Minggu, 21 Maret 2010

Mimpi dan Angin


Beberapa hari yang lalu, aku menghubungi seorang kerabat. Sudah lama juga tidak berjumpa dan saling menanyakan kabar. Karena menggunakan kartu SIM yang sama, tarif telepon cukup bersahabat dengan kantong. Apalagi pagi hari adalah waktu yang tepat untuk merealisasikan niat mulia ini. Namun, sungguh mengejutkan, kalimat sambutannya bagai petir di pagi hari. Mungkin hal ini sering dialami oleh sebagian besar diantara kita, namun tidak pernah menjadi persoalan karena merupakan hal wajar yang bisa terjadi dalam hubungan persahabatan atau kekeluargaan. Kalimat tanya yang tersohor itu adalah : “Wah, mimpi apa nih pagi-pagi udah nelpon?”. Ada juga satu kalimat tanya yang maknanya hampir sama, yakni : “Wuah!! Ada angin apa sampe bela-belain nelpon pagi-pagi?”

Kedua kalimat tersebut cukup unik dari segi komposisinya. Kalimat pertanyaan yang sama sekali tidak membutuhkan jawaban. Hanya ungkapan kekaguman atau keheranan seseorang yang sudah lama tidak kita jumpai atau hubungi. Namun, kenapa harus mimpi? Ada apa juga dengan angin? Kenapa harus dua hal ini yang menunjukkan keheranan seseorang? Tidakkah lebih baik menanyakan kabar orang yang menghubungi dibandingkan menanyakan mimpi atau angin?

Keterkejutan seringkali membawa kita pada suatu dimensi yang aneh. Logika terguncang dan kadangkala membuahkan hasil berupa pertanyaan-pertanyaan yang lucu. Seperti kasus di atas, jelas sekali bahwa pertanyaan-pertanyaan itu hadir karena adanya suatu keterkejutan, sehingga untuk menanyakan kabar saja harus berputar-putar menanyakan mimpi dan angin.

Hidup itu penuh dengan kejutan yang tak terduga. Bagi yang siap menghadapi semua kejutan itu, mungkin bisa bersikap tenang. Namun, bagi yang tidak siap, inilah yang menjadi persoalan. Bagaimana kita menyiapkan diri terhadap hal-hal yang masih menjadi misteri? Tidak seorang pun tahu apa yang akan terjadi beberapa menit ke depan, besok, atau lusa. Lalu, untuk apa kita mempersiapkan diri? Lebih baik mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya hari ini karena hidup tak kan pernah bisa terulang. Pikiran tersebut tidak salah, hanya saja masih harus dikembangkan lagi agar hidup ini benar-benar dirasakan sebagai anugerah. Tidak ada seorang pun yang ingin hidup hanya pada hari ini saja. Semua ingin umur yang panjang, rezeki yang berlimpah, dan kesehatan yang membawa berkah. Oleh karena itu, kita harus memiliki rencana-rencana yang membawa kita pada tujuan yang kita inginkan. Rencana-rencana itulah yang akan menghindari kita dari “keterkejutan-keterkejutan” yang dapat mengguncangkan logika dan perasaan.

Hidup ini adalah anugerah, tapi bukan berarti tanpa masalah. Banyak orang yang terpukul, terguncang emosinya, dan sedih yang berkepanjangan karena menghadapi sesuatu hal, bukan karena jarang bersyukur, tetapi karena tidak siap dengan kejutan yang hadir. Kita memang tidak memiliki kewenangan untuk memodifikasi takdir, tetapi kita tidak dilarang untuk memperbaiki nasib, tentu saja dengan usaha dan doa. Mungkin terlalu ideal bila kita berbicara tentang usaha, doa, dan kesuksesan. Banyak orang telah berusaha maksimal dan berdoa panjang-lebar, namun tetap tidak bisa merubah kondisi apapun. Inilah gunanya belajar. Menyerap sesuatu yang baru setiap hari dan mengaplikasikannya secara langsung. Tidak cukup dengan berkerja keras banting tulang, kita harus mampu mengelola akal agar mampu bekerja dengan cerdas dan penuh perhitungan. Memang tidak semua hal yang bisa dihitung, pantas untuk dihitung, tapi alangkah baiknya kita tidak mengenyampingkan logika dalam bekerja dan berkarya. Setelah segenap usaha dan doa kita persembahkan, barulah hasilnya kita pasrahkan kepada Sang Pemberi Rezeki itu.

Bermimpilah, berencanalah, dan wujudkanlah semua niat baik itu, serta bungkus rapi dengan doa. Kita memang tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, memiliki apa yang kita cintai, dan meraih apa yang kita cita-citakan, tetapi yakinlah ada Tangan Maha Lembut yang akan mengantarkan kita menuju gerbang keikhlasan untuk setiap usaha yang fokus, doa yang tulus, dan kesabaran dalam penantian. Jangan pernah pasrahkan mimpi-mimpi kita kepada angin yang berhembus di luar sana. Sekencang apapun angin itu tidak akan mampu mengantarkan mimpi kita pada realitasnya. Kebahagiaan itu hadir bukan karena reaksi antara mimpi dan angin, tetapi keselarasan antara rencana bumi dan rencana langit. Jadi, bukan “ada angin apa” atau “mimpi apa tadi malam”, tetapi “senang sekali hari ini, bagaimana kabarnya?”
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar