Rabu, 24 Maret 2010

Peluitmu, Deritaku


Kemandirian adalah hal yang paling diasah ketika kita jauh dari keluarga dan hidup merantau. Menghuni sebuah tempat yang sama dengan beberapa orang yang tidak dikenal sebelumnya. Tempat yang bernama kost-kostan itu telah akrab dengan hidupku selama 4,5 tahun belakangan ini. Mulai dari kuliah, hingga bekerja saat ini, aku menghuni kost-kostan dan bertemu dengan orang-orang yang memiliki beraneka karakter. Mulai dari yang senang berada di dalam kamar hingga yang jarang pulang ke kost. Mulai dari yang lama di kamar mandi sampai yang lama di tempat tidur. Mulai dari yang senang mendengarkan lagu sedih sampai yang senang nonton film Korea. Mulai dari yang rajin bayar uang koran dan kost hingga yang kurang rajin. Mereka semua telah berhasil menambah khasanah pergaulanku. Terima kasih teman-teman.

Sebagai seorang penghuni kost yang kurang handal dalam hal masak-memasak, aku mempercayakan menu makananku pada koki-koki warung tenda. Bukannya aku tidak suka masakan restoran, tetapi karena urusan perut dekat sekali hubungannya dengan urusan kantong, aku harus pandai-pandai memanfaatkan setiap momen agar tidak kelabakan di akhir bulan. Memang tidak semua makanan yang disajikan di warung tenda memenuhi standar kesehatan ahli-ahli gizi. Ada kalanya sakit perut mendera dan diare tak terhentikan. Berbekal pengalaman itu, aku lebih berhati-hati memilih lokasi warung tenda sebagai tempat makan. Selain berhubungan dengan urusan kantong, warung tenda adalah tempat yang nyaman untuk membicarakan hal-hal ringan bersama teman-teman akrab. Tertawa terbahak-bahak tanpa ada yang merasa dirugikan, makan dengan tangan tanpa ada yang merasa jijik, dan berbagi dengan pengamen tanpa pernah mengomentari suaranya yang jauh sekali dari harapan pendengar.

Kegemaran mengunjungi warung tenda inilah yang membuatku semakin akrab dengan profesi yang satu ini. Bukan ahli masak, bukan juga ahli gitar bolong, tapi ahli atur kendaraan. Profesi terhormat ini dikenal masyarakat dengan sebutan juru parkir. Berbekal peluit dan beberapa lembar karcis parkir, profesi ini cukup menjanjikan dari segi finansial, apalagi bila dilakukan pada area-area padat pengunjung. Sampai sekarang pun aku tidak tahu berapa biaya parkir sepeda motor yang paling pas. Pas di kantong, pas juga di hati. Beberapa juru parkir mengucapkan terima kasih ketika diberi uang receh 500 rupiah. Beberapa lagi menerima dan memasukkan uang seribu rupiah dengan pelan ke saku celananya, kemudian membuang muka sambil menoleh kanan-kiri. Ada juga yang dengan tegas mengatakan “kurang Mas, seribu!” Sisanya menerima uang seribu, kemudian berlalu tanpa ingat bahwa masih ada motor yang harus diselamatkan dari himpitan motor-motor yang lain. Belum lagi “preman-preman parkir” yang dengan tega meniup peluit dari jarak puluhan meter tanpa memberikan karcis parkir sebelumnya atau orang yang tiba-tiba berdiri di samping kendaraan ketika kita hendak pergi, seolah-olah menunggu kita mengeluarkan uang seribu rupiah, bahkan tanpa membawa peluit. Seandainya semua juru parkir ini dilengkapi dengan identitas berupa baju seragam, peluit, dan karcis parkir yang resmi, tentu aku tidak akan mengomel dalam hati setelah memberi uang seribu rupiah. Kita sama-sama cari makan, tapi jangan saling merugikan. Memang tidak semua juru parkir demikian, ada juga yang bekerja dengan begitu profesionalnya.

Memperbaiki keadaan memang tidak sesederhana membaca koran, harus ada tindakan nyata. Pemerintah kota, daerah, dan aparat keamanan diharapkan memberikan perhatian terhadap hal-hal semacam ini. Tentu saja dengan dukungan segenap warga masyarakat. Pemberian atribut parkir tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kita bisa berupaya memaksimalkan potensi yang ada di daerah, membayar pajak tepat waktu, dan usaha-usaha lain yang berakibat secara langsung terhadap peningkatan pendapatan daerah. Dana inilah yang nantinya diharapkan bisa membantu program tersebut agar terealisasi dan berjalan dengan baik.

Di jaman sekarang memang banyak orang berlomba-lomba mencari pekerjaan. Ada yang dilengkapi dengan ijasah SMA, STM, S1, dan S yang lainnya. Patut disyukuri bila saat ini telah mendapatkan tempat yang memberikan ruang untuk berkreasi dan berkarya. Namun, bila belum, tetaplah berusaha dan berdoa, jangan merugikan orang lain. Tindakan premanisme tidak menyelesaikan masalah, justru itulah masalahnya. Jadilah orang-orang terhormat yang karena profesinya memberikan manfaat bagi orang lain. Sebagai penutup, selamat bekerja para juru parkir Indonesia!!
Semoga bermanfaat.

2 komentar:

  1. hahahah judulnya miris yah, mengundang buat dibaca..

    Jadi ingat salah satu artikel yang ditulis salah satu senior saya waktu magang dulu..
    http://www.detiknews.com/read/2010/06/03/154749/1369237/158/david-tobing-bukan-masalah-rp-10-ribu-tapi-disiplin-untuk-hal-kecil

    silakan disimak :D

    BalasHapus
  2. Terima kasih banyak infonya dan terima kasih juga sudah membaca!!

    BalasHapus