendengarkan cerita-ceritanya, sesekali juga aku berbagi tentang pandanganku tentang masa depanku, tentang rencana-rencanaku, dan apa saja yang aku lakukan saat ini. Terus berbagi cerita, sampai akhirnya aku sampai pada sebuah pertanyaan. Dengan santainya aku bertanya, “Apakah kamu bahagia saat ini?” Dan jawaban yang mengejutkan pun datang, sehingga memberiku inspirasi untuk membuat catatan ini. Jawabannya adalah, “Aku nggak bahagia, Coy!”

Seketika itu juga aku kaget, kemudian aku mengatakan, “Aku bangga dengan caramu memandang masa depan, tapi kecewa dengan cara pandangmu terhadap masa kini. Apakah kamu yakin kamu akan bahagia nantinya ketika sampai pada suatu hari disaat keinginan-keinginanmu terwujud? Keinginan kita tidak akan pernah ada habisnya. Saat satu keinginan terpenuhi, akan ada keinginan lain yang menuntut untuk dipenuhi. Lalu kapan waktunya berbahagia bila seluruh waktu digunakan untuk mengejar keinginan-keinginan itu? Dengan tidak menghargai masa kini, kita sebenarnya sedang tidak menghargai Tuhan yang menganugerahkan banyak hal dalam hidup kita. Suatu saat nanti, mungkin kita akan sampai pada waktu dimana keinginan kita terwujud, mungkin juga tidak. Dengan mengabaikan hari ini, suatu saat nanti, terlepas dari apakah keinginan kita terwujud atau tidak, kita telah kehilangan makna masa lalu.” Sahabat saya terdiam agak lama, sebelum akhirnya mengatakan, “iya, kamu benar.”

Aku memang bukan orang yang terlalu pandai merancang masa depan, tapi aku selalu berupaya untuk merasa nyaman dan bersyukur setiap hari. Aku memang orang yang terkesan santai dan oleh karenanya aku harus banyak belajar dari orang-orang seperti sahabatku itu dalam memandang masa depan. Menurut pandanganku, sahabatku itu sedang mengimplementasikan sebuah gaya hidup yang senada dengan kalimat, “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Dia sedang berupaya begitu kerasnya, hingga merasa “sakit/tidak bahagia” saat ini untuk kemudian merasa bahagia ketika seluruh upayanya membuahkan hasil yang sesuai dengan harapannya. Gaya hidup seperti ini bukannya tidak tepat, tapi sepertinya harus ada pembaharuan di jagad yang penuh dengan ketidakpastian ini. Siapa manusia di dunia ini yang sudah tanda tangan kontrak usia hidup di hadapan Tuhan, kemudian tahu batas usianya dan bisa merencakan dengan membagi waktunya menjadi “waktu untuk bersakit-sakit” dan “waktu untuk bersenang-senang”?Hidup itu penuh ketidakpastian dan karenanya kita patut mensyukuri dan menikmati detik-detik yang sedang berlangsung ini.

Aku punya sebuah konsep yang berhubungan dengan ini semua. Mungkin ini terkesan aneh, tapi setidaknya konsep ini menyamankan logika dan perasaanku. Aku menamakannya konsep “dua pijakan”. Dua pijakan membutuhkan “dua kaki”. Ini tidak ada hubungannya dengan kaki fisik, tapi kaki psikis. Satu kaki diletakkan di masa kini, kaki satunya diletakkan di masa depan. Sebesar, seindah, sekaya, secemerlang apapun keadaan masa depan yang kita harapkan, jangan pernah memijakkan kedua kaki kita di masa depan, simpan satu kaki di masa kini, agar pada saat kita tiba di masa depan itu kita tidak kehilangan masa lalu yang juga adalah masa kini yang kita abaikan. Memijakkan satu kaki di masa kini berarti mempersiapkan diri untuk mensyukuri segala hal yang terjadi, yang dianugerahkan-Nya kepada kita. Syukur itu adalah rasa yang harus dilatih. Itulah kenapa ada orang yang lebih bahagia dibandingkan orang lain, sekalipun orang tersebut tidak lebih kaya dibandingkan orang lain. Ada orang-orang yang lebih ahli bersyukur dibandingkan orang lain. Bukan juga karena lebih pintar, tapi karena lebih mampu melihat anugerah dari segala sesuatu yang tercipta dan hadir dalam hidup.

Kalau menulis sih gampang saja, merangkai kata tidak lebih sulit dibandingkan menjalani apa yang dituliskan atau diteorikan. Apalagi yang dijalani adalah hidup. Kalau kita berhenti di pernyataan ini, secara tidak langsung kita sudah menciptakan “tambahan pemberat” kepada kaki sendiri untuk melangkah. Berteori, berkata-kata, atau menulis hal seperti ini mungkin mudah, menjalani apa yang diteorikan itu agak sulit, tetapi mencari pembenaran untuk tidak melakukan apa-apa membuat segala sesuatunya tambah sulit. Jadi, sesulit apapun mari kita melangkah bersama, saling mengingatkan dan mendoakan, itu yang penting. Ada kalanya mungkin aku yang lupa, dan oleh karenanya mohon aku diingatkan. Sebagai pesan penutup catatan ini: Nikmati hari ini, nikmati hari ini, dan nikmati hari ini.

Surabaya, 11 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar