Jumat, 12 April 2013

Pintu Kemana Saja


Saya senang sekali mengunjungi tempat baru, melihat pemandangan alam, dan mencicipi kuliner khas suatu daerah. Dengan bepergian ke berbagai tempat, wawasan saya bertambah, bertemu dengan orang-orang baru dan mengenal budaya-budaya baru. Singkatnya, saya senang jalan-jalan. 

Suatu ketika, saya bayangkan diri saya memiliki pintu kemana saja-nya Doraemon. Saya bayangkan lagi pintu itu berwarna pink dan ketika saya buka, saya langsung berada di tempat yang saya inginkan. Mulailah saya bayangkan tempat mana saja yang ingin saya kunjungi. Muncul banyak sekali nama, mulai dari daerah-daerah di dalam negeri sampai luar negeri. 

Karena saking banyaknya tempat yang ingin saya kunjungi, saya batasi khayalan saya tentang pintu ajaib ini. Saya konsep bahwa pintu ini hanya bisa 1 kali saja dipakai, untuk masuk ke tempat yang saya inginkan dan kembali ke tempat saya semula. Hanya 1 kali pakai saja, masuk dan kemudian kembali. Dengan begitu, saya betul-betul memikirkan tempat yang paling penting yang akan saya kunjungi. Mulailah berkurang beberapa tempat dalam daftar khayalan saya. 

Tapi ternyata masih lumayan banyak tempat yang ingin saya kunjungi, terutama bersama orang-orang terdekat. Mulailah saya konsepkan lagi batasan pintu ajaib ini. Pintu ajaib ini hanya bisa dilewati oleh saya sendiri, hanya saya sendiri. Jadi, saya tidak bisa mengajak siapa-siapa, termasuk keluarga saya sendiri. Nah loh?! Mulai terasa pusing. Apa enaknya pergi jalan-jalan tanpa mengajak teman-teman atau keluarga? Mana bisa maksimal happy-nya? Perlahan mulai saya sadari bahwa tempat-tempat baru dan pemandangan yang indah-indah itu memang menyegarkan mata, tapi keberadaan orang-orang terdekat ke tempat-tempat tersebut menyegarkan hati. Saya jelas memilih yang menyegarkan hati..karena hati ukurannya lebih besar dibandingkan mata..hehehe 

Dengan tambahan konsep baru itu, mulai banyak tempat yang berkurang..berkurang terus..berkurang terus..sampai akhirnya hanya tersisa satu tempat. Rasanya enak sekali memilih satu tempat seperti ini. Tidak menimbulkan sakit kepala dan kegalauan:) Setelah memantapkan hati, mulailah saya melangkah melewati pintu ajaib itu. Perlahan saya melihat pemandangan yang tidak begitu luas, tidak lebih luas dari gunung-gunung yang pernah saya daki, tidak lebih luas dari laut-laut yang pernah saya kunjungi, tidak bising dengan suara ombak dan kicau burung, hanya senyum beberapa orang saja..benar-benar beberapa orang saja. Beberapa orang yang masih bisa saya lihat dan saya peluk. Masih bisa saya ajak bicara dan bercanda. Saya berada di sebuah rumah yang tidak begitu luas, namun hangat oleh kasih sayang keluarga. 

Sejauh apapun kita berkelana, menuntut ilmu, ataupun bekerja, rumah yang ditinggali oleh orang-orang yang kita sayang dan menyayangi kita adalah tempat terindah. Bukan semata-mata karena tempatnya, tapi kehangatan cinta yang diberikan orang-orang tersebut yang menyelimuti hati kita. So, bersama siapa kita berada itu jauh lebih penting dibandingkan dimana kita berada. Thanks to Doraemon. Lain waktu kita berkhayal lagi ya..! 

*Note: Jangan lupa bersih-bersih rumah:)
Gambar dikutip dari: 
mahdiyaturrahmah.wordpress.com

"Rumah Saya Sebesar..."

Dulu, ketika saya masih kecil, ya sekitar usia 5-6 tahun, saya seringkali terlibat "lomba" dengan teman-teman sebaya. Lomba yang nge-trend waktu itu adalah lomba "besar-besaran" kepemilikan atas sesuatu. Namanya juga anak kecil, "lomba" yang diikuti ya biasanya lomba adu mulut...hehe

Mulailah teman saya itu unjuk gigi duluan, "Rumah saya itu lebih besar dari rumahmu." Ditantang seperti itu jelas naluri emosi saya meningkat. Seandainya ketika itu saya tau bahwa rumah yang dia maksud adalah rumah orang tuanya, mungkin saya tidak terlampau emosi, sialnya saya belum tau. Langsung saja saya balas, "Rumah saya jelas lebih besar dari rumahmu, rumah saya sebesar komplek perumahan ini." Tak mau kalah, dia membalasnya, "Rumah saya sebesar kota!!". Masih dengan emosi, saya mengatakan, "Rumah saya sebesar pulau". Emosi melihat tangan saya yang bergerak membentuk sebuah lingkaran besar, dia membalasnya lagi, "Rumah saya sebesar Negara Indonesia." Mulailah saya berpikir sejenak, kemudian akhirnya muncul ide cemerlang. Sambil tersenyum saya mengatakan, "Rumah saya sebesar dunia..haha!!" Dengan cepat teman saya itu mengatakan, "Rumah saya sebesar alam semesta!" Wuih...besar banget pikir saya. Untuk ukuran anak kecil, frase "alam semesta" udah nyangkut di otaknya saja sudah luar biasa, apalagi dia bisa menggunakannya untuk melawan saya waktu itu. Saya mulai kehabisan kata-kata...tuk..tuk..tuk...dan kemudian secercah harapanpun muncul, dengan santai dan sambil tersenyum saya mengatakan, "Rumah saya sebesar Tuhan." Teman saya langsung diam seribu bahasa, walaupun saya tau betul dia tidak menguasai seribu bahasa. Jangankan seribu bahasa, bahasa Indonesianya saja masih acak-acakan.

Bagi sebagian orang, cerita di atas mungkin lucu, mungkin biasa saja, atau bahkan mungkin ada yang tersinggung karena mengeksplorasi sesuatu yang membawa-bawa Tuhan dalam perkelahian. Tapi ya namanya juga anak kecil..hehe. Habis beradu mulut, biasanya tak lebih dari 5 menit, 2 jari kelingking sudah tertaut kembali. Melalui ilustrasi cerita di atas, yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kita akan selalu "menang" dengan "mengandalkan Tuhan". Mengandalkan Tuhan yang saya makud tentu tidak persis sama dengan cerita di atas, tapi dengan meletakkan prinsip tersebut di hati kita masing-masing, tidak perlu sesumbar atau bahkan digunakan untuk merendahkan orang lain yang berbeda cara pandangnya. Cukup untuk diri sendiri dulu. Menang yang keren itu bukan dengan mengalahkan orang lain, tapi dengan meredam keinginan-keinginan untuk menyombongkan diri. Banyak hal yang rasa-rasanya tidak mungkin kita lakukan dalam hidup ini. Dan bila kita ingin mengurangi ketidakmungkinan-ketidakmungkinan tersebut, jangan hanya mengandalkan diri sendiri, andalkan Tuhan, pasrah dan ikhlas. Walaupun masih sulit, kita coba dan tidak lupa saling mengingatkan.

Selamat hari Jumat, teman-teman:)