Empuknya kursi kereta ekonomi harus aku rasakan lagi selama tidak kurang dari 7 jam. Perlahan namun pasti kereta seventeen (baca: selalu mengalah) ini berjalan menyusuri rel yang telah disediakan (kaya makanan aja). Dengan mengusung nama Pasundan, kereta ini mengajarkan kami tentang kesabaran, kesopanan, tenggang rasa, dan semangat hidup. Sabar untuk tidak mendahului kereta lain adalah kunci selamat. Sopan dalam bersilaturahmi di stasiun-stasiun yang ada menumbuhkan rasa kekeluargaan yang tinggi. Tenggang rasa terhadap sesama penumpang dan pedagang asongan dapat menumbuhkan rasa cinta kasih. Semangat hidup yang selalu membara terpancar pada ujung-ujung sapu pembersih lantai kereta, pada tongkat sebagai pengganti kaki yang tak sempurna, dan pada genjrengan gitar yang tidak selalu harmonis dengan suara vokal. Itulah hidup, penuh perjuangan.
Waktu menunjukkan pukul 12.15 saat kami tiba di stasiun tujuan. Suasana yang sangat damai langsung terasa saat kami tiba. Hawa panas Surabaya tak terasa sampai disini, yang ada hanya hawa lapar sembilan perut lelaki ganteng dengan seribu tingkah polahnya. Belum sempat kaki beranjak pergi dari stasiun, langit seolah begitu gembiranya menyambut kehadiran laskat pelangi ini. Perlahan namun pasti tetesan-tetesan air itu mulai turun membasahi bumi yang sejak tadi kering, seolah-olah ingin berkata, “Selamat datang di kota hujan, Yogyakarta!”.
Sedikit negoisasi dan banyak memaksa akhirnya aku dan Wawan berhasil merayu sopir angkutan untuk mengantarkan kami ke Malioboro dengan biaya tidak lebih dari 20.000 perak. Posisi 4-3-2 menjadi andalan kami dalam berjuang di dalam mobil carry coklat, walaupun kami tahu posisi ini tidak baik bagi kesehatan bila berlangsung selama 1 jam lebih. Dani, Daus, Wawan, dan Syafi ada di posisi back; aku, Bang Manan, ma Fuad ada di posisi gelandang; Mushlik n Hamzah dengan rela menjadi penyerang bersama pak supir. Derasnya hujan sudah mulai tidak terasa karena tetesan air itu membentur besi yang melindungi kami bersepuluh.
Setelah melewati perjalanan yang cukup rumit akhirnya kita sampai juga di depan Mal Malioboro. Semua mata memandang kami. Bukan karena kita bersembilan adalah cowok-cowok kece, bukan juga karena kita adalah mahasiswa dari perguruan tinggi negeri yang cukup terkenal di Indonesia, tapi karena hanya kita bersembilanlah yang menyempatkan waktu untuk berlari-lari kecil di tengah hujan deras dari tempat pemberhentian angkutan ke depan Mal Malioboro. Sensasi seperti ini sangat langka sekali, apalagi yang melihat bukan hanya penjual kaos Dagadu, penjual es kelapa muda, n penjual es kopyor, tapi juga cewek-cewek manis yang rela menghabiskan berjam-jam waktunya di depan cermin untuk penampilan terbaiknya hari ini. Baju dan celana yang mengandung kadar air berlebih ini tidak menjadi penghalang bagi kami untuk tetap masuk ke dalam Mal. Pasangan muda-mudi sudah mulai berhadiran dalam pandangan. Aroma kue-kue yang dibuat dengan sangat memperhatikan faktor kesehatan mulai menggelitik hidung kami. Tapi kami semua tidak terpancing dengan kenikmatan duniawi seperti itu karena kami semua masih ingin pulang ke Surabaya besok tanpa harus menjadi gelandangan yang kehabisan uang di Yogya…hahaha. Hukum kekekalan massa mulai kami terapkan selama di dalam Mal. Tidak terjadi penambahan massa di dalam tas kami masing-masing selama berjalan-jalan di dalam Mal karena tidak ada barang yang berhasil kami beli.
Hujan mulai reda, tapi suara perut semakin bergemuruh. Mulai dari iringan dangdut sampai alunan jazz telah berhasil dimainkan dengan sangat baiknya oleh lambung-lambung kami. Bunyi-bunyian itulah yang memaksa kami untuk mencari tempat makan yang sesuai dengan suasana hati dan suasana kantong. Tetes-tetes hujan mengetuk kepalaku dengan sangat lembut tapi dalam. Mengiringi setiap langkahku dalam suatu pencarian. Pencarian yang akhirnya harus kutempuh sejauh 1 kilometer lebih dengan berjalan kaki mengitari Malioboro untuk sampai di warung makan yang menyajikan gudeg Jogja.
Makan + berteduh kurang lebih selama 1 jam setengah membuat kondisiku dan temen-temen kembali pulih. Udah siap untuk berpetualang di kota yang mengasyikan ini. Perjalanan mengitari Malioboro tentu bukan perkara mudah, apalagi hujan tak kunjung memberi ampun kepada kami. Maka dari itu, kami memutuskan menggunakan becak untuk berkunjung ke toko bakpia, toko dagadu, toko batik, dan tempat-tempat lainnya…..(bersambung!)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar