Pasangan muda, yang baru menikah, menempati rumah di sebuah komplek perumahan. Suatu pagi, sewaktu sarapan, si istri, melalui kaca jendela, melihat tetangganya sedang menjemur kain.
”Cuciannya kelihatan kurang bersih, ya?!” kata sang istri.
”Sepertinya dia tidak tahu cara mencuci pakaian dengan benar. Mungkin dia perlu sabun cuci yang lebih bagus,” lanjut sang istri lagi.
...
Suaminya menoleh, tetapi hanya diam dan tidak memberi komentar apapun.
Sejak hari itu, setiap tetangganya menjemur pakaian, selalu saja sang istri memberikan komentar yang sama tentang kurang bersihnya si tetangga mencuci pakaiannya.
Seminggu berlalu, sang istri heran melihat pakaian-pakaian yang dijemur tetangganya terlihat cemerlang dan bersih, dan dia berseru kepada suaminya,
”Lihat, sepertinya dia telah belajar bagaimana mencuci dengan benar! Siapa ya kira-kira yang sudah mengajarinya?”
Sang suami berkata, ”Saya bangun pagi-pagi sekali hari ini dan membersihkan jendela kaca kita.”
***
Ketika pertama kali membaca cerita di atas, saya terdiam beberapa saat sambil merenung dan bergumam dalam hati, ”Iya, seringkali apa yang saya pikir tentang apa yang saya lihat belum tentu benar. ’Bagaimana saya melihatnya’ lebih penting daripada ’apa yang saya lihat’.” Dan berbicara tentang bagaimana kita melihat sesuatu, akan menyentuh sekurang-kurangnya 3 hal, yakni cara pandang, sudut pandang, dan jarak pandang.Kedengarannya cukup rumit, tapi saya akan mencampuradukkannya dalam catatan ini sehingga terkesan lebih sederhana.
Segala sesuatu dalam kehidupan ini tidak punya makna, kecuali kita yang memberikannya. Oleh karenanya, saya menyebut bahwa manusia adalah ’mesin pembuat makna’. Sesuatu diterima panca indera, kemudian diramu oleh logika. Ada yang dimaknai positif, ada yang negatif, bahkan ada juga yang dibiarkan netral. Segala sesuatu yang ’dianggap’ positif dikejar, kemudian yang ’negatif’ ditolak habis-habisan dan dihindari, yang netral tentu saja dibiarkan karena ’tidak terlalu memiliki pengaruh’ dalam kehidupan masing-masing orang. Yang seringkali menjadi permasalahan adalah apa yang saya anggap positif, belum tentu dianggap positif oleh orang yang lain. Negatif menurut saya, belum tentu negatif menurut orang lain. Cara saya memandang sesuatu tidak selalu sama dengan cara orang lain memandang sesuatu. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh perbedaan wawasan, pengalaman hidup, lingkungan pergaulan, gaya hidup, dan lain sebagainya. Sudut pandang saya menilai sesuatu tidak selalu sama dengan orang lain. Misalkan saja, saya memandang dari sudut seorang anak muda, yang lain memandang dari sudut pemikiran orang tua, yang lainnya lagi memandang dari sudut pandang anak alay. Sebenarnya ada berapa sudut? Apa benar jumlahnya ada 360? Saya memang tidak pernah menghitungnya, tapi kurang lebih ada tak hingga sudut pandang..hehe. Jarak pandang saya terhadap sesuatu tidak selalu sama dengan jarak pandang orang lain. Saya memandangnya 5 cm dari objek, ada juga yang memandangnya dari puncak gunung Semeru. Pasti beda hasil pengamatannya. Mengetahui perbedaan-perbedaan seperti ini adalah sebuah kebijaksanaan. Yang tidak tepat adalah merasa diri paling benar, merasa cara, sudut, dan jarak pandangnya adalah yang paling berkualitas, yang lainnya tidak sempurna. Ini penyakit. Namanya cacat otak.
Lalu, apa hubungannya dengan ’titik’? Merasa diri paling benar adalah sebuah titik. Dengan merasa paling benar, kita telah mem-block segala hal yang mungkin untuk terjadinya perubahan, sekecil apapun. Pokoknya titik, tidak ada yang lain, sekalipun ada, yang ada itu salah. Padahal, alam semesta ini berubah setiap waktu. Apa yang kita lihat diam, tidak benar-benar diam. Ada vibrasi, ada rotasi, ada translasi yang dinamis. Kita hidup dalam alam semesta yang selalu bergerak, berubah, dan penuh dengan ketidakpastian. Para tetua jaman dulu menyarankan, ”Agar bahagia, sebaiknya kita hidup selaras dengan sifat alam semesta.” Kita seringkali stres karena memiliki ’suatu harapan yang pasti’ di otak kita, diikat kencang-kencang, kemudian dipertemukan dengan keadaan yang sama sekali berbeda. Mampuslah sudah. Makanya ilmu ikhlas itu ilmunya orang sakti. ’Memiliki harapan yang pasti’, dilepaskan, kemudian siap menerima ketidakpastian, dan berfokus pada apa yang bisa dilakukan. Dilepaskan kemana? Ya kepada Big Boss, Yang Paling Berkuasa. Melepasnya ini loh yang sulit. Kita memang sudah melepas uang lima ribu rupiah, memberikannya kepada fakir miskin, tapi uangnya masih nempel di otak. Lah itu padahal bisa buat nasi, tempe, tahu, sayur, sama es teh, atau lumayan kalau dibelikan pentol, bisa dapat satu plastik besar. Ini penyakit. Namanya cacat otak, tapi tidak separah cacat otak yang pertama tadi. Semakin sering memberi, cacat otak yang ini bisa semakin sembuh.
Intinya begini teman-teman, mari kita terbuka terhadap perubahan. Tidak harus kita setuju dengan semua hal, tapi minimal kita tahu dan mencoba untuk menghormati. Tidak menjadikan diri kita ”titik”, yang tidak mau lagi menerima apapun yang masih mungkin, tapi jadikan diri kita ”titik-titik...”, yang siap belajar dari manapun, siapapun, dan kapanpun. Apa yang kita anggap benar hari ini, belum tentu benar di kemudian hari. Yang kita anggap salah saat ini, belum tentu salah esok hari. Kesalahan orang lain di satu ”titik” tidak berarti kita harus menyalahkannya dalam semua aspek. Setiap orang berhak dinilai lebih, berhak mendapatkan kesempatan yang lain untuk berubah menjadi lebih baik, karena kita sendiri pun menginginkan hal demikian. Memaafkan tidak berarti kita membenarkan tindakan orang lain yang salah, tapi cara yang paling efektif untuk berdamai dengan hati kita sendiri, agar benih dendam tidak muncul. Saya sering salah, mungkin juga pernah benar, tapi saya berupaya untuk tidak merasa paling benar.Respect yourself, respect the others.
Demikian yang bisa saya bagi malam ini. Mudah-mudahan catatan ini bisa menjadi teman sebelum tidur. Selamat beristirahat dan semoga mimpi indah. Sampai berjumpa di catatan selanjutnya.
Surabaya, 14 Desember 2012,
Gambar dikutip dari: ulilabshor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar