Pagi masih bersahabat, sinar matahari belum terasa menyengat. Angin pun masih sesekali berhembus, itupun pelan saja. Seorang gadis berkerudung mengayuh sepedanya dengan perlahan. Menyusuri jalan yang tidak begitu lebar. Mengenakan baju berlengan panjang berwarna biru muda, senada dengan warna kerudungnya. Celana jeans-nya juga biru, namun warnanya lebih muda dibandingkan bajunya. Paduan warna yang menyejukkan mata.
Hingga akhirnya sesuatu terjadi dan membuat gadis berkerudung ini harus merelakan celana jeansnya bersentuhan dengan jalan setelah sepedanya oleng dan hilang keseimbangan. Saya yang berada di belakangnya segera menghampiri, kemudian mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Dengan ramah, gadis ini tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Tentu saya tahu maksudnya. Segera saya angkat sepedanya dan menegakkannya kembali.
Setelah membersihkan debu-debu yang menempel di celana dan lengan bajunya, gadis ini segera menaiki sepedanya kembali. Saya pun bertanya, "Kenapa Mbak?" Dia pun menjawab, "Keberatan Mas." Saya mengerti betul maksudnya, karena ketika mengangkat sepedanya, saya merasakan ada beban yang berat, bukan beban sepedanya, tapi beban tas yang diletakkan di keranjang depan sepadanya. Setelah mengucapkan terimakasih, gadis ini langsung membuka tasnya dan memindahkan beberapa buku ke tas kresek yang telah disiapkannya di dalam tas. Saya pun mohon pamit dan melanjutkan perjalanan.
Banyak hal yang terjadi di hadapan kita memberikan pelajaran berharga. Terjatuh adalah hal yang tidak begitu disukai oleh sebagian kita, termasuk saya. Apalagi kalau bukan karena rasanya tidak enak dan mengharuskan kita berurusan dengan debu, kerikil, atau tanah yang menempel di pakaian kita. Belum lagi kalau menimbulkan luka. Ada yang mengatakan bahwa menyusuri hidup itu seperti mengayuh sepeda. Agar seimbang, kita harus mengayuhnya terus. Gadis berkerudung itu mengayuh sepedanya terus, namun beban yang diletakkan di depan sepedanya terlalu berat! Keseimbangan bukan hanya ditentukan oleh faktor mengayuh, tapi juga beban yang kita bawa.
Setiap kita memiliki beban masing-masing. Beragam pula cara kita membawanya. Dari terjatuhlah kemudian kita belajar untuk meletakkan beban, mengaturnya sedemikian rupa sehingga keseimbangan - yang kita harapkan - pun tercapai. Itu pun kalau kita mau berpikir untuk menata bebannya langsung. Hidup yang tanpa beban itu sepertinya ideal dan sempurna. Kita berjalan dengan keseimbangan kita masing-masing dalam hidup ini. Namun, hidup yang seperti itu tentu saja jauh dari uluran tangan orang lain, jauh dari senyuman hangat orang lain, dan jauh dari ucapan terimakasih.
Saya melihat, bukan ketiadaan beban yang membuat banyak orang bijak memiliki senyum yang teduh, namun kehandalannya dalam meletakkan beban pada tempatnya, kemudian tersenyum lembut kepada beban-beban itu sambil bertutur, "Aku mengakui dan menerima dirimu hadir dalam kehidupanku, namun dirimu bukan aku."
Hingga akhirnya sesuatu terjadi dan membuat gadis berkerudung ini harus merelakan celana jeansnya bersentuhan dengan jalan setelah sepedanya oleng dan hilang keseimbangan. Saya yang berada di belakangnya segera menghampiri, kemudian mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Dengan ramah, gadis ini tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Tentu saya tahu maksudnya. Segera saya angkat sepedanya dan menegakkannya kembali.
Setelah membersihkan debu-debu yang menempel di celana dan lengan bajunya, gadis ini segera menaiki sepedanya kembali. Saya pun bertanya, "Kenapa Mbak?" Dia pun menjawab, "Keberatan Mas." Saya mengerti betul maksudnya, karena ketika mengangkat sepedanya, saya merasakan ada beban yang berat, bukan beban sepedanya, tapi beban tas yang diletakkan di keranjang depan sepadanya. Setelah mengucapkan terimakasih, gadis ini langsung membuka tasnya dan memindahkan beberapa buku ke tas kresek yang telah disiapkannya di dalam tas. Saya pun mohon pamit dan melanjutkan perjalanan.
Banyak hal yang terjadi di hadapan kita memberikan pelajaran berharga. Terjatuh adalah hal yang tidak begitu disukai oleh sebagian kita, termasuk saya. Apalagi kalau bukan karena rasanya tidak enak dan mengharuskan kita berurusan dengan debu, kerikil, atau tanah yang menempel di pakaian kita. Belum lagi kalau menimbulkan luka. Ada yang mengatakan bahwa menyusuri hidup itu seperti mengayuh sepeda. Agar seimbang, kita harus mengayuhnya terus. Gadis berkerudung itu mengayuh sepedanya terus, namun beban yang diletakkan di depan sepedanya terlalu berat! Keseimbangan bukan hanya ditentukan oleh faktor mengayuh, tapi juga beban yang kita bawa.
Setiap kita memiliki beban masing-masing. Beragam pula cara kita membawanya. Dari terjatuhlah kemudian kita belajar untuk meletakkan beban, mengaturnya sedemikian rupa sehingga keseimbangan - yang kita harapkan - pun tercapai. Itu pun kalau kita mau berpikir untuk menata bebannya langsung. Hidup yang tanpa beban itu sepertinya ideal dan sempurna. Kita berjalan dengan keseimbangan kita masing-masing dalam hidup ini. Namun, hidup yang seperti itu tentu saja jauh dari uluran tangan orang lain, jauh dari senyuman hangat orang lain, dan jauh dari ucapan terimakasih.
Saya melihat, bukan ketiadaan beban yang membuat banyak orang bijak memiliki senyum yang teduh, namun kehandalannya dalam meletakkan beban pada tempatnya, kemudian tersenyum lembut kepada beban-beban itu sambil bertutur, "Aku mengakui dan menerima dirimu hadir dalam kehidupanku, namun dirimu bukan aku."