Ada satu tekad yang kuat membara dalam diriku setelah insiden malam itu (Juanda 1), aku tidak boleh telat lagi…aku kangen rumah, kangen soto ayam mbah Putri, kangen pasir Senggigi, kangen temen-temen di Mataram!!
Pagi ini semuanya tampak rapi. Tidak ada hal-hal yang membuatku berprasangka buruk hari ini. Bolpoinku masih ada di atas meja, sisir masih terletak dengan ganteng di tempatnya, tas pakaianku masih tiduran dengan santai di atas lantai kamar kost. Semuanya tampak baik-baik saja. Asistenku hari ini adalah Mail. Mail adalah nama beken dari seorang cowok A2 yang santai, cuek, easy going, dan bernama asli Daus. Nama panjangnya dipakai bila kita membutuhkan bantuannya saat berada di hutan, yaitu Daaauuuuusssssss!!! Untuk selanjutnya kita sepakat menamai tokoh yang satu ini dengan sebutan MAIL.
Mail adalah orang beruntung yang akan mengantarkanku meyusuri jalan-jalan yang sudah aku jelajahi tadi malam, jalan menuju bandara Juanda. Setelah mandi, gosok gigi, dan sembahyang, aku segera menelepon Mail untuk panjelajahan hari ini. Pukul 8 kurang 15 WIK (Waktu Indonesia bagian Keputih) aku dan Mail berangkat menuju bandara. Kali ini tentu saja dengan motornya Mail. Perjalanan menyusuri Arief Rahman Hakim brerlangsung datar-datar saja. Kecepatan motor yang konstan diiringi obrolan ringan tentang chiki, taro, potato, dan cheetos…(itu sih makanan ringan!). Memasuki area Semolowaru, keringatku mulai menampakkan wujudnya. Macet Bos…! Jam-jam segeni biasanya bapak-bapak kantoran, anak-anak sekolah yang belum tau mau jadi apa, ma ibu-ibu rumah tangga yang suka menghabiskan waktunya berjam-jam di pasar pada tumpek blek di jalan yang kira-kira memiliki lebar 3,4561 m. Mobil pribadi, mobil pinjeman, mobil kreditan, motor ramah lingkungan, motor berasap, sepeda ontel, becak, dan beberapa jenis kendaraan lainnya sama-sama berusaha menjadi yang terdepan. Menjadi yang terdepan emang bagus, tapi kalo sama-sama kaya gini…macet, g ada yang mau ngalah. Aku dan Mail menyingsingkan lengan baju dan bersiap untuk persaingan tidak sehat ini. Trotoar serasa jalan bagi kendaraan bermotor juga. Hari ini aku dan Mail buta rambu-rambu lalu lintas. Waktu yang tersisa tinggal beberapa menit, sedangkan jarak yang ditempuh masih cukup jauh. Aku lupa memperhitungkan kemacetan ini. Aku harus sampai di Juanda pukul setengah 9 agar tidak terjadi insiden seperti tadi malam. Ayo iL kamu bisa….Aku percaya kamu (D’masiv)!
Pukul 8.15 kita udah sampai di Giant pondok Candra. Tinggal 15 menit lagi dan aku merasa Mail sanggup mengantarkan aku tepat waktu. Apalagi melihat track recordnya sebagai pembalap Keputih yang cukup punya nama. Aku pun terhanyut dalam kepasrahan..Oh, indahnya.
Sesuatu yang indah memang sering berlangsung begitu cepat. Menurut perhitunganku berlangsung selama 5 menit sebelum akhirnya kami berdua jatuh tersungkur di jalan depan UFO (nama toko pakaian) gara-gara menabrak bagian belakang mobil carry yang hendak belok kanan. Bruk!!!…Prank!!!….Aduh!!! (yang terakhir suaraku sendiri). Benar-benar kejadian yang tak terduga. Seandainya saja lampu sein mobil itu menyala, keadaannya mungkin tidak separah ini. Dengan menahan sedikit sakit aku mendorong motor Mail yang sudah hancur bagian spakbornya ke trotoar. Aku dan Mail cukup shock. Luka di kaki tidak separah luka di hati saat melihat mobil carry yang kita tabrak dari belakang terus melaju lurus seolah tidak terjadi apa-apa. Hei Bung, inikah cara orang kota berbicara,,,?!?!?!
Aku lihat wajah Mail tampak lesu. Tangan kanannya memegang minuman kemasan yang diberikan seorang wanita yang bersimpati kepada kami. Tatapannya masih kosong. Terlihat jelas bahwa dia merasa bersalah hari ini karena tak mampu mengontrol kecepatan motornya. Sambil minum aku pun berdoa, “Ya Tuhan, aku berpasrah bila hari ini bukan hari terbaik untuk keberangkatanku ke Mataram.”
Setelah beberapa menit Mail bangkit dan langsung menyuruhku untuk mengangkat tas pakaian. “Masih ada waktu Coy! Motorku masih bisa jalan! Ayo kita lanjutin!”
Aku tiba-tiba melihat semangat yang membara dari kedua matanya. Semangat yang entah datangnya dari mana mampu membuat Mail terlihat begitu tampan hari ini. Sepatu kets, celana jeans, sarung tangan, dan jaket merah Mail seolah–olah berkata “tidak ada kata terlambat Bung! Let’s go!”
Aku menuruti permintaan Mail dengan perasaan yang tidak bisa aku jelaskan dengan kata-kata sederhana. Baru kali ini aku merasakan luka di kaki dan hati bercampur dengan perasaan bangga akan kebaikan seorang teman dan kerinduan yang mendalam akan kampung halaman. Sungguh mempesona!!
Sampai di Juanda, aku langsung berlari menuju tempat check in tiket. Tidak ada lagi adegan melankolis pengucapan terima kasih. Yang harus aku lakukan adalah memastikan bahwa jam di bandara belum menunjukkan pukul 8.30. Mail menungguku di tempat parkir bandara. Akhirnya, angin surga pun berhembus….Begitu senangnya aku saat melihat angka 8.28 WIB terpampang besar di tembok bandara.
“iL, makasi banyak. Gimana keadaanmu? Aku udah bisa check in sekarang. Tunggu aku pulang ya, nanti kita urus motormu sama-sama.”
“Ok Coy, tenang aja. Aku baik-baik aja kok.”
Percakapan yang terjadi di dalam gedung bandara dan tempat parkir bandara ini kunobatkan sebagai percakapan teromantis hari ini…Makasi banyak iL!!
Setelah mematikan handphone, Mail pun bergegas meninggalkan bandara dengan sepeda motor yang memberikan efek tambahan baru bagi penumpangnya.
kasihan deh loe
BalasHapuswah, keren juga nih punya temen pembalap