Hidup bukan tentang perjalanan kaki, tetapi perjalanan hati. Bukan tentang yang paling cepat, tapi yang paling dekat.
Rabu, 23 Mei 2012
Dua Telinga
Ada perbedaan yang mencolok ketika lelaki dan wanita berbicara. Memang bukan sebuah kepastian atau teori baku, tapi setidaknya dengan memahami ini, kita bisa lebih mampu menempatkan diri ketika sedang terlibat dalam suatu pembicaraan. Sebagian besar wanita berbicara atau bercerita untuk menyalurkan apa yang ada di dalam hatinya. Bisa berupa perasaan sedih, marah, jengkel, sebal, bahagia, takut, dan lain sebagainya. Pengungkapan perasaan, itulah kuncinya. Dan mereka membutuhkan pendengar yang mampu menghargai dan memahami luapan-luapan perasaan itu. Mereka tidak terlalu membutuhkan solusi, hanya ingin didengarkan saja, agar hatinya plong. Bagi sebagian lelaki, ini mungkin masalah besar, lebih sulit dibandingkan menyelesaikan soal-soal kalkulus. Memahami perasaan wanita itu tidak mudah bukan saja karena tidak ada rumusnya, tapi juga karena terkadang wanita sendiri tidak tahu apa yang benar-benar diinginkannya…hehe. Berkebalikan dengan wanita, sebagian besar lelaki membutuhkan solusi ketika mengungkapkan satu atau beberapa hal. Mereka mengungkapkan permasalahan yang membutuhkan jalan keluar. Intinya begini, wanita cenderung mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya, sedangkan lelaki cenderung mengungkapkan apa yang bersemayam di otaknya. Cenderung. Berarti konsep ini tidak berlaku mutlak untuk semua wanita dan semua lelaki. Terkadang wanita juga bercerita untuk mendapatkan solusi dan adakalanya lelaki berbicara untuk mengungkapkan perasaannya.
Pada dasarnya, setiap orang ingin dihargai, ingin didukung, ingin dibantu untuk melempari dan mengenyahkan hal-hal yang tidak disukai. Dan berbagi cerita/saling berbicara adalah aktivitas yang memungkinkan terwujudnya hal-hal tersebut. Agar interaksi ini berjalan baik, tentu harus ada pihak yang berbicara, ada pihak yang mendengarkan. Kalau sama-sama bicara, akan ribut. Kalau sama-sama mendengarkan, jangkrik yang ribut..krik..krik..krik.
Aku sering sekali mendengarkan teman-teman bercerita, atau lebih tepatnya, teman-teman curhat. Tentang keluarganya, tentang cewek atau cowoknya, tentang hobinya, tentang aktivitasnya, dan banyak hal lainnya. Ada yang kuat bercerita berjam-jam, ada juga yang langsung berhenti bercerita ketika tahu bahwa aku sebagai pendengar curhat sudah tidur dengan pulas..hehe. Dan ini benar-benar pernah terjadi. Aku pernah melakukannya, saking tidak menariknya topik yang diceritakan. Karena pengalaman buruk itu, sekarang aku bertobat dan berusaha menikmati setiap cerita yang terlontar untuk aku dengarkan.
Ternyata mendengarkan itu ada seninya. Tidak semua orang ahli dalam hal ini, padahal hanya mendengarkan. Kita terkadang tidak sabar dan tidak tahan untuk turut berbicara. Bahkan juga sering menunjukkan reaksi fisik yang membuat kenyamanan orang yang bercerita menjadi berkurang. Mungkin karena ceritanya tidak penting bagi kita, ketidaksiapan kita untuk terlibat emosi dalam cerita tersebut, atau kita sudah bosan karena mendengarkan cerita tersebut berkali-kali dari orang yang sama. Meminimalkan hal tersebut, mari kita memaksimalkan dua telinga kita.
Sama seperti catatan yang berjudul dua pijakan, dua telinga ini lebih dimaksudkan kepada telinga psikis. Satu telinga digunakan untuk mendengarkan apa yang tersurat (konten cerita). Satu telinga lagi untuk mendengarkan apa yang tersirat (kandungan minat). Konten cerita tidak perlu dibahas lebih lanjut karena berkaitan dengan hal-hal yang diceritakan secara langsung. Untuk yang tersirat memang butuh kepekaan karena tidak diceritakan secara terang-terangan. Apa yang ingin dicapai pencerita, apa tujuannya, bagaimana ekspresinya adalah hal-hal yang tersirat. Perhatikan kata sifat yang digunakan dan kita akan tahu apa yang paling dibenci, disukai, diidam-idamkan, dan lain-lain. Hal tersebut mungkin tidak diungkapkan terang-terangan, tapi kita bisa sedikit “menerka” dari beberapa kata sifat yang digunakan.
Memfokuskan telinga pada konten cerita saja kadangkala membuat kita jenuh, kecuali bila cerita itu benar-benar menarik minat kita. Mendayagunakan satu telinga lagi untuk mendengar hal-hal yang tersirat bisa jadi sangat menyenangkan. Ada orang yang sangat ahli meniru mimik orang lain bercerita karena memerhatikan dengan jelas ekspresi orang tersebut ketika bercerita, meniru gaya bicaranya, suara bicaranya, dan mengetahui hal-hal yang dibenci atau disukainya. Ini pentingnya telinga yang kedua. Memang ketika kita mengaktifkan telinga yang kedua, fokus telinga pertama menjadi berkurang, namun pastikan kita cukup memahami apa yang kita dengarkan dengan mengangguk-anggukan kepala dan sedikit berdeham…he..em..(“,)
Menjadi pendengar yang baik sangat disarankan agar kita lebih mampu menghargai perasaan orang lain. Kita butuh orang lain untuk membantu, mendengarkan cerita kita, dan berbagi kebahagiaan dalam hidup ini. Terlebih lagi kita butuh orang lain untuk mengisi posisi titik buta (blind spot). Titik buta adalah titik yang tidak dapat kita lihat sendiri tanpa bantuan orang lain. Mata kita yang istimewa ini bisa melihat banyak hal, kecuali dirinya sendiri. Dan untuk melihat dirinya sendiri itu, dia membutuhkan cermin atau mata orang lain. Oleh karenanya, kita membutuhkan orang lain sebagai teman bercerita, berbagi nasihat, masukan, motivasi, yang kesemuanya adalah untuk saling melengkapi satu sama lain.
Surabaya, 23 Mei 2012
Gambar dikutip dari: http://jidhu.blogspot.com/2009/05/listen-to-your-heart.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar