Senin, 18 Juni 2012

Motivator Jalanan


Salah satu kelebihan tinggal di Negara berkembang seperti Negara kita tercinta ini adalah tersajinya pemandangan yang aku namakan "dua arus kehidupan". Ada "arus kaya" dan banyak "arus miskin". Kaya dan miskin yang aku maksudkan pada catatan ini lebih mengarah kepada kepemilikan harta benda. Dua arus ekstrem ini saling berlawanan dan menimbulkan kesenjangan dalam banyak aspek kehidupan di Negara kita.

Untuk melihat arus yang pertama, coba sesekali berjalan-jalan santai sambil memerhatikan suasana jalan raya yang dipenuhi kendaraan berlalu lalang. Di Surabaya, khususnya Surabaya Timur, aku sering memerhatikan suasana seperti ini pada pagi atau siang hari. Di beberapa ruas jalan tertentu seringkali terjadi macet. Mobil dan motor banyak sekali jenisnya. Dari yang model "jadul" sampai model terbaru berderet menghiasi jalanan. Dari yang harganya jutaan rupiah sampai milyaran rupiah turut serta ambil bagian. Dari plat nomor berwarna merah, kuning, hitam, sampai putih. Dari plat nomor yang bertuliskan 1 huruf setelah angka, sampai 3 huruf setelah angka. Dari yang tanpa kaca spion, sampai yang kaca spionnya berjumlah 4. Dari kendaraan yang pintunya dibuka ke samping, sampai yang dibuka ke atas. Sering-sering melihat hal yang seperti ini, aku semakin ragu kepada orang-orang yang mengatakan bahwa saat ini Negara kita sedang dalam kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan.

Masih di jalan raya, tepatnya di sekitar lampu rambu lalu lintas. Bila kita beruntung, kita akan menemukan beberapa orang yang kurang beruntung. Ini adalah arus yang kedua. Ada penjual koran, penjual kerupuk, penjual gorengan dan kacang rebus, penjual mainan anjing dan bunga matahari plastik, "pengamen tutup botol", pengelap kendaraan, dan peminta-minta. Dari anak-anak kecil yang sudah diarahkan dan diatur sampai kakek-nenek yang tidak bertenaga. Dari yang memiliki sandal sampai yang bertelanjang kaki. Dari yang sambil menggendong bayi sampai yang menggendong bantal kecil agar terlihat seperti menggendong bayi. Dari yang berteriak "sepuluh ribu tiga!!" sampai yang memelas "sak ikhlase, Mas..mohon amale..".

Untuk aktivitas yang terakhir, aku mohon ijin untuk menuliskannya 1 paragraf. Aku sering sekali bertemu peminta-minta. Di jalan raya, di area tempat tinggal, dan di warung-warung tenda. Memang ada beberapa yang karena kondisi fisiknya sulit melakukan aktivitas yang bisa mendatangkan uang. Ada juga yang memang sudah tua. Namun, banyak juga yang memiliki keadaan fisik cukup potensial melakukan aktivitas kerja yang bisa mendatangkan uang, tentu saja selain aktivitas meminta-minta. Memang ada doa yang terlantun untuk kita apabila kita memberi kepada orang-orang golongan terakhir ini, seperti murah rejeki, sehat, dan kerjaan lancar, tapi seandainya doa itu manjur, kenapa mereka tidak mendoakan diri mereka sendiri agar semakin berejeki, semakin kaya, dan semakin bisa membantu orang lain?! Aku tidak sedang menghasut teman-teman agar tidak memberi sedekah kepada orang-orang ini, tapi hanya memaparkan sebuah pandangan saja. Banyak orang miskin di luar golongan peminta-minta ini yang bekerja banting tulang, pagi-malam, untuk menjemput rejeki, bahkan dalam kondisi fisik yang tidak seberuntung kita. Bagiku, cara terbaik agar kita bisa mendapatkan sesuatu yang kita inginkan adalah bukan dengan memintanya, tapi memberikan sesuatu yang kita miliki. Dengan meminta, kita akan dihadapkan dengan 2 KEMUNGKINAN, yaitu diberi atau tidak diberi, tapi dengan memberi, kita akan dihadapkan dengan 1 KEPASTIAN, yaitu diberi.

Sepertinya sederhana, memberi..kemudian kita mendapatkan sesuatu. Tapi aku harus jujur, memberi itu tidak mudah, teman-teman. Memberi itu aktivitas orang-orang kuat, bukan orang-orang lemah. Memberikan sesuatu saat kita memiliki banyak hal memang tidak sulit, tetapi memberikan sesuatu pada saat kita sendiri pun kekurangan dan bahkan membutuhkan bantuan, disinilah seni kehidupan dimulai.

Aku sering terkagum-kagum kepada orang-orang yang sepertinya kekurangan, tapi masih bisa tersenyum, masih giat bekerja, masih sopan menyapa, dan masih jujur dalam sikap. Walaupun memang tidak menggunakan seragam kerja yang baru disetrika, dasi yang berwarna cerah, sepatu mengkilap, parfum bermerk, dan jam tangan mewah. Satu-satunya parfum yang orang-orang ini pakai berasal dari campuran debu dan aroma keringat. Tetap bekerja dengan giat menawarkan dagangannya, menarik gerobak sampahnya, menggosok-gosokkan sepatu dengan lapnya, menyapu daun-daun jalanan dengan sapu lidinya, dan menyanyi riang ditemani pengeras suara bututnya. Mereka bekerja, mereka menjemput rejeki, mereka menantang hidup, mereka memberi dalam kekurangan, mereka ini MOTIVATOR JALANAN.

Kita harus banyak belajar dari para motivator jalanan ini. Tidak semua dari mereka ini bertubuh lengkap, tidak semuanya juga berusia muda, tapi mereka masih bisa tersenyum sambil bekerja. Aku tidak tahu persis apa makna senyumannya. Mungkin menyimpan deretan kata-kata seperti, "Hai orang-orang berdasi pengeluh, aku saja masih bisa tersenyum dan tidak mengeluh hari ini..!" atau "Hai orang-orang bermobil mewah, selapar-laparnya perutku, aku tidak memakan uang orang lain..!" atau "Hai orang-orang berumah besar, sepanas-panasnya terik matahari siang ini, tidak akan menggerakkanku untuk mengambil sesuatu yang bukan hakku..!" atau....entahlah, aku tidak tahu lagi. Tapi satu yang aku tahu, aku harus mengakhiri catatanku siang ini...(",)
Selamat beraktivitas teman-teman, selamat belajar dari para motivator jalanan ini!

Surabaya, 18 Juni 2012, Perjalanan Hati
Gambar dikutip dari: http://benradit.wordpress.com/2012/05/09/hak-pendidikan-anak-jalanan-terlupakan-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar