Hidup bukan tentang perjalanan kaki, tetapi perjalanan hati. Bukan tentang yang paling cepat, tapi yang paling dekat.
Rabu, 25 November 2009
Not only be a giver..
Akhir-akhir ini langit Surabaya sudah tampak bersahabat, setidaknya bagi para petani yang sangat membutuhkan air hujan. Memang belum terlampau sering hujan turun, namun hawa mendung langit, sesekali, menawarkan kesejukan tersendiri. Kipas angin di kamar tidak perlu lembur lagi dan selimut di atas tempat tidur mulai berfungsi kembali. Cerita mimpi tidur malamku sudah bisa kunikmati seutuhnya tanpa harus khawatir terputus karena terbangun tengah malam gara-gara kegerahan.
Hujan, begitu indah ketika bisa dimaknai sebagai serah terima air dari langit kepada bumi.Langit memberinya dengan senang hati dan bumi pun menerimanya dengan lapang hati. Langit telah menyajikan satu keindahan lagi. Menjadi pemberi, itulah yang ingin disampaikannya. Seperti hidup kita yang senantiasa bermanfaat bagi orang lain, senatiasa memberi disertai keikhlasan hati. Petuah bumi pun tidak kalah pentingnya. Menjadi penerima yang lapang hati, itulah nasehatnya. Tanpa kelapangan hati bumi, pemberian langit tak akan berarti. Di lain waktu, bumi pun senantiasa menjadi pemberi yang baik dengan mengikhlaskan sedikit air dari samuderanya terangkat menuju langit menjadi segerombolan kabut tipis awan. Bumi tidak sekedar menerima, namun juga memberi. Begitu pula dengan langit. Semuanya memiliki peran penting masing-masing pada suatu waktu tertentu.
Kita dapat menarik satu benang merah dari persahabatan langit dan bumi. Alam semesta ternyata tidak hanya bercerita tentang keikhlasan memberi, tetapi juga kelapangan hati untuk menerima. Apa jadinya hidup ini bila semua orang ingin memberi? Lantas, siapa yang akan menerima semua pemberian itu? Maka, menjadi seorang penerima yang baik berarti menjadi seseorang yang telah memberikan makna terhadap sebuah pemberian, sehingga arus kebaikan senatiasa mengalir memenuhi jagat raya ini.
Seringkali, kita enggan menerima hal-hal kecil karena telah terbiasa menerima hal-hal yang sedikit lebih besar. Begitu enggan rasanya mendengar curahan hati seorang anak kecil, seorang teman, atau seorang nenek karena telah terbiasa dengan pembicaraan akademik maha rumit. Terkadang, mereka tidak butuh masukan, tetapi hanya ingin didengarkan. Mereka hanya ingin bercerita. Itu saja. Sedikit senyuman dan anggukan sudah cukup membuat mereka merasa dihargai. Jangan pernah bermimpi untuk dihargai bila kita tidak pernah berusaha untuk menghargai orang lain. Belajar mendengarkan adalah salah satu cara mewujudkan diri kita sebagai seorang penerima yang baik. Pada akhirnya, kita harus yakin bahwa akan selalu ada waktu terbaik untuk kita bisa saling berbagi dan bercerita.
Seiring berjalannya waktu, hidup membawaku pada suatu pemahaman bahwa masing-masing kita telah dipantaskan-Nya menerima segala bentuk pemberian-Nya. Anugerah itu dilimpahkan karena kita telah pantas untuk menerimanya. Musibah itu hadir karena kita telah pantas dan memenuhi syarat untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Keluhan, cacian, dan umpatan atas musibah ternyata merupakan bentuk pengingkaran kita terhadap kepantasan tersebut. Maka dari itu, menjadi penting bagi kita untuk saling mengingatkan dan saling menguatkan. Sebagai penutup, mudah-mudahan kita semua menjadi pribadi yang lebih bijak atas semua penerimaan kita. Semoga bermanfaat.
NB: Terima kasih kepada Mas Fahrul yang telah meyakinkan judul catatan ini dan kepada Dani, yang dengan statusnya telah memberikan inspirasi tentang sebuah penerimaan..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
lg dengerin lagunya il divo sambil baca blogmu
BalasHapusbener2 mampu membuat air mata ini tak berhenti mengalir, tp lumayan bwt bersiin mata dari debu
sll ada manfaat d balik hal yg tampaknya kurang bermanfaat ya
karena saat kita menerima sebenarnya kita pun memberi kebahagiaan pada org lain shg org itu mrasa pemberiannya d hargai
BalasHapusgt kan