Selasa, 20 Maret 2012

Ngapain Nyuci Motor, Nanti Hujan Lho?!


Pagi ini langit Keputih memang tidak cerah, tapi tidak begitu mendung juga. Awan-awan masih tampak berwarna putih dengan guratan tipis warna abu-abu. Matahari tidak menampakkan diri. Beberapa hari terakhir ini, Surabaya memang sering dilanda hujan dan angin kencang, biasanya terjadi sore hingga malam hari. Melihat kondisi langit pagi ini, aku memutuskan untuk mencuci motor karena sudah tampak kotor sekali. Banyak jejak-jejak tanah yang menempel pada badan motor. Untuk tahap pertama, langsung saja aku mengambil seember air dan sebuah sikat gigi bekas untuk menyikat bagian-bagian motor yang sulit dijangkau tangan. Ketika sedang asyik menyikat motor, datanglah seorang Ibu yang rumahnya tidak jauh dari kostku. Sambil berjalan kaki, beliau mendekati dan bertanya, "Ngapain nyuci motor, nanti hujan lho?!" Kemudian aku menjawab dengan nada bercanda sambil tersenyum, "Supaya keringetan, Bu! Itung-itung olahraga..hehe!"

Pertanyaan yang dilontarkan Ibu tersebut sebenarnya tidak terlalu membutuhkan jawaban. Pertanyaan jenis ini sebenarnya mengandung sindiran yang sangat halus bahwa apa yang sedang aku kerjakan itu akan sia-sia beberapa saat kemudian. Karena memang pada dasarnya aku terganggu dengan kondisi motorku yang kotor dan ingin mencucinya, aku tidak terlalu peduli dengan kemungkinan turunnya hujan. Aku hanya ingin mencuci motor dan aku senang melakukannya.

Setelah menerima jawabanku, Ibu itu tersenyum sambil melanjutkan jalan kakinya. Sambil mencuci motor, aku mulai berandai-andai. Seandainya saja aku tidak begitu ingin/niat mencuci motor, mungkin aku sudah berhenti mencuci motor setelah mendapat pertanyaan dari Ibu tadi. Dan tentu saja motorku akan tetap kotor. Mungkin juga tidak akan ada upaya untuk membersihkannya karena toh hujan akan turun ketika motor sedang kukendarai di jalan dan pekerjaanku tidak akan banyak berarti. Tapi, siapa yang dapat memastikan turunnya hujan? Seandainya pun hujan turun, aku tidak begitu peduli, aku hanya senang mencuci motorku sendiri. Aku menikmati saat-saat mencuci dengan tanganku sendiri sebagai ungkapan rasa terimakasih atas jasa-jasanya menemaniku ke berbagai tempat...ceileh!

Seringkali dalam kehidupan ini kita bertemu orang-orang dengan beragam pendapatnya tentang sesuatu yang kita lakukan. Mungkin ada yang kurang suka, mungkin ada yang mendukung, mungkin juga ada yang seolah-olah mampu melihat kesia-siaan pekerjaan kita di masa depan. Tapi pada prinsipnya, sia-sia bagi orang lain, bukan berarti sia-sia bagi kita. Dan bagiku, pekerjaan yang dilakukan dengan senang hati, sehingga menimbulkan perasaan nyaman, tidak akan pernah sia-sia. Oleh karenanya, penting untuk menyukai apa yang kita lakukan agar kita selalu punya alasan untuk terus melangkah, terus bekerja, dan terus berkarya. Dan kita semua tahu pasti, perasaan nyaman dan puas itu akan semakin besar...semakin besar...semakin besar...ketika kita mampu membaginya kepada banyak orang. Siapapun yang terus-menerus memberi, akan terus-menerus menerima.

Sampai paragraf ini diketik, hujan tidak turun di langit Keputih, walaupun langit memang mendung. Motorku masih tetap bersih...hehe

"Bila sulit bagi kita untuk menutup mulut orang lain, tutuplah telinga kita dan terus lakukan apa yang membuat kita nyaman. Semoga suatu saat nanti ada manfaat yang bisa kita bagi kepada orang lain."


Surabaya, 20 Maret 2012
Gambar diambil dari: http://desy-purnama.blogspot.com/2012/02/lakon-hujan-hari-sabtu.html

Minggu, 04 Maret 2012

Rp. 100,00 (Seratus Rupiah)


Cukup lama tidak menulis di blog. Rindu rasanya. Mudah-mudahan catatan ringan di minggu malam ini bisa menemani saat santai bersama keluarga atau teman-teman. Catatan ini terinspirasi oleh pengalamanku ketika bertemu dengan dua orang pengamen di depan teras kost. Sebenarnya aku sering sekali bertemu dengan pengamen, apalagi di daerah Keputih Surabaya, keberadaan pengamen bukanlah hal yang langka. Di warung-warung tenda saat sedang menyantap makanan, di depan rumah/tempat kost, di dalam kereta api, di dalam bis kota, dan di perempatan jalan adalah lokasi-lokasi para pengamen mangkal. Diantara sekian banyak pertemuanku dengan pengamen, pertemuan yang satu ini yang paling berkesan.

Malam itu aku sedang santai saja di tempat kost. Beberapa saat kemudian muncul dua orang pengamen di depan kost. Satu orang memegang gitar kecil, yang satu lagi menggendong galon air mineral, yang ternyata bisa difungsikan sebagai alat musik pukul. Mulailah kedua orang ini menyanyi sambil memainkan “alat musiknya” masing-masing. Aku tidak begitu familiar dengan lagu yang dinyanyikan. Terlebih lagi, suara mereka dan nada alat musik mereka adalah dua hal yang sama-sama egois. Berbeda arah, keras kepala dan tidak mau berdamai, tetap angkuh di posisinya masing-masing, sehingga tidak bersatu sama sekali. Ini yang para musisi bilang dengan “tidak harmonis”. Terus terang, aku sama sekali tidak menikmati permainan musik mereka. Mungkin banyak orang yang pernah bertemu tipe pengamen seperti ini. Ada yang memberikan sejumlah uang hanya agar mereka berhenti bernyanyi dan kemudian pergi, ada juga yang memberi tanda “tidak ada uang untuk kalian” dengan goyangan telapak tangan kanannya. Aku adalah tipe orang pertama. Aku memberikan mereka uang. Uang itu adalah uang logam. Tentu tidak banyak jumlahnya. Dan itupun hanya sekeping uang logam. Uang itu bernilai SERATUS RUPIAH.

Uang seratus rupiah itu aku berikan begitu anggunnya, dengan tangan yang sangat manis, tangan kanan, dan diterima dengan tangan kanan pula. Belum ada kejadian berarti sampai serah terima ini berlangsung. Beberapa saat, pengamen yang memegang gitar mencermati dengan serius uang yang aku berikan, maklum malam hari dan penerangan di depan kost tidak begitu baik, sehingga perlu keseriusan tertentu untuk melihat sesuatu. Setelah sang pengamen mengetahui bahwa uang yang aku beri adalah uang seratus rupiah, pengamen tersebut marah-marah. Teman pengamen yang satu lagi pun setali tiga uang. Aku diam saja karena memang tidak tahu mau berbuat apa. Setelah itu, mereka pergi dan aku kembali masuk ke kost.

Ada yang salah? Iya. Pasti ada. Bila tidak, tidak mungkin ada respon marah yang seperti itu. Aku renungi kejadian ini, kemudian aku sampai pada simpulan, “dua orang pengamen itu TERSINGGUNG”. Tersinggung dengan nilai uang yang aku berikan. Terlalu kecil, sehingga tidak bisa dikonversi bahkan dengan segelas air mineral untuk membasuh dahaga mereka yang kering karena bernyanyi dari rumah ke rumah. Sungguh, aku sama sekali tidak punya niat untuk membuat mereka tersinggung. Uang itu adalah satu-satunya uang logam yang terselip di saku celanaku. Memang ada beberapa uang yang bisa diberikan, namun aku harus mengambilnya di dalam kamar. Namun kembali, karena aku tidak begitu menikmati permainan musik mereka, aku tidak melakukan upaya itu. Aku bisa saja menolak untuk memberikan mereka uang dan mereka tidak berhak marah. Itu resiko pekerjaan seorang pengamen. Aku juga pernah tidak memberikan uang kepada beberapa pengamen jalanan dan tidak terjadi apa-apa, responnya datar saja. Tapi karena pada malam itu aku memiliki uang seratus rupiah di saku celana, aku memilih untuk memberikannya kepada mereka. Dan ternyata efeknya cukup mengesankan.

Mungkin aku salah. Seratus rupiah memang nilai uang yang kecil di jaman sekarang. Mereka merasa tersinggung karena pekerjaan mereka dinilai dengan uang serendah itu. Aku sering melihat pengamen-pengamen rumahan seperti ini biasanya menerima uang logam 500 rupiah atau seribu rupiah. Mungkin juga ada yang pernah memberikan dua ribu rupiah untuk mereka. Uang seratus rupiah masih mungkin diberikan kepada pengamen-pengamen yang beraktivitas di dalam bis atau kereta api yang membawa gelas air mineral kosong untuk menampung uang hasil jerih payah mereka.

Terlepas dari kesalahanku, aku ingin berharap. Mungkin nilai uang seratus rupiah itu kecil, tapi seandainya pengamen itu bisa bertemu dengan 10 orang yang memberi mereka uang seratus rupiah, mereka telah berhasil mengumpulkan uang seribu rupiah. Seandainya bertemu dengan 20 orang yang memberikan mereka uang seratus rupiah, mereka telah mengumpulkan uang dua ribu rupiah. Lumayan, dan memang butuh kerja keras. Terlebih lagi, butuh keinginan untuk memperbaiki diri agar kualitas menyanyi dan bermain musik menjadi lebih baik, sehingga banyak orang senang, dan pada akhirnya menghargai dengan nilai uang yang tinggi. Kita cenderung mudah mensyukuri hal-hal “besar dan baik” yang datang kepada kita. Sangat manusiawi, akupun demikian. Namun, kita pasti bisa untuk mulai belajar mensyukuri juga hal-hal “kecil dan baik” yang datang kepada kita. Dengan adanya kejadian ini, aku jadi berpikir dan mulai memiliki suatu keyakinan: “Tidak semua niat baik diterima baik oleh orang lain, namun tidak ada hal besar, bermanfaat, dan berlangsung lama tanpa dimulai oleh niat yang baik.”

Surabaya, 4 Maret 2012
Gambar diambil dari: http://ferrialpondrafi.blogspot.com/2011/06/79-memberi.html