Sabtu, 14 Juli 2012

Pelajaran dari atas Trotoar


Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 6 Juli 2012, aku menyusuri jalan Ir. Soekarno bersama kekasih tercinta, Elva, dengan sepeda motor supraku yang kuberi nama Super. Super baru saja memasuki babak baru dalam hidupnya karena angka pada penunjuk kilometernya sudah kembali ke 000000 pada tanggal 26 Juni 2012. Tak terasa sudah 10 tahun aku bersamanya dalam suka dan duka, gundah dan sumringah, galau dan gurau. Betul-betul sahabat setia. Tidak terlalu banyak menuntut. Kalau sedang marah, paling hanya menggemboskan bannya sendiri, membanting plat nomernya ke jalan, menjelek-jelekkan suara klaksonnya, dan melepaskan pelukan rantainya. Seandainya ada yang ingin membelinya dengan harga 1 Milyar pun, aku tidak akan menjualnya. Karena hampir tidak mungkin juga ada orang yang mau membeli motorku dengan harga 1 Milyar, lebih baik digunakan untuk membeli mobil mewah atau mini bus sekalian, bisa untuk jalan-jalan sekeluarga...hehe

Ketika itu sekitar pukul 7 malam, kami berhenti di sebuah tempat makan yang berada di pinggir jalan, tepatnya di atas trotoar. Kami belum pernah mengunjungi tempat makan ini sebelumnya. Bukan seperti warung tenda, tempat makan ini tidak menggunakan tenda, jadi kepala pengunjung langsung beratapkan langit dengan taburan bintangnya. Ada beberapa pohon juga di sela-sela meja-meja makannya. Konsep yang sangat natural. Dan yang menyebabkan kami memutuskan untuk berhenti di parkiran tempat makan ini adalah karena tempat makan ini ramai sekali dengan pengunjung. Bukan hanya pengunjung yang membawa sepeda motor, tapi banyak juga yang membawa mobil. Bukan hanya pengunjung berkulit sawo kematangan seperti kulitku, tapi sebagian besar justru pengunjung yang berkulit putih. Tidak heran, karena makanan yang dijual di tempat makan ini bernuansa chinese. Tulisan yang kubaca besar di meja kasirnya adalah DIM SUM 100% HALAL.

Kuberanikan saja duduk di salah satu kursinya dan langsung memanggil salah satu pelayannya. Yang laki-laki tentunya...hehe. Kemudian aku menanyakan buku menunya. Tak disangka ternyata tempat makan ini tidak memiliki buku menu, jadi pengunjung harus langsung menuju ke tempat pemesanan sambil melihat aneka menu disana, dan menunjuk beberapa menu yang dipilih untuk disantap. Langsung saja aku dan Elva menuju tempat pemesanan. Banyak sekali jenis-jenis makanannya. Sangat asing sekali di mata, tapi ada satu menu yang sangat familiar dan ini adalah makanan favaritku. Ceker ayam. Warna bumbunya merah, aromanya lumayan lezat. Bagiku, ini satu-satunya menu yang masuk akal. Yang lainnya kebanyakan berbentuk bulat-bulat, dan pasti nama-namanya juga mbulet (membingungkan). Elva memesan makanan yang mirip seperti bakso yang ternyata bernama tom yam. Tom yam adalah sup yang berasal dari Thailand, sedangkan dim sum sendiri adalah hidangan ringan dari China. Semua menu di tempat makan ini, kecuali tom yam, disajikan dengan menggunakan mangkuk yang dibentuk bulat dari bambu, di dalamnya masih ada wadah yang terbuat dari porselen, sehingga kehangatan makanan tetap terjaga. Tom yam disajikan dengan menggunakan mangkok biasa. Untuk minumnya, aku memesan jus jambu biji dan es teh.

Sambil menunggu hidangannya, aku melihat-lihat para pengunjung yang sedang asyik menikmati makanannya sambil mengobrol dan bersenda gurau. Tempat makan sesederhana ini, yang menggunakan trotoar sebagai alas meja dan kursinya, yang menggunakan badan jalan untuk tempat parkirnya, yang membiarkan kepala pengunjung bersentuhan dengan angin malam, memiliki daya tarik yang luar biasa sehingga bisa membuat banyak orang menduduki kursinya, kemudian memesan, dan menikmati makanannya. Pasti makanannya enak. Begitu pikirku. Tidak lama berselang, makanan dan minuman kami datang. Setelah berdoa, langsung kusantap ceker ayamku. Dan benar, rasanya enak sekali. Ini ceker terenak yang pernah aku makan di Surabaya. Kulit cekernya sangat mudah terlepas dari tulangnya. Bumbunya kental dan rasanya pedas-manis. Walaupun, jari-jari tangan kananku agak pegal karena tidak terbiasa menggunakan sumpit, tapi tidak mengurangi kenikmatan menyantap makanan ini. Tom yamnya pun setali tiga uang. Kuahnya sangat segar. Pantas saja banyak yang berkunjung kesini. Menu dim sum, yang selama ini kulihat berada di balik kaca restoran berkelas, kini ada di pinggir jalan. Mantap. Pemiliknya berhasil membawa konsep resto ke trotoar. Cerdas.

Selesai makan, ada perasaan nikmat dan perutpun tidak terlalu kenyang. Pas. Mudah-mudahan harganya pun pas juga di kantong. Setelah kami selesai ngobrol-ngobrol, aku langsung menuju kasir. Ternyata harga makanannya cukup bersahabat dengan dompet, 7 ribu untuk setiap porsi, apapun menunya. Menarik. Setiap menu dipukul rata dengan harga yang sama. Setelah membayar, aku bertanya kepada kasirnya tentang ketidaktersediannya buku menu. Dan jawaban ini yang membuat aku semakin kagum terhadap konsep tempat makan ini. Kasir tersebut menjawab, “Kami memang sengaja tidak memberikan buku menu, kami ingin mengedukasi pengunjung yang datang”. Luar biasa. Selama ini interaksi pengunjung dan pelayan di tempat makan biasanya kurang intensif, hanya memesan makanan yang ada di buku menu, kemudian menanyakan harganya setelah selesai makan. Dengan tidak adanya buku menu, pengunjung akan lebih banyak bertanya tentang menu-menu yang ada, dan itu menyebabkan interaksi yang intensif dengan pemilik dan pelayan tempat makan. Jawaban-jawaban yang ramah disertai humor-humor ringan dan juga pemberian edukasi terhadap menu-menu yang ada akan membuat pengunjung merasa nyaman dan senang, yang pada akhirnya memicu kontinuitas untuk berkunjung kembali ke tempat makan tersebut. Mereka tidak hanya menjual makanan, mereka menyebarkan keramahan, humor, dan edukasi tentang menu. Ini yang membuat tempat makan ini berbeda dibandingkan dengan tempat-tempat makan lain yang juga berada di atas trotoar, tempat berjalannya para pejalan kaki. Malam itu, aku dapat pelajaran berharga dari atas trotoar...(“,)

Surabaya, 14 Juli 2012
Gambar dikutip dari: http://bonappettit.wordpress.com/2011/12/14/the-best-dim-sum-in-surabaya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar