Rabu, 19 Januari 2011

Anak Kecil, Kau Membuatku Iri…


Beberapa tahun silam, ketika aku masih berusia sekitar lima tahun, aku ingin sekali menjadi orang “dewasa”. Bagiku saat itu, orang dewasa adalah sosok yang memiliki banyak sekali kebebasan yang tidak dimiliki seorang bocah ingusan. Orang-orang dewasa bisa membeli semua yang mereka inginkan, mereka bisa membeli banyak permen, membeli banyak balon, membeli beragam makanan ringan, jalan-alan sesuka hati, berkeliling kota dengan motor dan mobil, dan yang lebih mengesalkan lagi, orang dewasa bisa mengacak-ngacak rambut seorang anak kecil sepertiku sambil berbicara, “Nanti kalau sudah besar ya, Nak!” Di usiaku yang masih dini itu, aku banyak mengalami tekanan. Tekanan yang kuciptakan sendiri berdasarkan reaksi yang unik antara rasa iri dan dengki kepada orang dewasa ditambah dengan ketidakmampuanku memutar waktu agar berjalan lebih cepat.

Mau tidak mau, waktupun terus berjalan. Kadang cepat, kadang lambat, kadangkala seperti berhenti beberapa saat. Namun, itu jelas hanya perasaanku. Di dunia ini, tidak ada yang lebih konsisten dan angkuh dibanding waktu. Sampai akhirnya, waktu jualah yang mengantarkanku pada masa ini. Masa dimana keinginanku bertahun-tahun yang lalu telah terwujud. Aku telah menjadi orang “dewasa” atau orang yang lebih tua dibandingkan saat aku memiliki keinginan ini. Aku memang sengaja memberi tanda kutip pada kata dewasa untuk sekedar membatasi definisinya saja. Hal ini memang sengaja aku perjelas karena konteks dewasa yang sesungguhnya tentu tidak hanya sekedar menjadi lebih tua atau memiliki tubuh yang lebih besar, mobil yang bagus, rumah yang mewah, pakaian kantor yang rapi, atau bahkan memiliki kumis dan jenggot yang lebat. Makna dewasa tentunya lebih mengacu kepada konteks sikap dan sifat manusia yang melibatkan perpaduan yang khas antara logika dan perasaan. Dan untuk hal ini, setiap orang memiliki definisi tersendiri yang unik.

Setelah menyadari bahwa aku telah berada pada satu masa dimana keinginanku yang terpendam beberapa tahun lalu terwujud, tidak lupa aku mengucap syukur pada Sang Penguasa Waktu yang mengijinkan hamba-Nya ini mencapai keinginannya. Memang menyenangkan saat ini. Aku bisa membeli permen dengan uangku sendiri tanpa harus menarik baju Ibunda beberapa kali sambil menangis karena tidak memiliki uang di kantong. Aku pun tidak perlu memberat-beratkan badanku sendiri ketika Ayahnda ingin menggedongku dan mengajakku pulang ke rumah ketika aku sedang bermain pasir di pantai. Aku juga tidak perlu khawatir Nenek akan berkata, “Ayo, bobo dulu, sekarang sudah malam!”. Apalagi Kakek, aku yakin beliau tidak akan lagi mengatakan, “Jangan lupa cuci tangannya dulu sebelum makan.” Keinginanku terwujud, “kebebasan” itu tercapai.

Seiring berjalannya waktu, keinginan pun bertumbuh, kebutuhan bertambah. Kedewasaan tumbuh mesra bersama tanggung jawab. Ini tidak bisa disangkal lagi. Aku jadi teringat kata-kata seseorang dalam film spiderman, “Ketika kekuatan bertambah, tanggung jawab juga bertambah.” Bertambahnya tanggung jawab inilah yang mengantarkan kita pada satu aktivitas yang dinamakan bekerja. Dengan bekerja, kita dapat memberikan manfaat bagi orang lain, meningkatkan nilai dari sesuatu, dan juga meningkatkan kualitas diri. Akhirnya, pikiran, waktu, dan tenaga tercurahkan untuk proses bekerja ini, tapi tentu saja tidak seluruhnya. Disela-sela waktu luang itulah aku seringkali bertemu dengan sosok anak-anak kecil. Mereka berlari, bernyanyi, melompat-lompat, menangis, berteriak, tertawa, bergelantungan, dan memutar-mutar tubuh mereka sesuka hatinya. Satu kata untuk mereka….aku iri! Itu saja!

Ingin juga rasanya bisa ‘sebebas mereka’. Tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut, berteriak dengan keras tanpa mempedulikan orang-orang sekitar, melompat-lompat kegirangan sampai capek, bernyanyi lagu apa saja tanpa memperdulikan harmonisasi, bermain hujan sambil berlari-lari kecil, sungguh aktivitas yang amat menyenangkan, seolah tanpa batas. Aku menginginkan hal-hal itu kembali. Keinginan yang sebenarnya sudah tercapai beberapa tahun silam disaat aku menginginkan menjadi dewasa dan lebih bebas. Disaat aku menganggap kebebasan adalah melakukan banyak hal dengan uang, kemudian dapat membeli banyak barang yang aku inginkan. Namun, kini aku melihat kebebasan dengan wajah yang lain, yang terpancar dari wajah polos anak-anak kecil yang mungkin saja memiliki impian besar. Milikilah ‘mimpi besar’, walaupun ‘tubuhmu masih kecil’. Itu lebih baik dibandingkan memiliki ‘tubuh yang besar’, tapi ‘bermimpi kecil’ atau bahkan ‘tidak memiliki mimpi apapun’.

Terimakasih ‘anak-anak’ kecil! Kalian telah berhasil membuatku iri. Bermainlah, bermimpilah, dan bertanggungjawablah terhadap mimpi itu. Itu saja.

Gresik, 19 Januari 2011

1 komentar: