Senin, 16 Agustus 2010

Songa = Songai = Sungai (Part 1)


Dulu, ketika masih kuliah, aku ingin sekali bisa jalan-jalan ke daerah Probolinggo sambil menikmati panorama sungai Pekalen. Hanya saja, waktu itu, faktor finansial masih menjadi pertimbangan utama, walaupun waktu luang untuk melakukan aktivitas tersebut cukup memadai. Semangat saja memang tidak cukup. Uang tidak serta-merta jatuh dari langit dan mengenai kepala kita di saat tertidur di malam hari. Apalagi berharap, ketika kita bangun, kita sudah berada di lokasi wisata yang diidamkan. Buang jauh-jauh pikiran itu. Bila masih muncul sedikit saja, tendang sampai kutub utara…!!

Kini, ketika sudah bekerja, keinginan itu muncul lagi. Mencuat seperti jamur yang tumbuh tiba-tiba di pekarangan rumah. Masalah finansial mungkin sudah bisa sedikit teratasi. Hanya tinggal mengalkulasi pendapatan tiap bulan yang dikurangi dengan pajak penghasilan, pinjaman, biaya kost, biaya pulsa dan biaya pokok lainnya, kemudian menguranginya lagi dengan biaya rekreasi ke sungai Pekalen, setelah itu didapat sisa uang. Sisa uang inilah yang berfungsi sebagai cerminan jumlah hari yang digunakan untuk berpuasa dalam bulan ini. Sungguh perhitungan yang matematis-dramatis. Akan tetapi, bukan itu masalah utamanya. Masalah yang lebih penting lagi adalah ketersediaan waktu luang untuk melakukan aktivitas tersebut. Kesibukan kerja saat ini memang cukup menyita waktu. Oleh karena itu, harus dicari waktu yang benar-benar tepat untuk melakukan aktivitas rekreasi. Sungguh bukan bermaksud untuk sombong, tetapi aku ingin mengatakan bahwa uang bisa dicari, tetapi waktu tak dapat kembali. Maka dari itu, sungguh berharganya waktu ini apabila kita bisa menikmatinya bersama orang-orang yang kita sayangi, bersama keluarga atau teman-teman yang dekat di hati. Dan beruntung sekali, aku memiliki teman-teman yang sangat menyukai kegiatan jalan-jalan sambil menikmati keindahan alam.

Setelah beberapa bulan melakukan bincang-bincang secara langsung, maupun komunikasi via sms dan jejaring sosial, akhirnya diputuskan tanggal keberangkatan ke sungai Pekalen adalah 8 Agustus 2010. Memang tidak semua teman yang ingin ikut, bisa ikut. Namun, menunggu mereka pulang dari Jakarta dan Kalimantan pasti membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Akhirnya, beranggotakan tujuh pasukan, kami berangkat menuju Pekalen.

Sabtu malam, kami bertujuh telah berkumpul di Keputih gang makam, blok E, no. 22, Surabaya. Sebuah mobil kijang telah siap di depan pagar. Itu tandanya, Mushlik dan Wawan telah berhasil memindahkannya dari pelataran parkir wisma SIER. Pukul 19.30, kami telah berkumpul semua, berdoa bersama, dan bersiap untuk perjalanan yang mengasyikkan ini. Walaupun sempat tertunda beberapa menit karena ternyata Wawan agak kesusahan mengoperasikan mobil ini, tapi semuanya bisa teratasi berkat pengetahuan perbengkelan Syafi dan Daus, serta Kakang yang mengambil selang, entah untuk apa. Kami pun siap berangkat. Posisi supir tentu saja diisi oleh Wawan yang didampingi seorang navigator bernama Daus. Di posisi tengah ada aku, Syafi yang kondisinya belum sembuh betul, dan Kakang yang terus-menerus mengingatkan pentingnya keselamatan mengemudi. Di posisi belakang, ada Anto dan Dani yang semakin akur saja setelah sekian lama tidak bertemu. Bila kita cermati dengan seksama, perpaduan kedua badan mereka nyaris menyerupai angka sepuluh. To..To..jangan lupa olahraga!! Probolinggo, here we come…!!!


Tujuan pertama malam ini adalah rumah Syafi, tempat dimana kita akan beristirahat sejenak sebelum menuju Pekalen besok paginya. Surabaya – Porong – Pasuruan berhasil kami lewati, tentunya melalui jalur alternatif karena kita tidak memiliki banyak waktu untuk menikmati keindahan panorama lumpur Lapindo pada malam hari. Setelah menghabisan 3,5 jam perjalanan, kita semua sampai di jalan Citarum, Probolinggo, dan langsung disambut ramah oleh ibunda Syafi. Ternyata tidak hanya sambutan ramah, tetapi sepiring nasi, ayam kecap, tempe dan tahu penyet, rempeyek, dan tumis wortel membuat kebahagiaan hati dan perutku semakin sinergis saja. Setelah mengobrol santai sambil makan malam, kami pun bergegas tidur di lantai dua, mempersiapkan diri untuk bertemu matahari besok pagi.

Dan pagi pun begitu cepat datang, lebih cepat dibandingkan perkiraan kedua mataku, tetapi tidak bagi Wawan yang telah terbangun semenjak jam 3 subuh dan kebingungan mencari kamar mandi. Kami semua mandi bergiliran, kemudian beribadah, dan langsung menuju ruang tengah, bukan untuk menonton televisi, tetapi untuk makan (lagi). Menu sarapan hari ini adalah ayam goreng, tempe dan tahu penyet, sop, kerupuk upil, dan rempeyek…tentu saja. Beruntung sekali pak Ustad (baca: Syafi) dilahirkan dari rahim seorang ibu yang begitu baik. Seorang ibu yang mengingatkan kami bahwa, “Sing telaten, bakal panen”. Sungguh nasehat yang bermakna dalam. Beliau juga sempat bertutur, “Siapapun yang mencari, akan menemukan”. Setelah saling pandang dan saling ejek, kami pun mohon pamit untuk melanjutkan perjalanan yang tinggal beberapa menit saja…


(bersambung..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar