Jumat, 14 Desember 2012

Tentang Sebuah Titik

Saya awali catatan ini dengan sebuah cerita yang saya dapat dari seorang guru.

Pasangan muda, yang baru menikah, menempati rumah di sebuah komplek perumahan. Suatu pagi, sewaktu sarapan, si istri, melalui kaca jendela, melihat tetangganya sedang menjemur kain.  

”Cuciannya kelihatan kurang bersih, ya?!” kata sang istri.
”Sepertinya dia tidak tahu cara mencuci pakaian dengan benar. Mungkin dia perlu sabun cuci yang lebih bagus,” lanjut sang istri lagi.
...
Suaminya menoleh, tetapi hanya diam dan tidak memberi komentar apapun.

Sejak hari itu, setiap tetangganya menjemur pakaian, selalu saja sang istri memberikan komentar yang sama tentang kurang bersihnya si tetangga mencuci pakaiannya.

Seminggu berlalu, sang istri heran melihat pakaian-pakaian yang dijemur tetangganya terlihat cemerlang dan bersih, dan dia berseru kepada suaminya,

”Lihat, sepertinya dia telah belajar bagaimana mencuci dengan benar! Siapa ya kira-kira yang sudah mengajarinya?”

Sang suami berkata, ”Saya bangun pagi-pagi sekali hari ini dan membersihkan jendela kaca kita.”

***


Ketika pertama kali membaca cerita di atas, saya terdiam beberapa saat sambil merenung dan bergumam dalam hati, ”Iya, seringkali apa yang saya pikir tentang apa yang saya lihat belum tentu benar. ’Bagaimana saya melihatnya’ lebih penting daripada ’apa yang saya lihat’.” Dan berbicara tentang bagaimana kita melihat sesuatu, akan menyentuh sekurang-kurangnya 3 hal, yakni cara pandang, sudut pandang, dan jarak pandang.Kedengarannya cukup rumit, tapi saya akan mencampuradukkannya dalam catatan ini sehingga terkesan lebih sederhana.

Segala sesuatu dalam kehidupan ini tidak punya makna, kecuali kita yang memberikannya. Oleh karenanya, saya menyebut bahwa manusia adalah ’mesin pembuat makna’. Sesuatu diterima panca indera, kemudian diramu oleh logika. Ada yang dimaknai positif, ada yang negatif, bahkan ada juga yang dibiarkan netral. Segala sesuatu yang ’dianggap’ positif dikejar, kemudian yang ’negatif’ ditolak habis-habisan dan dihindari, yang netral tentu saja dibiarkan karena ’tidak terlalu memiliki pengaruh’ dalam kehidupan masing-masing orang. Yang seringkali menjadi permasalahan adalah apa yang saya anggap positif, belum tentu dianggap positif oleh orang yang lain. Negatif menurut saya, belum tentu negatif menurut orang lain. Cara saya memandang sesuatu tidak selalu sama dengan cara orang lain memandang sesuatu. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh perbedaan wawasan, pengalaman hidup, lingkungan pergaulan, gaya hidup, dan lain sebagainya. Sudut pandang saya menilai sesuatu tidak selalu sama dengan orang lain. Misalkan saja, saya memandang dari sudut seorang anak muda, yang lain memandang dari sudut pemikiran orang tua, yang lainnya lagi memandang dari sudut pandang anak alay. Sebenarnya ada berapa sudut? Apa benar jumlahnya ada 360? Saya memang tidak pernah menghitungnya, tapi kurang lebih ada tak hingga sudut pandang..hehe. Jarak pandang saya terhadap sesuatu tidak selalu sama dengan jarak pandang orang lain. Saya memandangnya 5 cm dari objek, ada juga yang memandangnya dari puncak gunung Semeru. Pasti beda hasil pengamatannya. Mengetahui perbedaan-perbedaan seperti ini adalah sebuah kebijaksanaan. Yang tidak tepat adalah merasa diri paling benar, merasa cara, sudut, dan jarak pandangnya adalah yang paling berkualitas, yang lainnya tidak sempurna. Ini penyakit. Namanya cacat otak.

Lalu, apa hubungannya dengan ’titik’? Merasa diri paling benar adalah sebuah titik. Dengan merasa paling benar, kita telah mem-block segala hal yang mungkin untuk terjadinya perubahan, sekecil apapun. Pokoknya titik, tidak ada yang lain, sekalipun ada, yang ada itu salah. Padahal, alam semesta ini berubah setiap waktu. Apa yang kita lihat diam, tidak benar-benar diam. Ada vibrasi, ada rotasi, ada translasi yang dinamis. Kita hidup dalam alam semesta yang selalu bergerak, berubah, dan penuh dengan ketidakpastian. Para tetua jaman dulu menyarankan, ”Agar bahagia, sebaiknya kita hidup selaras dengan sifat alam semesta.” Kita seringkali stres karena memiliki ’suatu harapan yang pasti’ di otak kita, diikat kencang-kencang, kemudian dipertemukan dengan keadaan yang sama sekali berbeda. Mampuslah sudah. Makanya ilmu ikhlas itu ilmunya orang sakti. ’Memiliki harapan yang pasti’, dilepaskan, kemudian siap menerima ketidakpastian, dan berfokus pada apa yang bisa dilakukan. Dilepaskan kemana? Ya kepada Big Boss, Yang Paling Berkuasa. Melepasnya ini loh yang sulit. Kita memang sudah melepas uang lima ribu rupiah, memberikannya kepada fakir miskin, tapi uangnya masih nempel di otak. Lah itu padahal bisa buat nasi, tempe, tahu, sayur, sama es teh, atau lumayan kalau dibelikan pentol, bisa dapat satu plastik besar. Ini penyakit. Namanya cacat otak, tapi tidak separah cacat otak yang pertama tadi. Semakin sering memberi, cacat otak yang ini bisa semakin sembuh.

Intinya begini teman-teman, mari kita terbuka terhadap perubahan. Tidak harus kita setuju dengan semua hal, tapi minimal kita tahu dan mencoba untuk menghormati. Tidak menjadikan diri kita ”titik”, yang tidak mau lagi menerima apapun yang masih mungkin, tapi jadikan diri kita ”titik-titik...”, yang siap belajar dari manapun, siapapun, dan kapanpun. Apa yang kita anggap benar hari ini, belum tentu benar di kemudian hari. Yang kita anggap salah saat ini, belum tentu salah esok hari. Kesalahan orang lain di satu ”titik” tidak berarti kita harus menyalahkannya dalam semua aspek. Setiap orang berhak dinilai lebih, berhak mendapatkan kesempatan yang lain untuk berubah menjadi lebih baik, karena kita sendiri pun menginginkan hal demikian. Memaafkan tidak berarti kita membenarkan tindakan orang lain yang salah, tapi cara yang paling efektif untuk berdamai dengan hati kita sendiri, agar benih dendam tidak muncul. Saya sering salah, mungkin juga pernah benar, tapi saya berupaya untuk tidak merasa paling benar.Respect yourself, respect the others.
Demikian yang bisa saya bagi malam ini. Mudah-mudahan catatan ini bisa menjadi teman sebelum tidur. Selamat beristirahat dan semoga mimpi indah. Sampai berjumpa di catatan selanjutnya.

Surabaya, 14 Desember 2012, 
Gambar dikutip dari: ulilabshor 

Sabtu, 03 November 2012

Jagang of Happiness

Seperti yang sudah saya katakan beberapa hari sebelumnya, saya akan menulis sebuah catatan berjudul “Jagang of Happiness”, syukur hari ini bisa terealisasi. Terimakasih banyak kepada teman-teman semua yang telah berpartisipasi memberikan komentar-komentar yang sangat positif dan inspiratif tentang makna kebahagiaan dan hal-hal apa saja yang membuat kebahagiaan itu muncul dan mewarnai kehidupan. Saya banyak belajar dari komentar-komentar tersebut. Komentar-komentar tersebut juga menandakan bahwa teman-teman tahu apa yang bisa membuat diri berbahagia. Itu hebat. Dan catatan sederhana ini mudah-mudahan bisa menjadi teman bagi rasa syukur kita dalam menikmati segala karunia yang hadir.

Happiness atau kebahagiaan memang tidak bisa lepas dari rasa syukur. Siapapun yang bisa bersyukur, dia berbahagia, terlepas dari apapun yang dimiliki dan dialami. Tentu saja, semakin baik yang kita miliki dan semakin sesuai kejadian yang kita inginkan dengan kenyataan, kita akan semakin bersyukur, dan itu berarti kita akan semakin bahagia atau merasa senang. Ada satu kalimat yang saya sukai dari komentar teman-teman tentang kebahagiaan, bahwa “Kebahagiaan Itu Sederhana”. Waw..saya sangat setuju dengan itu. Wujud kebahagiaan itu memang sederhana, bisa terkandung dalam hal apapun, sekecil apapun, seringan apapun, semudah apapun. Namun, banyak dari kita, termasuk saya sendiri, belum bisa merasakan kebahagiaan setiap waktu, walaupun saya tahu bahwa kebahagiaan itu sederhana. Kebahagiaan memang selalu sederhana, namun terkadang, kerumitan pikiran kita sendiri yang menyebabkan begitu sulitnya mengakses sesuatu yang sederhana tersebut. Ketika pikiran kita mulai sederhana, mulai tidak disibukkan oleh begitu banyaknya tuntutan, mulai bisa melihat keindahan anugerah yang kita terima melalui orang-orang yang masih kurang beruntung hidupnya, mulai bisa keluar dari masalah yang sebelumnya menghimpit, kita mulai bahagia. Poinnya, kebahagiaan selalu sederhana, pikiran kita yang terkadang rumit.

Karena kebahagiaan selalu sederhana dan pikiran kita terkadang rumit, maka kita harus punya sesuatu yang selalu sederhana. Sesuatu yang sederhana inilah yang nantinya menjadi kunci bagi kita untuk mengakses kebahagiaan, serumit apapun pikiran kita pada suatu waktu. Sesuatu yang sederhana ini saya namakan “JAGANG” atau tiang penopang. Jagang itu bisa disamakan seperti “standar sepeda atau standar sepeda motor” yang membuat sepeda atau motor tersebut tetap bisa berdiri ketika tidak sedang digunakan. Pada umumnya terbuat dari besi, dan ukurannya tidak terlalu besar. Fungsinya menopang keseluruhan tubuh sepeda motor. Namun, karena bentuknya yang sederhana, seringkali kita tidak terlalu memberi perhatian. Jadi, jagang dalam catatan ini bisa diartikan sebagai sesuatu yang sederhana, namun bermakna dalam menopang keseluruhan kebahagiaan kita.

Seperti standar sepeda motor yang “menempel” pada bagian bawah motor, jagang kebahagiaan kita juga harus menempel pada diri kita, bukan orang lain. Jadi, jagang kebahagiaan kita adalah milik kita, “menempel” dengan diri kita, berada dalam kontrol kita, bukan orang lain. Kita bebas menentukan jagang kebahagiaan kita sendiri, yang bisa saja berbeda dengan orang lain, namun pastikan jagang itu “melekat” dengan diri kita dan dapat kita kontrol sepenuhnya. Kita bisa berbahagia jika seseorang berbahagia, namun kita tidak bisa memastikan dan mengontrol kapan seseorang itu berbahagia. Selama orang tersebut belum atau tidak berbahagia, selama itu pula kita sulit mengakses kebahagiaan. Hal itu karena kita meletakkan penopang kebahagiaan kita pada orang lain, bukan pada diri kita sendiri. Penopang kebahagiaan kita sangat dipengaruhi oleh orang lain. Apakah itu salah? TIDAK! Itu bagus, merasa ikut berbahagia saat orang lain berbahagia itu sangat manusiawi. Namun, akan lebih baik lagi bila kita juga memiliki jagang kebahagiaan yang melekat dengan diri kita, hanya diri kita, apapun kondisinya di luar sana.

Ketika kita berbicara sesuatu yang ada di luar diri kita, apapun bentuknya, kita harus menyadari bahwa ada sesuatu yang bisa kita kontrol, ada juga yang tidak. Meletakkan penopang kebahagiaan di luar diri kita itu berarti kita harus kuat dalam penerimaan. Kita harus siap menerima bahwa yang terjadi tidak selalu sama bentuknya seperti apa yang kita inginkan. Bila kita selalu siap, itu bagus, luar biasa, bila tidak?? Itulah mengapa saya menyarankan agar kita juga memiliki jagang kebahagiaan yang melekat dengan diri kita. Sebagai contoh, seseorang mengatakan dirinya berbahagia bila sudah berpenghasilan 5 juta rupiah. Itu berarti, saat ini penghasilannya belum mencapai 5 juta rupiah, dan itu berarti pula berapapun penghasilannya, bila belum mencapai 5 juta rupiah, dia belum berbahagia. Padalah, setiap detik kehidupan kita ini anugerah, dan dia hanya bisa mensyukuri keadaan ketika penghasilannya 5 juta rupiah. Begitu banyak nikmat yang disia-siakan. Contoh lain, saya akan berbahagia bila ibu saya berbahagia. Sungguh mulia, saya juga ingin membahagiakan ibunda saya. Namun, ada satu kelemahan pada penopang kebahagiaan seperti itu, saat ibunya merasa tidak berbahagia, seketika itu juga dia tidak berbahagia. Dalam proses membahagiakan ibunya, dia tidak bahagia sampai ibunya bahagia. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang menjadi kebahagiaan orang lain, kita hanya bisa berupaya mewujudkan apa yang orang lain inginkan. Contoh yang lain lagi, bahagia itu ketika saya bisa bersantai memandangi langit sore dengan rintik-rintik hujan. Kalau suatu sore langit panas menyengat?? Poinnya adalah “gantungkan juga kebahagiaan di dalam diri, jangan hanya di luar diri”. Keep it simple. Sederhanakan kebahagiaan kita dan pastikan berada dalam kontrol kita. Dengan begitu, kita akan mudah mengaksesnya.

Jadi, buatlah jagang of happiness kita masing-masing. Pastikan sangat MUDAH, sangat SEDERHANA, dan berada DALAM KONTROL kita. Jadikan hal-hal di luar diri kita PENAMBAH, PELENGKAP, dan PENYEMPURNA kebahagiaan kita. Misalnya, ketika saya bisa bersyukur, dalam kondisi apapun itu, seketika itu juga saya berbahagia, dan saya akan LEBIH BERBAHAGIA bila saya bisa memeluk dan membahagiakan orang tua saya. Contoh lain, saya berbahagia ketika saya bisa menarik dan menghembuskan napas dengan baik, saya berbahagia ketika saya memutuskan untuk berbahagia, saya berbahagia ketika saya masih bisa menyunggingkan senyum, saya berbahagia ketika saya....dan....dan....(silakan diisi sendiri). Banyak hal yang bisa membuat kita bahagia, teman-teman. Mudah-mudahan kita senantiasa bisa mensyukuri anugerah dalam kehidupan kita, mudah-mudahan kebahagiaan selalu mengiringi setiap langkah kita dalam hidup. Amin.

Sekarang, ijinkan saya untuk mengetahui JAGANG of HAPPINESS yang teman-teman miliki dengan menulis komentar pada catatan ini. Ijinkan banyak orang terinspirasi dan termotivasi dengan JAGANG of HAPPINESS teman-teman semua. Selamat hari Sabtu, selamat berakhir pekan, selamat berbahagia...(“,)

Surabaya, 3 Nopember 2012

Minggu, 30 September 2012

Buah yang Terjatuh




Beberapa hari yang lalu, tepatnya seminggu yang lalu, tanggal 23 September 2012, saya bertemu dengan seorang pria pada satu sesi seminar di salah satu hotel di Surabaya. Pria ini sangat bersemangat. Usianya mungkin berkisar 30-35 tahun. Semangatnya bisa terlihat jelas dari tatapan mata dan gerakan tubuhnya. Dia berkeliling dari deretan bangku satu ke deretan bangku lain untuk membagikan kartu namanya. Hingga sampailah di deretan bangku dimana saya duduk. Akhirnya, terjadi percakapan. Saya lihat kartu namanya, tertera nama Atim Wibisono. Saya ulangi nama tersebut untuk memastikan bahwa saya mengejanya dengan benar. Kemudian dia menjawab, “Betul Mas, nama saya Atim, saya anak yatim!” Seketika itu juga saya tertawa karena saya mengira dia bercanda. Ada orang-orang yang memang senang mengaitkan namanya dengan suatu kejadian tertentu yang belum tentu benar. Kemudian dia berbicara lagi, “Loh, bener Mas, saya anak yatim, saya tidak punya bapak, ketika lahir ya ploong aja, ditinggal dan ditaruh aja, yang penting bisa hidup. Saya lulusan SD, saya berjuang sampai bisa seperti sekarang.” Seketika itu juga saya tertegun, saya lihat kembali kartu namanya, terdapat tulisan yang menunjukkan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengemasan produk. Saya tidak tahu persis apakah dia bekerja disana atau pemilik perusahaan tersebut, tapi yang jelas pria ini begitu membuat saya kagum. 

Kisah yang diceritakan Mas Atim memang mengandung humor. Saat ini dia sudah berada pada posisi yang memungkinkan dirinya untuk memandangi dan menertawakan masa lalunya, menepuk dadanya dengan bangga karena sudah berhasil bangkit dari keterpurukan. Mungkin ada diantara teman-teman yang memiliki kesamaan cerita masa lalu dengan Mas Atim, namun saya yakin banyak yang lebih beruntung hidupnya. Banyak diantara kita yang masih memiliki orang tua hingga sekarang. Masih bisa duduk dengan nyaman di kursi sekolah, kuliah dengan tenang, kerja dengan aman. Kita syukuri keadaan ini, semoga orang tua kita senantiasa sehat dan bahagia. Dan bagi teman-teman yang orang tuanya sudah tiada, saya doakan semoga arwah mereka mendapat tempat yang baik dan segala amal semasa hidup mereka diterima disisi-Nya. Amin.

Kisah Mas Atim ini mengingatkan saya pada sebuah perumpaan tentang buah. Seperti dituliskan dalam banyak buku Bahasa Indonesia bahwa buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya. Arti dari perumpaan tersebut kurang lebih adalah bahwa karakter seorang anak tidak akan jauh dari karakter orang tuanya. Memang benar adanya bahwa karakter orang tua yang mengasuh kita semenjak kecil, memberikan pendidikan, perlindungan, dan tempat yang layak untuk tinggal, berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter diri kita. Tapi, mari kita tidak menelan arti perumpaan ini bulat-bulat. Kita kunyah dulu. Saya bahkan pernah bercanda dengan seorang teman dengan mengatakan, “Kalau pohonnya di tepi sungai, kan bisa beda ceritanya. Buahnya yang sudah matang dan terjatuh bisa saja langsung nyemplung ke sungai dan terbawa arus sungai, sehingga jauuuh dari pohonnya. Atau bisa juga pohonnya ada di lereng gunung, sehingga ketika ada buahnya yang jatuh, langsung menggelinding ke bawah dan berhenti pada posisi yang jauh sekali dari pohonnnya. Buah jatuh jauh dari pohonnya...hehe.” Mungkin Mas Atim termasuk ke dalam “buah” seperti contoh saya ini. 

Syukurnya, kita ini lebih sakti dari buah, kita bisa bergerak lebih dinamis dibandingkan buah. Kita bisa menentukan apa yang kita lakukan selanjutnya setelah “terjatuh dari pohon”. Kita bisa memilih untuk diam di tempat, bergerak maju, bergerak mundur, bergerak zig-zag, salto sambil bilang “Waaww”, dan lain-lain. “Terjatuh” bisa diartikan mengalami hal yang tidak diinginkan, bisa juga diartikan “sudah matang dan dewasa”, sehingga bisa menentukan sendiri tujuan hidup yang ingin dicapai. Tapi terkadang tidak semudah itu. Kita, “sebagai buah”, boleh memiliki tujuan dan jalan hidup sendiri, tapi biasanya, “pohon” juga memiliki tujuan dan jalan hidup yang telah dirancang untuk “sang buah” tercinta. Bila tujuan dan jalannya sama, enak betul rasanya. Bila tujuannya sama, namun jalannya berbeda, ini agak pusing. Bila tujuan dan jalannya berbeda, ini pemicu kegilaan...hehe.  

Komunikasi semata terkadang tidak cukup. Kita, “sebagai buah”, harus menunjukkan antusiasme, kesungguhan, dan upaya yang konsisten dalam menjalani apa yang kita inginkan, hingga perlahan-lahan “pohon” mulai bisa memahami dan mengerti bahwa apa yang sedang kita jalani adalah hal yang juga baik, namun dengan jalan yang berbeda. Bila belum bisa saling memahami? Sabar, apapun yang kita lakukan akan terbayar, namun pastikan bahwa yang kita lakukan adalah hal yang baik bagi diri kita dan keluarga. Dan jangan lupa doa. Di depan “pohon”, kita manggut-manggut, tapi saat berdoa, tolong yang paling sesuai dengan hati. Kan Tuhan penguasa “pohon” juga..hehe. Sentuhan terakhirnya dengan amal. Niatkan sedekah kita agar kita bisa menjalani hidup ini di atas jalan yang kita tentukan sendiri, bukan di atas jalan yang ditentukan orang lain bagi kita, sekalipun mereka adalah orang-orang yang kita cintai. Cinta, bagi saya, itu sebenarnya lebih kepada memberikan kebebasan bagi orang lain untuk melihat keindahan dalam dirinya sendiri, daripada membentuk orang lain menjadi indah berdasarkan keinginan kita.  

Melalui catatan ini, saya tidak bermaksud menggurui siapapun. Saya tidak lebih baik dibandingkan teman-teman yang berkesempatan membaca catatan ini. Saya hanya ingin berbagi hal yang menurut saya baik. Bila ada hal yang bermanfaat, saya sangat bersyukur. Bila ada hal yang kurang berkenan, mari kita berdiskusi, sehingga nantinya catatan ini bisa menjadi lebih baik. Demikian yang bisa saya bagi pada kesempatan yang baik ini, selamat beraktivitas untuk semuanya. Happy Weekend! 

Surabaya, 30 September 2012 
Gambar dikutip dari: http://treelovers.premieretreeservices.com/2012/01/houston-fruit-trees/

Selasa, 14 Agustus 2012

Udeng dan Helm, Tentang Sebuah Dasar.


Beberapa hari yang lalu, aku berkesempatan mengikuti rangkaian upacara keagamaan yang dihadiri oleh ribuan umat Hindu di area pantai Matahari Terbit. Sebagian besar umat menggunakan sepeda motor, dan ada juga yang mengendarai mobil, sehingga cukup membuat jalanan menjadi penuh sesak. Semua umat menggunakan pakaian sembahyang, mulai udeng sampai kamen. Udeng adalah kain pengikat kepala yang bentuknya khas dan digunakan laki-laki pada saat terlibat dalam acara-acara yang bersifat keagamaan. Untuk perempuan memang tidak menggunakan pengikat kepala. Kamen adalah kain penutup bagian pinggang hingga kaki. Semua pengendara motor yang menggunakan pakaian sembahyang memang tidak menggunakan helm, tapi udeng. Hal seperti ini memang sudah sering aku amati dari dulu, terutama di Denpasar dan Mataram. Ada ‘toleransi’ dari pihak kepolisian untuk tidak menilang pengendara motor yang tidak menggunakan helm, namun menggunakan pakaian sembahyang.

Sementara di Surabaya, umat Hindu yang akan bersembahyang tetap menggunakan helm ketika sedang mengendarai motor. Sesampainya di tempat ibadah, barulah menggunakan udeng. Sebenarnya ini bagus. Aku lebih cocok dengan style yang ini..hehe. Bagaimanapun juga, ketika berkendara, kita sebisa mungkin mematuhi aturan lalu lintas. Helm digunakan untuk melindungi bagian tubuh kita yang sangat penting, yaitu kepala. Memang kita tidak mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi ketika bersepeda motor, namun bila kecelakaan tidak bisa dielakkan, helm akan menjadi benda yang paling berjasa.

Aku sempat bertanya kepada beberapa orang, “kenapa tidak menggunakan helm ketika berpakaian sembahyang?” Sampai saat ini belum ada jawaban yang membuat hatiku lega. Jawaban yang keluar biasanya, “tenang aja, polisi gak akan nilang!” Jawaban ini memang tidak nyambung, tapi menarik, ayo kita bahas! Kita menggunakan helm ketika bersepeda motor di jalan raya kan bukan semata-mata untuk menghindari tilang dari polisi, tetapi untuk melindungi diri kita, terutama kepala, terhadap benturan apapun yang mungkin terjadi. Dengan kaca helm, mata kita bisa terhindar dari debu jalanan yang terbawa angin. Selain itu, rambut yang baru saja dikeramas bisa terjaga kebersihannya di dalam helm. Intinya, helm digunakan untuk melindungi diri kita sendiri, sebagai bentuk dari rasa cinta kepada diri kita sendiri, bukan semata-mata untuk menghindari tilang polisi. Kalau yang terakhir itu menjadi alasan mengapa kita memakai helm, kita akan cenderung mudah menemukan kesempatan untuk bersepeda motor tanpa helm ketika tidak ada polisi yang bertugas di jalan raya. Di lain pihak, udeng terbuat dari bahan kain yang tentu tidak sekuat bahan pembuat helm. Dari segi tekstur bahannya, helm lebih baik dalam hal perlindungan kepala dibandingkan udeng saat kita bersepeda motor. Dan juga, selama ini, aku tidak pernah merasa kepalaku lebih keras ketika menggunakan pakaian sembahyang dibandingkan ketika menggunakan pakaian yang lain…hehe. Jadi menurutku, helm itu tetap perlu digunakan ketika bersepeda motor, walaupun dan meskipun kita berpakain sembahyang.

Apa poin dari catatan ini? Seringkali yang aku rasakan dalam kehidupan ini adalah bahwa kita bergerak karena didasarkan oleh salah satu dari 2 ENERGI. Energi takut dan energi cinta. Ini yang aku rasakan, tapi bila ada hal lain yang teman-teman ketahui, mohon bersedia untuk melengkapi catatan ini. Kita biasanya lebih mudah bergerak ke arah sesuatu yang kita sukai atau cintai. Aku mencintai basket, sehingga berlatih basket. Namun, ada juga yang berlatih basket karena merasa tersiksa dengan ukuran tubuhnya. Ada yang hobi dalam bidang teknologi karena memang menyukainya, tapi ada juga yang memelajari teknologi karena “takut disangka” tidak gaul oleh teman-temannya. Ada yang beribadah karena memang senang sekali mengucap syukur atas anugerah Tuhan dalam hidup, ada juga yang beribadah karena takut akan bencana, karena takut ketika tidak beribadah, sesuatu yang buruk akan terjadi. Ada yang memakai helm karena lebih berniat untuk melindungi dirinya saat bersepeda motor, ada juga yang karena menghindari tilang polisi. Ada yang mengerjakan PR karena memang menyukai tugas sekolah, ada juga yang takut dimarahi ibu guru bila tidak mengerjakannya. Aktivitasnya sama, namun digerakkan oleh energi yang berbeda.

Setelah aku pikir kembali, ketika sekolah dulu, banyak hal yang aku lakukan karena takut hal buruk terjadi. Takut dihukum di depan kelas, takut dimarahi guru dan orang tua, takut diledek teman-teman, takut kulit gosong karena dijemur, takut ditolak, dan takut-takut yang lain. Namun, sekarang aku berupaya untuk melakukan sesuatu atas dasar cinta. Mengapa? Karena dasar cinta itu LEBIH SOFT dan POWERFULL dibandingkan dasar takut. Alasan yang berdasar cinta membuat langkah semakin ringan, kita semakin cepat berkembang, dan meningkatkan kepuasan diri. Melangkah dengan alasan dasar ketakutan akan membuat langkah berat, stress, pusing, cepat marah, dan sering kecewa. Memang ada saja hal-hal yang kita takutkan dalam hidup ini. Ideal sekali rasanya bila berbicara melakukan semua hal dalam hidup ini atas dasar cinta. Namun, dengan pikiran dan hati kita, kita bisa perlahan-lahan untuk menggeser niat kita ke arah yang meringankan langkah. Mungkin dalam beberapa aspek terlebih dahulu, kemudian disusul yang lainnya. Semua orang ingin berbahagia, jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak melangkah secara damai. Dan cinta itu sendiri adalah energi yang mampu mendamaikan hati dan meringankan langkah kita dalam hidup ini. Aku mencoba, teman-teman juga ya..(“,)!

Denpasar, 14 Agustus 2012
Gambar dikutip dari: oyeblog

Senin, 13 Agustus 2012

Satu, Loro, Three...


Aku sangat yakin, sebagian besar dari teman-teman sudah mengenal deretan angka yang menjadi judul tulisan ini, yaitu satu, dua, tiga. Loro berasal dari bahasa Jawa yang berarti dua, sedangkan three berasal dari bahasa Inggris yang berarti tiga. Lalu, mengapa dicampurkan antara bahasa Indonesia, Jawa, dan Inggris? Ya suka-suka. Sebagai orang yang pernah berkutat lama dengan ilmu kimia, aku senang mencampur-campurkan sesuatu agar menghasilkan sesuatu yang baru..hehe. Kalau belum menghasilkan sesuatu yang baru berarti belum reaksi kimia…(“,)

Ok, kita mulai. Kita semua sudah mengenal konsep angka semenjak di taman kanak-kanak. Biasanya konsep angka disandingkan dengan gambar-gambar. Misalnya, untuk menunjukkan angka satu, digambarkan seekor bebek yang sedang berenang. Untuk menunjukkan angka dua, digambarkan dua batang korek api. Untuk menunjukkan angka tiga, digambarkan tiga buah mobil, dan seterusnya. Mengapa harus disandingkan dengan gambar? Agar lebih mudah ditangkap pikiran. Pikiran kita yang canggih itu senang sekali dengan gambar-gambar, apalagi yang berwarna-warni. Sederhananya, gambar/simbol digunakan untuk memudahkan sesuatu masuk ke dalam pikiran. Coba saja bayangkan tugu! Yang muncul di pikiran kita, walaupun tidak sama bentuknya, adalah sebuah gambaran bentuk tugu, bukan deretan huruf T, U, G, dan U, apalagi deretan huruf I, T, dan S..hehe. Dengan catatan, kita sudah pernah melihat tugu sebelumnya. Bila belum? Ini yang namanya pikiran akan galau..(“,)

Seiring semakin tingginya pendidikan, gambar/simbol semakin disederhanakan. Untuk menunjukkan angka satu, cukup dituliskan 1. Untuk menunjukkan angka dua, cukup dengan 2. Untuk menunjukkan angka tiga, ditulis 3. Angka-angka tersebut juga adalah gambar/simbol dan tentu saja lebih sederhana dibandingkan gambar bebek, korek api, dan mobil. Karena kita tinggal di Indonesia, sehingga kita mengenal bentuk angka satu, dua, dan tiga seperti yang ada sekarang ini (1, 2, dan 3). Coba saja kita tinggal di Mesir, Arab, India, Cina, pasti berbeda bentuknya. Berbeda bentuk, namun esensinya sama. Jadi sebenarnya, konsep angka itu abstrak, namun disederhanakan dengan simbol/gambar, sehingga lebih mudah dilihat, dijangkau pikiran, dan diingat. Kemudian berkenalanlah kita dengan ilmu-ilmu sains, terutama matematika, yang mampu meng’konkret’kan konsep abstrak tersebut, sehingga banyak yang menyebut ilmu-ilmu sains sebagai ilmu-ilmu pasti.

Itu tadi tentang perbedaan bentuk. Sekarang tentang penamaannya. Jangan bandingkan dengan luar negeri dahulu. Di Indonesia saja, satu-dua-tiga disebutkan dengan berbagai nama. Ada yang menyebutnya dengan hiji-dua-tilu. Ada yang senang melafalkannya dengan setunggal-kalih-tiga, siji-loro-telu, asa-dua-talu, besik-due-telu, sekeq-due-telu, sada-dua-tolu, dan lain-lain. Bila aku uraikan terus, pasti akan sangat panjang. Namun, poinnya adalah berbeda nama, esensi sama.

Banyak hal dalam hidup ini yang sebenarnya memiliki esensi yang sama, namun dalam RUPA dan NAMA berbeda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan daya interpretasi dan tafsir kita akan sesuatu. Mengacu terhadap hal tersebut, aku mengajak teman-teman untuk bersama-sama terus belajar, memperdalam sesuatu, dalam hal apapun yang disukai. Mulai menghaluskan daya penglihatan untuk menyentuh esensi setelah menyentuh eksistensi. Karena eksistensi sendiri mudah goyah dan seringkali berganti. Berhentilah meributkan sesuatu yang tampaknya berbeda, namun memiliki esensi yang sama. Damaikan diri kita, heningkan pikiran, ayo kita sama-sama belajar menghargai dan menghormati perbedaan.

Denpasar, 12 Agustus 2012
Gambar dikutip dari: http://nizarast.wordpress.com/2010/10/09/cara-mengetahui-angka-keberuntungan-lewat-tanggal-lahir/

Selasa, 31 Juli 2012

KA(CIN)TA


Kata...
Cinta...
Kata-Kata...
Cinta-Cinta...

Kata-Kata bisa mengandung Cinta...
Cinta bisa ada dalam Kata-Kata...
Cinta dalam Kata
Kata dalam Cinta

Cinta dalam Kata memang Cinta yang lemah,
namun lebih kuat dibandingkan Cinta dalam Sukma
yang terpenjara oleh rasa putus asa

Seperti sedang menunggu pedang
Pedang yang tajam, setajam cahaya matahari
yang mampu membelah malam

Dan bila pedang itu tak datang juga,
Cinta hanyalah Raja
yang duduk angkuh di atas singgasana hati
tanpa bisa bersabda kepada semesta

Kata-Kata adalah Bata-Bata
untuk membangun jembatan
antara hati dan dunia
agar cinta memiliki jalan
untuk berjalan
untuk menemukan apa yang dicarinya
atau sekadar
untuk lebih memahami
bahwa yang ada di luar, juga ada di dalam

Surabaya, 31 Juli 2012
Gambar dikutp dari: http://instingcinta.blogspot.com/2011/06/kumpalan-gambar-cinta-love.html

Sabtu, 14 Juli 2012

Pelajaran dari atas Trotoar


Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 6 Juli 2012, aku menyusuri jalan Ir. Soekarno bersama kekasih tercinta, Elva, dengan sepeda motor supraku yang kuberi nama Super. Super baru saja memasuki babak baru dalam hidupnya karena angka pada penunjuk kilometernya sudah kembali ke 000000 pada tanggal 26 Juni 2012. Tak terasa sudah 10 tahun aku bersamanya dalam suka dan duka, gundah dan sumringah, galau dan gurau. Betul-betul sahabat setia. Tidak terlalu banyak menuntut. Kalau sedang marah, paling hanya menggemboskan bannya sendiri, membanting plat nomernya ke jalan, menjelek-jelekkan suara klaksonnya, dan melepaskan pelukan rantainya. Seandainya ada yang ingin membelinya dengan harga 1 Milyar pun, aku tidak akan menjualnya. Karena hampir tidak mungkin juga ada orang yang mau membeli motorku dengan harga 1 Milyar, lebih baik digunakan untuk membeli mobil mewah atau mini bus sekalian, bisa untuk jalan-jalan sekeluarga...hehe

Ketika itu sekitar pukul 7 malam, kami berhenti di sebuah tempat makan yang berada di pinggir jalan, tepatnya di atas trotoar. Kami belum pernah mengunjungi tempat makan ini sebelumnya. Bukan seperti warung tenda, tempat makan ini tidak menggunakan tenda, jadi kepala pengunjung langsung beratapkan langit dengan taburan bintangnya. Ada beberapa pohon juga di sela-sela meja-meja makannya. Konsep yang sangat natural. Dan yang menyebabkan kami memutuskan untuk berhenti di parkiran tempat makan ini adalah karena tempat makan ini ramai sekali dengan pengunjung. Bukan hanya pengunjung yang membawa sepeda motor, tapi banyak juga yang membawa mobil. Bukan hanya pengunjung berkulit sawo kematangan seperti kulitku, tapi sebagian besar justru pengunjung yang berkulit putih. Tidak heran, karena makanan yang dijual di tempat makan ini bernuansa chinese. Tulisan yang kubaca besar di meja kasirnya adalah DIM SUM 100% HALAL.

Kuberanikan saja duduk di salah satu kursinya dan langsung memanggil salah satu pelayannya. Yang laki-laki tentunya...hehe. Kemudian aku menanyakan buku menunya. Tak disangka ternyata tempat makan ini tidak memiliki buku menu, jadi pengunjung harus langsung menuju ke tempat pemesanan sambil melihat aneka menu disana, dan menunjuk beberapa menu yang dipilih untuk disantap. Langsung saja aku dan Elva menuju tempat pemesanan. Banyak sekali jenis-jenis makanannya. Sangat asing sekali di mata, tapi ada satu menu yang sangat familiar dan ini adalah makanan favaritku. Ceker ayam. Warna bumbunya merah, aromanya lumayan lezat. Bagiku, ini satu-satunya menu yang masuk akal. Yang lainnya kebanyakan berbentuk bulat-bulat, dan pasti nama-namanya juga mbulet (membingungkan). Elva memesan makanan yang mirip seperti bakso yang ternyata bernama tom yam. Tom yam adalah sup yang berasal dari Thailand, sedangkan dim sum sendiri adalah hidangan ringan dari China. Semua menu di tempat makan ini, kecuali tom yam, disajikan dengan menggunakan mangkuk yang dibentuk bulat dari bambu, di dalamnya masih ada wadah yang terbuat dari porselen, sehingga kehangatan makanan tetap terjaga. Tom yam disajikan dengan menggunakan mangkok biasa. Untuk minumnya, aku memesan jus jambu biji dan es teh.

Sambil menunggu hidangannya, aku melihat-lihat para pengunjung yang sedang asyik menikmati makanannya sambil mengobrol dan bersenda gurau. Tempat makan sesederhana ini, yang menggunakan trotoar sebagai alas meja dan kursinya, yang menggunakan badan jalan untuk tempat parkirnya, yang membiarkan kepala pengunjung bersentuhan dengan angin malam, memiliki daya tarik yang luar biasa sehingga bisa membuat banyak orang menduduki kursinya, kemudian memesan, dan menikmati makanannya. Pasti makanannya enak. Begitu pikirku. Tidak lama berselang, makanan dan minuman kami datang. Setelah berdoa, langsung kusantap ceker ayamku. Dan benar, rasanya enak sekali. Ini ceker terenak yang pernah aku makan di Surabaya. Kulit cekernya sangat mudah terlepas dari tulangnya. Bumbunya kental dan rasanya pedas-manis. Walaupun, jari-jari tangan kananku agak pegal karena tidak terbiasa menggunakan sumpit, tapi tidak mengurangi kenikmatan menyantap makanan ini. Tom yamnya pun setali tiga uang. Kuahnya sangat segar. Pantas saja banyak yang berkunjung kesini. Menu dim sum, yang selama ini kulihat berada di balik kaca restoran berkelas, kini ada di pinggir jalan. Mantap. Pemiliknya berhasil membawa konsep resto ke trotoar. Cerdas.

Selesai makan, ada perasaan nikmat dan perutpun tidak terlalu kenyang. Pas. Mudah-mudahan harganya pun pas juga di kantong. Setelah kami selesai ngobrol-ngobrol, aku langsung menuju kasir. Ternyata harga makanannya cukup bersahabat dengan dompet, 7 ribu untuk setiap porsi, apapun menunya. Menarik. Setiap menu dipukul rata dengan harga yang sama. Setelah membayar, aku bertanya kepada kasirnya tentang ketidaktersediannya buku menu. Dan jawaban ini yang membuat aku semakin kagum terhadap konsep tempat makan ini. Kasir tersebut menjawab, “Kami memang sengaja tidak memberikan buku menu, kami ingin mengedukasi pengunjung yang datang”. Luar biasa. Selama ini interaksi pengunjung dan pelayan di tempat makan biasanya kurang intensif, hanya memesan makanan yang ada di buku menu, kemudian menanyakan harganya setelah selesai makan. Dengan tidak adanya buku menu, pengunjung akan lebih banyak bertanya tentang menu-menu yang ada, dan itu menyebabkan interaksi yang intensif dengan pemilik dan pelayan tempat makan. Jawaban-jawaban yang ramah disertai humor-humor ringan dan juga pemberian edukasi terhadap menu-menu yang ada akan membuat pengunjung merasa nyaman dan senang, yang pada akhirnya memicu kontinuitas untuk berkunjung kembali ke tempat makan tersebut. Mereka tidak hanya menjual makanan, mereka menyebarkan keramahan, humor, dan edukasi tentang menu. Ini yang membuat tempat makan ini berbeda dibandingkan dengan tempat-tempat makan lain yang juga berada di atas trotoar, tempat berjalannya para pejalan kaki. Malam itu, aku dapat pelajaran berharga dari atas trotoar...(“,)

Surabaya, 14 Juli 2012
Gambar dikutip dari: http://bonappettit.wordpress.com/2011/12/14/the-best-dim-sum-in-surabaya/

Jumat, 06 Juli 2012

Memberi Itu Jangan Sampai Ikhlas..


Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 3 Juli 2012, aku berkesempatan hadir dalam suatu kelas Enterpreneur University (EU) di Graha SA Surabaya. Beruntung juga bertemu lagi dengan orang-orang yang memiliki spirit dan visi yang sama tentang dunia bisnis. Membuat semakin semangat. Pada kesempatan itu juga, aku bertemu dengan Mas Among Kurnia Ebo, direktur Marketing SRABI KRATON 13 RASA, pemegang 9 merek produk SUPERKICAU Group, dan salah satu mentor EU. Aku mendapat banyak sekali pelajaran dari Mas Ebo tentang bisnis dan sedekah. Dari beliau juga aku mendapat sebuah konsep yang sangat berharga tentang sedekah atau derma atau memberi itu sendiri. Konsep ini menghancurkan konsep yang aku yakini selama ini tentang sedekah. Konsep tersebut sebentar lagi akan aku paparkan pada catatan ini.

Sebenarnya ada 2 konsep tentang sedekah yang dipaparkan Mas Ebo, namun konsep yang kedua akan aku kombinasikan dengan konsep dari salah seorang guru The Secret, Dr. John F. Demartini. The Secret adalah judul sebuah buku yang berisi tentang pemaparan sebuah konsep yang luar biasa tentang Hukum Tarik-Menarik (Law of Attraction) yang bekerja di alam semesta ini. Salah seorang guru dalam buku tersebut adalah Dr. John F. Demartini yang juga adalah penulis buku "The Riches Within, Your 7 Secret Treasures". Beliau juga seorang pembicara internasional dan menjalankan klinik kiropraktik yang sukses, dan pernah diakui sebagai Kiropraktor Terbaik. Dari dua orang inilah konsep tentang sedekah akan aku paparkan.

Aku tidak akan mempertajam pembahasan mengenai manfaat bersedekah. Yang jelas manfaat dari aktivitas ini sangat personal dan semakin bisa terasa apabila kita semakin ahli dalam bersyukur. Secara garis besarnya, manfaat sedekah antara lain: Mengundang Rejeki, Menolak Bala, Menyembuhkan Penyakit, dan Memanjangkan Umur. Aku yakin, manfaat-manfaat tersebut tentu sudah diketahui oleh teman-teman semua. Dan aktivitas sedekah itu sendiri tentu sudah sering teman-teman lakukan dan telah mendapatkan manfaatnya. Dalam catatan ini, aku hanya ingin memaparkan sebuah konsep yang mudah-mudahan membuat teman-teman semua semakin sering dan senang bersedekah. Konsep inipun baru aku dapatkan dan ingin secepatnya aku bagi agar semakin banyak orang yang melakukan aktivitas ini. Dan yang kedua, dengan menulis seperti ini, aku menjadi semakin ingat akan konsepnya, sehingga catatan ini juga berfungsi sebagai pengingat untuk diriku sendiri agar mengaplikasikan konsep yang didapat. Tidak sekedar disimpan di dalam otak saja yang suatu saat akan tergusur oleh konsep baru tanpa pernah mengaplikasikannya sekalipun juga.

Konsep sedekah tentu tidak bisa dilepaskan dari konsep keikhlasan. Kalimat-kalimat yang menunjukkan eratnya hubungan sedekah dan keikhlasan seringkali kita dengar, seperti: "memberi itu harus ikhlas", "yang penting itu bukan besar kecilnya jumlah, tapi besar kecilnya keikhlasan dalam memberi", "tidak apa-apa sedikit, yang penting ikhlas", dan "lebih baik tidak usah memberi kalau tidak ikhlas". Selama ini sebagian besar dari kita tentu menganggap keikhlasan penting dalam memberi, sehingga kita cenderung memperhatikan faktor hati ini ketika memberikan sesuatu kepada orang lain. Ketika ingin memberi harus menyamankan hati terlebih dahulu, setelah memberi tidak usah dipikirkan agar tidak ada sesuatu yang membuat hati tidak nyaman. Kemudian kata SEIKHLASNYA menjadi bermakna sejumlah barang atau uang tertentu yang ketika diberikan memberikan efek paling nyaman di hati. Sehingga, ketika ada orang yang meminta sejumlah uang seikhlasnya, kita akan memberikan sejumlah uang tertentu yang ketika dilepaskan tidak akan menimbulkan gejolak di hati. Ikhlas. Lepas. Tuntas. Pas. Pas jumlahnya, pas rasanya! Dan biasanya dengan teknik memberi seperti ini, jumlahnya kecil! Benar tidak? Mudah-mudahan aku salah ya....hehehe. Kalau aku salah, aku mohon maaf. Kalau aku benar, aku mohon senyumnya. Teknik memberi seperti ini aku katakan teknik memberi yang konvensional. Teknik memberi yang modern itu justru TIDAK BOLEH IKHLAS!

Aku tidak sedang bercanda, aku serius seserius-seriusnya. Dalam memberi itu, usahakan jangan sampai ikhlas, tapi lepaskan saja. Ini konsep pertama dari Mas Ebo. Memberikan sedekah itu usahakan banyak sehingga menimbulkan perasaan kurang nyaman di hati. Ada sedikit rasa kehilangan. Kalau belum, berarti kurang banyak...hehe. Perasaan inilah yang namanya tidak ikhlas, tapi perasaan ini bisa dilatih sampai halus dengan terus-menerus mempraktekkan sedekah modern ini. Aku analogikan konsep ini seperti seseorang yang berlatih fitnes. Fitnes itu melatih otot-otot tubuh, sedangkan sedekah itu melatih otot-otot "hati". Fitnes itu dilakukan dengan pemanasan terlebih dahulu, peregangan otot-otot, kemudian dilanjutkan mengangkat beban-beban berat. Tubuh menjadi segar dan berkeringat. Apabila aktivitas fitnes ini baru pertama kali kita lakukan, setelah selesai fitnes, kemudian mengeringkan keringat, mandi, dan mulai istirahat, barulah terasa otot-otot tubuh kita pegal karena tidak terbiasa mengangkat beban berat. Pegal-pegal inilah yang aku analogikan dengan "ketidakikhlasan hati" ketika bersedekah. Cara agar bagian-bagian tubuh yang pegal tadi tidak pegal lagi, yaitu dengan melakukan fitnes lagi keesokan harinya atau dengan kata lain "membalasnya". Namanya juga baru pertama kali, pasti pegal. Kalau sudah "dibalas" dan dilakukan rutin pasti mulai terbiasa dan pegal-pegalnya berkurang. Sedekah juga begitu, kalau sering dilakukan, "pegal-pegalnya" berkurang. Kalau sudah tidak "pegal" untuk jumlah tertentu, tingkatkan jumlahnya sampai kira-kira "pegal"...hehe. Kalau sudah agak "enteng" memberi sejumlah tertentu, tingkatkan jumlahnya. Bahkan Mas Ebo mengatakan begini, "Semakin brutal kita memberi, semakin brutal Tuhan membalasnya!" Apa yang kita beri akan kembali kepada kita. Kalkulator Tuhan sangat canggih dan kurir-Nya tidak akan salah alamat!!

Konsep yang kedua dari Mas Ebo adalah "Terang-Terangan". Maksudnya terang-terangan dalam memberi sedekah. Terang-terangan itu lebih dimaksudkan agar memotivasi orang lain agar tergerak juga untuk bersedekah, bukan untuk sombong-sombongan. Menurut beliau, konsep "Terang-Terangan" atau "Diam-Diam" dalam bersedekah itu sama pahalanya, yang tidak boleh itu terang-terangan tidak sedekah atau diam-diam tidak sedekah..hehe. Untuk konsep "Terang-Terangan" ini mungkin belum cocok dengan karakterku. Bila ada yang cocok, silakan dilakukan dengan niat untuk memberikan motivasi kepada orang banyak agar tergerak melakukan sedekah. Aku sendiri lebih memilih konsep "Diam-Diam" dari Dr. John F. Demartini. Beliau memaparkan konsepnya seperti ini: "Ketika memutuskan untuk memberikan sumbangan, pertimbangkanlah yang berikut ini: bila Anda memberi kepada seseorang dan dia mengetahui Andalah yang memberi, maka sekaligus juga Anda menimbulkan alasan baginya untuk berterimakasih kepada Anda - "yang hanyalah bagian yang kecil saja". Namun, bila menyumbangnya diam-diam, maka Anda memberinya kesempatan untuk bersyukur kepada "Suatu keseluruhan" - alam semesta atau sumber asalnya. Bayangkanlah betapa dalam pengalaman si penerima ketika bersyukur kepada keseluruhan yang abadi ketimbang hanya kepada bagian kecil yang bersifat sementara belaka". Aku tidak sedang menabrakkan kedua konsep, "Terang-Terangan" dan "Diam-Diam", ini. Silakan dipilih salah satu yang sesuai dengan karakter dan selaraskan dengan niat untuk memberinya, bukan untuk pamernya.

Demikian yang bisa aku bagikan melalui catatan hari ini. Mudah-mudahan ada manfaatnya dan yang paling penting adalah timbulnya tindakan yang semakin menghaluskan niat kita untuk berbagi kepada sesama. Itu dulu. Lain waktu aku sambung lagi. Mumpung hari Jumat, teman-teman yang muslim bisa langsung praktek di tempat ibadah. Tinggalkan uang berlogo binatang dan pahlawan berparang di rumah saja, masukkan yang berlogo peci, yang siap ibadah, di kotak amal. Teman-teman Hindu, Protestan, Khatolik, Budha, Kong Hu Cu bisa langsung praktek juga di tempat ibadah masing-masing. Khusus teman-teman Hindu, kalau sesarinya tidak muat diletakkan di canang sari, bisa dimasukkan di kotak dana punia terdekat.
Sukses selalu untuk semuanya, semoga semua berbahagia!

Surabaya, 6 Juli 2012
Gambar dikutip dari: http://www.chopra.com/laws/giving

Senin, 02 Juli 2012

From Connectivity to Chemistry


Pada catatan terdahulu, aku pernah menulis bahwa istilah chemistry saat ini sudah mengalami pergeseran makna. Dari yang semula bernuansa scientific menjadi lebih cair ke arah personal relationship. Agar tidak kehilangan jati dirinya sebagai salah satu ilmu sains, aku memilih untuk memaknainya menjadi kesesuaian frekuensi. Kesesuaian frekuensi inilah yang erat kaitannya dengan connectivity. Jadi, chemistry pada catatan kali ini lebih berhubungan dengan connectivity daripada reaksi-reaksi kimia itu sendiri.

Agar bisa connect dengan sesuatu atau seseorang itu membutuhkan keahlian khusus. Aku tidak katakan itu sulit, tapi bila hal ini mudah, tentu kita tidak akan pernah mendengar istilah LOLA (LOading LAma), "heng-hong", dan "nggak nyambung blas!" Bila "TIDAK SULIT" dan "TIDAK MUDAH", lalu apa? Berarti, "ITU BISA DIPELAJARI". Aku akan mengerucutkan konsep ini, sehingga lebih berkaitan dengan komunikasi diantara dua orang atau lebih.

Ada berapa banyak orang yang tidak asyik saat diajak ngobrol? Topik bercanda ditanggapi serius, topik serius ditanggapi bercanda. Diajak serius, malah serius bercandanya. Ada berapa banyak orang yang "nggak nyambung" saat diajak berbicara? Sedang asyik membahas BB, malah takjub sendiri melihat hape monoponik. Aku sungguh tidak tahu jawaban dua pertanyaan itu, yang jelas aku pernah menjadi salah satu dari orang-orang yang ada dalam pertanyaan itu.

Untuk bisa connect atau "nyambung" dengan seseorang, kita harus tahu variabel penting yang memengaruhi. Variabel itu bernama frekuensi. Sepertinya ilmiah, tapi mari kita buat mudah. Begini, setiap nada pada alat musik memiliki frekuensi tertentu yang berbeda satu sama lain. Nada C memiliki frekuensi 261.63 Hz, nada D memiliki frekuensi 293.66 Hz, nada E memiliki frekuensi 329.63 Hz, dan seterusnya. Dengan kata lain, frekuensi itu menunjukkan ciri khas atau karakteristik dasar dari sesuatu. Itu kan sesuatu, lalu bagaimana dengan seseorang? Frekuensi pada manusia memang lebih kompeks dibandingkan dengan frekuensi pada alat musik karena dipengaruhi oleh suasana hati, suasana pikiran, dan pengalaman hidup. Tapi, setiap orang memiliki "nada dasar" yang dominan, memiliki "tombol khusus masing-masing". Ada seseorang yang menyukai fashion, senang membicarakan teknologi, pintar sekali merangkai kata, gembira bila berhadapan dengan banyak makanan, dan sebagainya. Yang sulit itu adalah menemukan "nada dasar" orang-orang galau. Orang-orang tipe ini kurang jelas frekuensinya, kadang minor, kadang mayor, kadang ngeloyor...

Akhirnya menjadi mudah dimengerti bahwa seni connectivity itu adalah seni menemukan frekuensi, sedangkan chemistry itu sendiri adalah kesesuaian frekuensi. Contoh yang paling mudah dilihat dalam upaya menyesuaikan frekuensi adalah ketika kita berbicara dengan bayi. Bayi tentu tidak bisa menyesuaikan frekuensi dengan kita, jadi kita yang harus menyesuaikan frekuensi dengan bayi tersebut agar dia bisa tertawa. Sehingga kata-kata yang muncul adalah "uuhhh...lutuna, anak ciapa ini? Nang..ning...ning...nang..ning...klek!!" Ada penyesuaian disana. Jadi, bila ada seseorang yang mengatakan "chayank beud sama kamuh celama-lamax", berarti orang tersebut sedang berbicara dengan adik bayinya...hehehe

Tidak mudah memang bila kita langsung menyesuaikan frekuensi dengan seseorang yang baru kita kenal. Kita harus menemukan frekuensinya dulu. Mungkin dari hobinya memelihara tanaman, kegemarannya bersepeda, kecintaannya akan musik, dan kegilaannya akan shoping, yang kesemuanya itu bersinergi dengan frekuensi kita juga. Dari hal-hal kecil itulah kita bangun komunikasi. Mungkin awalnya timbul gesekan-gesekan. Namanya juga manusia, sesuai-sesuainya frekuensi, pasti ada hal-hal kecil yang tidak sesuai juga. Ini bukan seruling, ini manusia! Jadi, perbedaan tidak bisa dihindari. Anggap saja gesekan-gesekan itu sebagai "amplas" yang sedang menghaluskan hati agar kita bisa lebih santun dan lebih rendah hati.

Seiring berjalannya waktu, connectivity yang dijalin terus-menerus akan mampu memunculkan chemistry. Inilah mengapa judul catatan ini adalah From Connectivity to Chemistry. Chemistry itu sendiri jangan diartikan hanya tentang orang yang sedang jatuh cinta, tapi lebih umum, misalnya: chemistry seorang ibu kepada anaknya, chemistry antarsahabat, dan chemistry antarpemain sinetron. Dan ini adalah pengalaman pribadi, ketika aku SMA, aku memiliki seorang sahabat, yang saking connect-nya, kita bisa tiba-tiba tertawa bersama dari hanya saling menatap karena sudah mengetahui isi pikiran masing-masing. Poinnya adalah ketika chemistry tercapai, kadang-kadang kata-kata tidak lagi punya makna. Chemistry melemahkan kata-kata...! Dan daripada kita kehilangan chemistry, lebih baik aku akhiri saja deretan kata-kata ini..hehe. Selamat beraktivitas teman-teman, sukses selalu!

Surabaya, 2 Juli 2012
Gambar dikutip dari: http://apakah.net/koleksi-gambar-atau-foto-bayi-lucu/

Sabtu, 30 Juni 2012

Tentang Masa...


Ada satu masa...
Ketika hujan tak bisa membilas semua duka
dan terik mentari tak bisa uapkan semua lara,
kemudian Cinta menguraikan dirinya
...dalam sentuhan jemari...
...dalam bias senyuman...
...dalam lembut tatapan...
...dan dalam hangat pelukan...
Tidak lagi bertahta angkuh dalam singgasana hati,
yang entah kapan sudi meleburkan dirinya dalam kata-kata.

Ada satu masa...
Ketika kusadari bahwa,
Ketidakhadiran tidaklah selalu berarti ketidakberadaan,
Karena mentari hanya terbenam, namun tetap ada
di balik bagian bumi yang lain..
Karena bulan selalu purnama, walaupun tidak selalu hadir
utuh mengisi malam-malam kita..
Karena mata hanya mampu menatap raga, tidak Cinta,
yang tetap ada, walaupun tak selalu hadir,
tak selalu tampak, tak selalu terlihat,
tapi selalu terasa oleh hati yang terbuka.
Itu saja.

Surabaya, 30 Juni 2012, diiringi "White Door by KipaLoops",
Gambar dikutip dari: http://lembar-kisah.blogspot.com/2011/01/embun.html

Senin, 18 Juni 2012

Motivator Jalanan


Salah satu kelebihan tinggal di Negara berkembang seperti Negara kita tercinta ini adalah tersajinya pemandangan yang aku namakan "dua arus kehidupan". Ada "arus kaya" dan banyak "arus miskin". Kaya dan miskin yang aku maksudkan pada catatan ini lebih mengarah kepada kepemilikan harta benda. Dua arus ekstrem ini saling berlawanan dan menimbulkan kesenjangan dalam banyak aspek kehidupan di Negara kita.

Untuk melihat arus yang pertama, coba sesekali berjalan-jalan santai sambil memerhatikan suasana jalan raya yang dipenuhi kendaraan berlalu lalang. Di Surabaya, khususnya Surabaya Timur, aku sering memerhatikan suasana seperti ini pada pagi atau siang hari. Di beberapa ruas jalan tertentu seringkali terjadi macet. Mobil dan motor banyak sekali jenisnya. Dari yang model "jadul" sampai model terbaru berderet menghiasi jalanan. Dari yang harganya jutaan rupiah sampai milyaran rupiah turut serta ambil bagian. Dari plat nomor berwarna merah, kuning, hitam, sampai putih. Dari plat nomor yang bertuliskan 1 huruf setelah angka, sampai 3 huruf setelah angka. Dari yang tanpa kaca spion, sampai yang kaca spionnya berjumlah 4. Dari kendaraan yang pintunya dibuka ke samping, sampai yang dibuka ke atas. Sering-sering melihat hal yang seperti ini, aku semakin ragu kepada orang-orang yang mengatakan bahwa saat ini Negara kita sedang dalam kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan.

Masih di jalan raya, tepatnya di sekitar lampu rambu lalu lintas. Bila kita beruntung, kita akan menemukan beberapa orang yang kurang beruntung. Ini adalah arus yang kedua. Ada penjual koran, penjual kerupuk, penjual gorengan dan kacang rebus, penjual mainan anjing dan bunga matahari plastik, "pengamen tutup botol", pengelap kendaraan, dan peminta-minta. Dari anak-anak kecil yang sudah diarahkan dan diatur sampai kakek-nenek yang tidak bertenaga. Dari yang memiliki sandal sampai yang bertelanjang kaki. Dari yang sambil menggendong bayi sampai yang menggendong bantal kecil agar terlihat seperti menggendong bayi. Dari yang berteriak "sepuluh ribu tiga!!" sampai yang memelas "sak ikhlase, Mas..mohon amale..".

Untuk aktivitas yang terakhir, aku mohon ijin untuk menuliskannya 1 paragraf. Aku sering sekali bertemu peminta-minta. Di jalan raya, di area tempat tinggal, dan di warung-warung tenda. Memang ada beberapa yang karena kondisi fisiknya sulit melakukan aktivitas yang bisa mendatangkan uang. Ada juga yang memang sudah tua. Namun, banyak juga yang memiliki keadaan fisik cukup potensial melakukan aktivitas kerja yang bisa mendatangkan uang, tentu saja selain aktivitas meminta-minta. Memang ada doa yang terlantun untuk kita apabila kita memberi kepada orang-orang golongan terakhir ini, seperti murah rejeki, sehat, dan kerjaan lancar, tapi seandainya doa itu manjur, kenapa mereka tidak mendoakan diri mereka sendiri agar semakin berejeki, semakin kaya, dan semakin bisa membantu orang lain?! Aku tidak sedang menghasut teman-teman agar tidak memberi sedekah kepada orang-orang ini, tapi hanya memaparkan sebuah pandangan saja. Banyak orang miskin di luar golongan peminta-minta ini yang bekerja banting tulang, pagi-malam, untuk menjemput rejeki, bahkan dalam kondisi fisik yang tidak seberuntung kita. Bagiku, cara terbaik agar kita bisa mendapatkan sesuatu yang kita inginkan adalah bukan dengan memintanya, tapi memberikan sesuatu yang kita miliki. Dengan meminta, kita akan dihadapkan dengan 2 KEMUNGKINAN, yaitu diberi atau tidak diberi, tapi dengan memberi, kita akan dihadapkan dengan 1 KEPASTIAN, yaitu diberi.

Sepertinya sederhana, memberi..kemudian kita mendapatkan sesuatu. Tapi aku harus jujur, memberi itu tidak mudah, teman-teman. Memberi itu aktivitas orang-orang kuat, bukan orang-orang lemah. Memberikan sesuatu saat kita memiliki banyak hal memang tidak sulit, tetapi memberikan sesuatu pada saat kita sendiri pun kekurangan dan bahkan membutuhkan bantuan, disinilah seni kehidupan dimulai.

Aku sering terkagum-kagum kepada orang-orang yang sepertinya kekurangan, tapi masih bisa tersenyum, masih giat bekerja, masih sopan menyapa, dan masih jujur dalam sikap. Walaupun memang tidak menggunakan seragam kerja yang baru disetrika, dasi yang berwarna cerah, sepatu mengkilap, parfum bermerk, dan jam tangan mewah. Satu-satunya parfum yang orang-orang ini pakai berasal dari campuran debu dan aroma keringat. Tetap bekerja dengan giat menawarkan dagangannya, menarik gerobak sampahnya, menggosok-gosokkan sepatu dengan lapnya, menyapu daun-daun jalanan dengan sapu lidinya, dan menyanyi riang ditemani pengeras suara bututnya. Mereka bekerja, mereka menjemput rejeki, mereka menantang hidup, mereka memberi dalam kekurangan, mereka ini MOTIVATOR JALANAN.

Kita harus banyak belajar dari para motivator jalanan ini. Tidak semua dari mereka ini bertubuh lengkap, tidak semuanya juga berusia muda, tapi mereka masih bisa tersenyum sambil bekerja. Aku tidak tahu persis apa makna senyumannya. Mungkin menyimpan deretan kata-kata seperti, "Hai orang-orang berdasi pengeluh, aku saja masih bisa tersenyum dan tidak mengeluh hari ini..!" atau "Hai orang-orang bermobil mewah, selapar-laparnya perutku, aku tidak memakan uang orang lain..!" atau "Hai orang-orang berumah besar, sepanas-panasnya terik matahari siang ini, tidak akan menggerakkanku untuk mengambil sesuatu yang bukan hakku..!" atau....entahlah, aku tidak tahu lagi. Tapi satu yang aku tahu, aku harus mengakhiri catatanku siang ini...(",)
Selamat beraktivitas teman-teman, selamat belajar dari para motivator jalanan ini!

Surabaya, 18 Juni 2012, Perjalanan Hati
Gambar dikutip dari: http://benradit.wordpress.com/2012/05/09/hak-pendidikan-anak-jalanan-terlupakan-2/

Selasa, 05 Juni 2012

THE LOVINK


Puas, akhirnya buku The Lovink telah rampung. Tidak menyangka juga ide-ide itu telah berwujud lembar-lembar kertas yang siap dibaca. Kumpulan ide itu telah mewujud. Aku tidak tahu proses apa namanya, tetapi mirip dengan "menyublim", proses perubahan wujud materi dari gas menjadi padat, atau sebaliknya. Wujud ide itu seperti gas; tidak tampak, pergerakan partikelnya aktif, sesekali hinggap di kepala. Dicuekin sebentar, langsung terbang entah kemana. Dipikirin supaya datang, malah nggak datang-datang. Sedang bersiap untuk tidur siang, malah datang. Daripada terbang lagi, langsung saja ditangkap, diperangkap dalam tinta menjadi kata-kata. Dan ini benar-benar terjadi, judul THE LOVINK muncul begitu saja di kepala ketika aku hendak tidur siang. Walaupun agak mengantuk, aku segera mengambil buku kecil berwarna hijau di atas meja yang kuberi nama "Dream-Happen's Book" dan menuliskan judul tersebut pada salah satu lembarnya. LOVINK adalah gabungan kata LOVE yang berarti CINTA dan INK yang berarti TINTA. Beberapa saat setelah menulis THE LOVINK, aku menulis "ada cinta dalam tinta". Jadilah sebaris kalimat dalam sebuah buku kecil hijau itu, sebuah buku yang berisi kumpulan mimpi yang saling berebut untuk mewujud.

Sebenarnya, tidak ada keinginan yang teramat sangat untuk menyusun tulisan-tulisan menjadi sebuah buku (lagi). Aku memang memiliki beberapa tulisan di blog. Aku membuat dan mulai menulis di blog pada tahun 2008. Ketika itu situsnya bernama selsurya.blogspot.com. Selsurya diambil sebagai domain karena tugas akhirku di jurusan kimia ITS adalah tentang "benda kecil" tersebut. Seiring berjalannya waktu, tulisanku semakin bertambah dan semakin melenceng. Semula memang ada tulisan tentang sel surya dan beberapa aplikasinya, namun makin lama semakin membias kemana-mana. Ada cerita tentang kegundahan anak muda, tour ke berbagai daerah, lirik lagu, puisi jatuh cinta, puisi patah hati, konsep-konsep kimia dan beberapa aplikasinya, serta beberapa tulisan tentang pengembangan diri. Untuk konsep-konsep kimia dan beberapa aplikasinya, aku sudah membukukannya. Buku tersebut aku beri judul "CHEMINLOVE, ketika SAINS dan CINTA bertemu dalam TABUNG REAKSI KEHIDUPAN". Aku sudah merasa puas sampai disana. Hingga pada suatu siang, sebuah ide muncul begitu saja...wuusss...dan akhirnya, aku mulai menyusun beberapa catatanku lagi, dan mulai berpikir untuk membukukannya.

THE LOVINK tak ubahnya seperti kumpulan catatan harian. Sebuah perjalanan hidup. Dan aku memulainya dengan kata-kata, "Hidup itu..bukan sekedar tentang perjalanan kaki, tetapi perjalanan hati..bukan sekedar tentang yang paling cepat, tetapi yang paling dekat". The Lovink mencoba menjadi sebuah cermin untuk melihat diri kita sendiri yang senantiasa hidup dalam sebuah energi yang bernama cinta. Sulit memang untuk dipahami dan didefinisikan karena cinta hanya bisa dirasakan. Sekalipun kita mencoba mendefinisikannya, kita hanya mampu memenjarakan sebagian kecil wujudnya dalam kata-kata. Pesan itulah yang ingin aku sampaikan dalam buku The Lovink. The Lovink hadir untuk menampakkan "sedikit" wujud cinta itu, dalam tinta.

Lahirnya The Lovink memberikan aku sebuah wawasan yang luar biasa, bahwa ada hal yang sangat kurang ajar di dunia ini. Hal itu bernama ide. Tidak tahu sopan-santun. Bila dijemput, malah tidak datang...pulang pun, seenaknya sendiri. Dan dengan segala keterpaksaan, aku katakan bahwa KITA YANG HARUS SIAP. Ketika ide itu datang, tangkaplah, sekecil apapun, kemudian tuliskan, jebak dia dalam kata-kata agar tidak kemana-mana. Mungkin kita tidak membutuhkannya saat itu, tapi pasti ada manfaatnya di kemudian hari. Dan ketika "kemudian hari" itu tiba, disaat itulah ada energi besar yang membungkus raga, pikiran, dan hati untuk membantu kita melakukan hal-hal menakjubkan.

Sebuah ide memang membutuhkan waktu untuk menjadi gede. Ada katalisnya juga. Namanya PEDE. So, jangan pernah lupakan 3De ini: Ide, Pede, Gede...hehehe. Semoga teman-teman semua jadi orang gede karena pede dengan idenya. Jangan sia-siakan ide, sekecil apapun itu. Seperti yang sudah aku bilang, mungkin saat ini belum punya dampak yang cukup berarti, tapi yakinlah di kemudian hari ada manfaatnya. Seperti kata Syahrini, yakinlah di kemudian hari akan jadi "SESUATU, gitu".
Sukses selalu untuk semuanya.

Surabaya, 5 Juni 2012

Rabu, 23 Mei 2012

Dua Telinga


Ada perbedaan yang mencolok ketika lelaki dan wanita berbicara. Memang bukan sebuah kepastian atau teori baku, tapi setidaknya dengan memahami ini, kita bisa lebih mampu menempatkan diri ketika sedang terlibat dalam suatu pembicaraan. Sebagian besar wanita berbicara atau bercerita untuk menyalurkan apa yang ada di dalam hatinya. Bisa berupa perasaan sedih, marah, jengkel, sebal, bahagia, takut, dan lain sebagainya. Pengungkapan perasaan, itulah kuncinya. Dan mereka membutuhkan pendengar yang mampu menghargai dan memahami luapan-luapan perasaan itu. Mereka tidak terlalu membutuhkan solusi, hanya ingin didengarkan saja, agar hatinya plong. Bagi sebagian lelaki, ini mungkin masalah besar, lebih sulit dibandingkan menyelesaikan soal-soal kalkulus. Memahami perasaan wanita itu tidak mudah bukan saja karena tidak ada rumusnya, tapi juga karena terkadang wanita sendiri tidak tahu apa yang benar-benar diinginkannya…hehe. Berkebalikan dengan wanita, sebagian besar lelaki membutuhkan solusi ketika mengungkapkan satu atau beberapa hal. Mereka mengungkapkan permasalahan yang membutuhkan jalan keluar. Intinya begini, wanita cenderung mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya, sedangkan lelaki cenderung mengungkapkan apa yang bersemayam di otaknya. Cenderung. Berarti konsep ini tidak berlaku mutlak untuk semua wanita dan semua lelaki. Terkadang wanita juga bercerita untuk mendapatkan solusi dan adakalanya lelaki berbicara untuk mengungkapkan perasaannya.

Pada dasarnya, setiap orang ingin dihargai, ingin didukung, ingin dibantu untuk melempari dan mengenyahkan hal-hal yang tidak disukai. Dan berbagi cerita/saling berbicara adalah aktivitas yang memungkinkan terwujudnya hal-hal tersebut. Agar interaksi ini berjalan baik, tentu harus ada pihak yang berbicara, ada pihak yang mendengarkan. Kalau sama-sama bicara, akan ribut. Kalau sama-sama mendengarkan, jangkrik yang ribut..krik..krik..krik.

Aku sering sekali mendengarkan teman-teman bercerita, atau lebih tepatnya, teman-teman curhat. Tentang keluarganya, tentang cewek atau cowoknya, tentang hobinya, tentang aktivitasnya, dan banyak hal lainnya. Ada yang kuat bercerita berjam-jam, ada juga yang langsung berhenti bercerita ketika tahu bahwa aku sebagai pendengar curhat sudah tidur dengan pulas..hehe. Dan ini benar-benar pernah terjadi. Aku pernah melakukannya, saking tidak menariknya topik yang diceritakan. Karena pengalaman buruk itu, sekarang aku bertobat dan berusaha menikmati setiap cerita yang terlontar untuk aku dengarkan.

Ternyata mendengarkan itu ada seninya. Tidak semua orang ahli dalam hal ini, padahal hanya mendengarkan. Kita terkadang tidak sabar dan tidak tahan untuk turut berbicara. Bahkan juga sering menunjukkan reaksi fisik yang membuat kenyamanan orang yang bercerita menjadi berkurang. Mungkin karena ceritanya tidak penting bagi kita, ketidaksiapan kita untuk terlibat emosi dalam cerita tersebut, atau kita sudah bosan karena mendengarkan cerita tersebut berkali-kali dari orang yang sama. Meminimalkan hal tersebut, mari kita memaksimalkan dua telinga kita.

Sama seperti catatan yang berjudul dua pijakan, dua telinga ini lebih dimaksudkan kepada telinga psikis. Satu telinga digunakan untuk mendengarkan apa yang tersurat (konten cerita). Satu telinga lagi untuk mendengarkan apa yang tersirat (kandungan minat). Konten cerita tidak perlu dibahas lebih lanjut karena berkaitan dengan hal-hal yang diceritakan secara langsung. Untuk yang tersirat memang butuh kepekaan karena tidak diceritakan secara terang-terangan. Apa yang ingin dicapai pencerita, apa tujuannya, bagaimana ekspresinya adalah hal-hal yang tersirat. Perhatikan kata sifat yang digunakan dan kita akan tahu apa yang paling dibenci, disukai, diidam-idamkan, dan lain-lain. Hal tersebut mungkin tidak diungkapkan terang-terangan, tapi kita bisa sedikit “menerka” dari beberapa kata sifat yang digunakan.

Memfokuskan telinga pada konten cerita saja kadangkala membuat kita jenuh, kecuali bila cerita itu benar-benar menarik minat kita. Mendayagunakan satu telinga lagi untuk mendengar hal-hal yang tersirat bisa jadi sangat menyenangkan. Ada orang yang sangat ahli meniru mimik orang lain bercerita karena memerhatikan dengan jelas ekspresi orang tersebut ketika bercerita, meniru gaya bicaranya, suara bicaranya, dan mengetahui hal-hal yang dibenci atau disukainya. Ini pentingnya telinga yang kedua. Memang ketika kita mengaktifkan telinga yang kedua, fokus telinga pertama menjadi berkurang, namun pastikan kita cukup memahami apa yang kita dengarkan dengan mengangguk-anggukan kepala dan sedikit berdeham…he..em..(“,)

Menjadi pendengar yang baik sangat disarankan agar kita lebih mampu menghargai perasaan orang lain. Kita butuh orang lain untuk membantu, mendengarkan cerita kita, dan berbagi kebahagiaan dalam hidup ini. Terlebih lagi kita butuh orang lain untuk mengisi posisi titik buta (blind spot). Titik buta adalah titik yang tidak dapat kita lihat sendiri tanpa bantuan orang lain. Mata kita yang istimewa ini bisa melihat banyak hal, kecuali dirinya sendiri. Dan untuk melihat dirinya sendiri itu, dia membutuhkan cermin atau mata orang lain. Oleh karenanya, kita membutuhkan orang lain sebagai teman bercerita, berbagi nasihat, masukan, motivasi, yang kesemuanya adalah untuk saling melengkapi satu sama lain.

Surabaya, 23 Mei 2012
Gambar dikutip dari: http://jidhu.blogspot.com/2009/05/listen-to-your-heart.html

Sabtu, 19 Mei 2012

Tetap Mengalir..


Air...
Danau...
Sungai...
Parit...
Laut...
Selokan...
Kolam...
Sumur...
Bak...

Air...
Hujan...
Seni...
Limbah...
Ketuban...
Suci...
Awet muda...
Bah...

Air...
Asin...
Manis...
Tawar...

Air...
Biru...
Hijau...
Merah...
Bening...

Tetaplah air,
Mungkin berguna, mungkin tidak,
Namun, tetaplah air..
Yang ada saatnya nanti berpelukan di samudera,
saling bersapa dalam awan,
kemudian kembali mengisi celah-celah bumi.
Terus mengalir, sekalipun mata menangkapnya tergenang,
merembesi dinding tembok, menyelam dalam tanah, berusaha mencari celah,
untuk sampai di tempat yang serendah-rendah dan seluas-luasnya
Serendah-rendah dan seluas-luasnya
Mengikhlaskan dirinya kepada matahari
untuk mencapai tempat yang setinggi-tinggi dan seluas-luasnya
Setinggi-tinggi dan seluas-luasnya

Air tetaplah air
yang namanya beraneka tempat, rasa, bau, dan warna
Beraneka karena belum sampai
di tempat yang serendah-rendah, setinggi-tinggi, dan seluas-luas
hanya karena masih di tempat yang kecil..
ya, tempat yang kecil
sehingga persepsi belum sepenuhnya menyentuh esensi
masih sulit bagi logika untuk melepas kerinduan dalam rasa dan dalam rupa
Dan dalam semua keterbatasan ini,
aku hanya ingin melihatnya terus mengalir..terus mengalir..
menyehatkan alam semesta
Seperti hidup yang terus mengalir..
Namun, terkadang terasa lambat karena berat
Mungkin karena berdiam diri di satu tempat untuk terus melawan arus,
tidak berpindah ke tempat lain, mencari arus yang sesuai untuk mengalir..
Mengalir..alir...air..Itu saja.

Surabaya, 19 Mei 201
Gambar dikutip dari: http://dailyvibrations.blogspot.com/2012/03/lets-talk-about-water.html


Jumat, 11 Mei 2012

Dua Pijakan


Beberapa hari yang lalu, aku sempat berbincang hangat dengan seorang sahabat.Sudah lama juga tidak bertemu, kita membicarakan banyak hal, hingga akhirnya menyentuh tentang aktivitas sehari-hari dan pandangan masa depan. Bangga rasanya memiliki seorang teman yang visioner, memiliki keinginan-keinginan yang luar biasa untuk masa depannya, dan oleh karenanya bekerja begitu keras untuk mewujudkan kesemuanya itu. Aku melihat keseriusan dari wajahnya ketika menceritakan detail keinginannya dan apa saja yang dia lakukan untuk mencapainya. Sahabatku ini memang seorang pekerja keras, dan aku selalu bangga untuk karakternya yang satu ini, dari semenjak kuliah.

Aku terus mendengarkan cerita-ceritanya, sesekali juga aku berbagi tentang pandanganku tentang masa depanku, tentang rencana-rencanaku, dan apa saja yang aku lakukan saat ini. Terus berbagi cerita, sampai akhirnya aku sampai pada sebuah pertanyaan. Dengan santainya aku bertanya, “Apakah kamu bahagia saat ini?” Dan jawaban yang mengejutkan pun datang, sehingga memberiku inspirasi untuk membuat catatan ini. Jawabannya adalah, “Aku nggak bahagia, Coy!”

Seketika itu juga aku kaget, kemudian aku mengatakan, “Aku bangga dengan caramu memandang masa depan, tapi kecewa dengan cara pandangmu terhadap masa kini. Apakah kamu yakin kamu akan bahagia nantinya ketika sampai pada suatu hari disaat keinginan-keinginanmu terwujud? Keinginan kita tidak akan pernah ada habisnya. Saat satu keinginan terpenuhi, akan ada keinginan lain yang menuntut untuk dipenuhi. Lalu kapan waktunya berbahagia bila seluruh waktu digunakan untuk mengejar keinginan-keinginan itu? Dengan tidak menghargai masa kini, kita sebenarnya sedang tidak menghargai Tuhan yang menganugerahkan banyak hal dalam hidup kita. Suatu saat nanti, mungkin kita akan sampai pada waktu dimana keinginan kita terwujud, mungkin juga tidak. Dengan mengabaikan hari ini, suatu saat nanti, terlepas dari apakah keinginan kita terwujud atau tidak, kita telah kehilangan makna masa lalu.” Sahabat saya terdiam agak lama, sebelum akhirnya mengatakan, “iya, kamu benar.”

Aku memang bukan orang yang terlalu pandai merancang masa depan, tapi aku selalu berupaya untuk merasa nyaman dan bersyukur setiap hari. Aku memang orang yang terkesan santai dan oleh karenanya aku harus banyak belajar dari orang-orang seperti sahabatku itu dalam memandang masa depan. Menurut pandanganku, sahabatku itu sedang mengimplementasikan sebuah gaya hidup yang senada dengan kalimat, “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Dia sedang berupaya begitu kerasnya, hingga merasa “sakit/tidak bahagia” saat ini untuk kemudian merasa bahagia ketika seluruh upayanya membuahkan hasil yang sesuai dengan harapannya. Gaya hidup seperti ini bukannya tidak tepat, tapi sepertinya harus ada pembaharuan di jagad yang penuh dengan ketidakpastian ini. Siapa manusia di dunia ini yang sudah tanda tangan kontrak usia hidup di hadapan Tuhan, kemudian tahu batas usianya dan bisa merencakan dengan membagi waktunya menjadi “waktu untuk bersakit-sakit” dan “waktu untuk bersenang-senang”?Hidup itu penuh ketidakpastian dan karenanya kita patut mensyukuri dan menikmati detik-detik yang sedang berlangsung ini.

Aku punya sebuah konsep yang berhubungan dengan ini semua. Mungkin ini terkesan aneh, tapi setidaknya konsep ini menyamankan logika dan perasaanku. Aku menamakannya konsep “dua pijakan”. Dua pijakan membutuhkan “dua kaki”. Ini tidak ada hubungannya dengan kaki fisik, tapi kaki psikis. Satu kaki diletakkan di masa kini, kaki satunya diletakkan di masa depan. Sebesar, seindah, sekaya, secemerlang apapun keadaan masa depan yang kita harapkan, jangan pernah memijakkan kedua kaki kita di masa depan, simpan satu kaki di masa kini, agar pada saat kita tiba di masa depan itu kita tidak kehilangan masa lalu yang juga adalah masa kini yang kita abaikan. Memijakkan satu kaki di masa kini berarti mempersiapkan diri untuk mensyukuri segala hal yang terjadi, yang dianugerahkan-Nya kepada kita. Syukur itu adalah rasa yang harus dilatih. Itulah kenapa ada orang yang lebih bahagia dibandingkan orang lain, sekalipun orang tersebut tidak lebih kaya dibandingkan orang lain. Ada orang-orang yang lebih ahli bersyukur dibandingkan orang lain. Bukan juga karena lebih pintar, tapi karena lebih mampu melihat anugerah dari segala sesuatu yang tercipta dan hadir dalam hidup.

Kalau menulis sih gampang saja, merangkai kata tidak lebih sulit dibandingkan menjalani apa yang dituliskan atau diteorikan. Apalagi yang dijalani adalah hidup. Kalau kita berhenti di pernyataan ini, secara tidak langsung kita sudah menciptakan “tambahan pemberat” kepada kaki sendiri untuk melangkah. Berteori, berkata-kata, atau menulis hal seperti ini mungkin mudah, menjalani apa yang diteorikan itu agak sulit, tetapi mencari pembenaran untuk tidak melakukan apa-apa membuat segala sesuatunya tambah sulit. Jadi, sesulit apapun mari kita melangkah bersama, saling mengingatkan dan mendoakan, itu yang penting. Ada kalanya mungkin aku yang lupa, dan oleh karenanya mohon aku diingatkan. Sebagai pesan penutup catatan ini: Nikmati hari ini, nikmati hari ini, dan nikmati hari ini.

Surabaya, 11 Mei 2012

Selasa, 08 Mei 2012

Spirit of Kangen


Kita pasti pernah mengalami jenis perasaan ini. Kangen. Suatu perasaan yang muncul dari diri kita terhadap suatu hal/aktivitas/peristiwa/orang yang kita sukai atau cintai, namun lama tidak dilakukan atau dijumpai, sehingga muncul keinginan untuk melakukan atau berjumpa dengannya. Sangat manusiawi. Kalau cinta adalah sebuah pohon, kangen adalah salah satu rantingnya..(“,).

Kangen itu sebuah rasa, berarti juga sebuah energi, dan itu pastinya tak kasatmata. Namun, bukan berarti tidak bisa dideteksi. Karena sifatnya energi, berarti bisa berubah dari satu bentuk ke bentuknya yang lain. Bongkahan energi kangen di dalam hati itu biasanya bisa mencair dan mengalir melalui tatapan mata, nada suara, raut wajah, tetesan air mata, tulisan, lukisan, puisi, dan status facebook. Untuk yang terakhir, tidak usah dijelaskan lagi, itu sangat mudah dipahami. Terakhir aku lihat ada status dengan kata-kata: “KangeuNnd beud sm...”

Omong-omong tentang facebook, media jejaring sosial memiliki pengaruh cukup besar terhadap degradasi rasa kangen. Dengan adanya media ini, seseorang bisa berinteraksi dengan orang lain setiap saat. Tidak peduli perbedaan waktu atau perbedaan ruang. Ruang disini maksudnya adalah daerah atau wilayah, bukan alam. Karena aku sendiri belum pernah melihat ada seseorang yang sedang chat dengan temannya yang berbeda alam, yang satu di alam nyata, satunya lagi di alam gaib...hehe. Walaupun sifatnya pertemuan di dunia ‘maya’, namun aktivitas melalui media jejaring sosial ini cukup efektif untuk mengobati kangen, karena bukan saja kita bisa saling menyapa melalui kata-kata, kita juga bisa saling bertatap muka melalui layar kaca. Pada akhirnya, rasa kangen tereduksi, walaupun tidak menghilangkan.

Dulu, sebelum media jejaring sosial semarak sekarang, hp, laptop, dan bb seheboh sekarang, tidak mudah berinteraksi dengan keluarga atau sahabat yang berbeda lokasi tempat tinggal. Seringkali muncul rasa kangen yang semakin hari semakin besar. Semakin jauh lokasinya, semakin besar potensi kangennya. Dan bila ada kesempatan untuk bertemu, saat alat transportasi belum sebanyak dan sevariatif sekarang, biasanya butuh perjuangan yang cukup berat untuk menempuh jarak tertentu. Oleh karenanya, persiapan harus benar-benar matang, mulai dari persiapan fisik, pakaian yang akan dibawa, obat-obatan, hasil kebun, sejumlah uang, oleh-oleh untuk Mbah, Tante, Om, Ponakan, Tetangga, Pembantu. Saking matangnya, berat barang yang dibawa seringkali sama dengan berat pembawa barang. Atau mungkin juga lebih. Darimana datangnya kekuatan itu? Ya dari dalam diri, ini yang aku sebut sebagai spirit of kangen!

Sekarang? Sudah sangat jarang aku lihat fenomena seperti itu di kota-kota, baik yang masih berkembang, maupun yang besar. Facebook ada, twitter siap, HP tersedia, BB parkir di saku. Nanya kabar? Tinggal nge-wall, tweet, sms-an, bbm-an. Mau mengunjungi lokasi? Ada bus, travel, taxi, pesawat terbang, dll. Pesawat terbang sekarang sudah bukan alat transportasi orang kelas eksekutif yang terkenal dengan tarif mahal. Banyak pembantu dari Indonesia yang mampu berangkat-pulang naik pesawat, bukan hanya perjalanan dalam negeri, tapi juga ke luar negeri...untuk jadi TKI dan TKW..hehe. Bahkan, ramainya bandara sekarang hampir mirip dengan ramainya terminal. Dan saking seringnya bandara dikunjungi, bandara sudah dianggap sebagai rumah sendiri, sehingga ada saja yang tidur di kursi dan lantai. Dan yang jelas, tidak terlalu perlu membawa banyak barang seperti hasil kebun. Sudah begitu banyak retail, minimarket, swalayan, dan supermarket yang menjual barang serupa. Di jaman sekarang “sepertinya” segala sesuatu tampak mudah, tampak cepat, tampak “simple”, tampak banyak pilihan. Tidak perlu berjuang “sekeras” dulu. Banyak pilihan hadir dekat sekali di depan mata kita. Saking dekat dan banyaknya, sampai-sampai memunculkan keadaan hati model baru. Orang-orang menyebutnya dengan kondisi ‘galau’. Suatu kondisi hati yang sukses menggeser rasa kangen. Menghilang seluruhnya? Tentu tidak, ada beberapa yang entah menguap kemana..

Perkembangan teknologi dan perubahan jaman yang mengakibatkan perubahan paradigma, perubahan pergerakan sosial, dan perubahan gaya hidup mengambil andil yang penting terhadap perubahan perasaan, lebih tepatnya lagi perubahan cara kita merasa. Rasa kangen yang dulu seringkali membuncah ketika bertemu dengan seseorang yang sudah lama sekali berpisah mulai mengalir dengan tenang saja. Teknologi membuat banyak hal yang dulunya luar biasa, kini tampak datar-datar saja. Namun, sebagaimanapun kecanggihannya tidak akan mampu menghilangkan seluruh rasa kangen dalam diri kita. Rasa kangen akan masa-masa lalu, rasa kangen akan rasa makanan yang dibuat oleh tangan seseorang, rasa kangen akan belaian dan pelukan hangat orang tua yang dulu sering kita terima, senyum itu, canda itu, lelucon-lelucon itu, kegoblokan-kegoblokan itu, kasih sayang itu. Sebuah rasa yang tidak boleh kehilangan spirit-nya, tidak boleh dibiarkan dikikis jaman, agar dunia tampak penuh dengan warna. Dan salah satu parameter terhadap makna keberadaan kita di dunia ini adalah besarnya rasa kangen orang lain kepada kita. Karena cinta tanpa rasa kangen, seperti pohon yang kehilangan satu rantingnya....

Surabaya, 8 Mei 2012
Gambar diambil dari: http://freeimagesarchive.com/img12925.search.htm