Kamis, 11 Februari 2010

Dari mana?


Dari mana adalah sebuah pertanyaan yang kadangkala membingungkan, ambigu, dan terkesan basa-basi. Namun, pertanyaan ini hampir selalu ditanyakan pada sebuah pertemuan awal dengan seseorang dan merupakan wujud keingintahuan kita tentang aktivitas seseorang. Bila hanya dua kata ini saja yang diucapkan, tentu akan menimbulkan beragam jawaban. Seseorang yang begitu menghormati ibunya pasti akan menjawab dengan begitu polosnya, “dari rahim seorang ibu”. Seorang putra daerah dengan bangga menjawab “dari Jakarte, kalo lo dari mane?”. Seseorang yang baru saja selesai mencuci tangan akan menjawab “dari belakang”. Seseorang yang belum sarapan akan menjawab “dari tadi tau!!” Seorang nasionalis akan menjawab “dari Sabang sampai Merauke”. Seorang pujangga akan berpuisi “dari hati yang penuh cinta”. Seorang musisi akan berdendang “dari kunci C ke F”. Seorang penggila bola akan menjawab dengan semangat, “dari kotak penalti”. Dan seorang gadis cantik yang sedang digoda pengamen terminal akan menjawab dengan judesnya, “mau tau aja!”
Pertanyaan sesederhana itu bisa menimbulkan respon yang beragam. Sungguh mengesankan. Belum lagi bila dikombinasikan dengan kata lain sehingga terbentuk pertanyaan seperti ini, “aslinya dari mana, Mas?” Ini adalah satu pertanyaan yang cukup lucu. Bagiku, bila ada sesuatu yang dikatakan asli, pasti ada sesuatu yang lain yang berstatus tidak asli atau palsu. Untung saja tidak ada orang iseng yang bertanya, “palsunya dari mana, Mas?” Ada juga pertanyaan filosofis yang menuntut pikiran kita bergerak ke wilayah filsafat seperti, “asalnya dari mana, Pak?” Bila berbicara masalah asal-usul, apalagi manusia, hanya beberapa ahli teologi dan saintis yang dapat memberikan gambaran, bukan orang awam yang tidak menyukai pelajaran sejarah sama sekali.
Banyak sekali hal-hal dalam kehidupan kita yang dibahasakan secara tidak tepat, baik dari segi tata bahasa maupun maknanya. Namun, kita harus menyadari bahwa komunikasi itu dijalin bukan untuk saling menyakiti. Ada komunikasi yang baik, ada juga komunikasi yang benar. Baik berarti mampu dipahami oleh masing-masing pembicara, walaupun dari segi struktur bahasanya tidak sesuai dengan kaidah. Benar berarti sesuai dengan kaidah bahasa yang telah ada, namun seringkali menyebabkan suasana perbincangan menjadi kaku, sehingga menimbulkan kecanggungan. Oleh karena itu, kita diharapkan mampu mengetahui kapan waktu yang tepat untuk berbicara secara baik, kapan juga waktu yang tepat untuk menggunakan kata-kata yang baku atau resmi. Selain itu, kita juga harus tahu dimana dan dengan siapa kita berbicara. Tidak mungkin seorang sarjana ekonomi yang baru selesai makan di sebuah warung bertanya kepada penjual, “berapa biaya konsumsi yang harus saya keluarkan untuk pecel yang tadi saya makan, Bu?” Atau sangat jarang ditemukan ahli kimia yang berkata, “Bu, saya pesan air bening ya” pada saat makan malam di sebuah warung tenda. Cukup dengan mengatakan “air putih”, maka segelas “air bening” pun datang. Pertanyaan dan permintaan seperti itu tentu tidak salah secara makna, namun kurang tepat dari segi pemilihan tempat dan waktu.
Kadangkala kita ingin menjalani hidup ini dengan santai saja, berbicara apa adanya tanpa ada batasan-batasan tertentu, tertawa lepas tanpa ada yang merasa terganggu, berpakaian yang nyaman tanpa ada yang mencibir, bernyanyi tanpa ada yang menghujat suara kita, bercanda tanpa ada seorang pun yang menanggapinya serius, dan tidur dengan nyaman tanpa ada keributan. Itulah pentingnya kita berada di tempat dan waktu yang tepat. Bulan tidak akan secara egois menggeser posisi matahari pada pagi hari. Begitupun matahari yang tentu saja enggan bersinar di malam hari. Semua ada waktunya. Elang tentu akan kesusahan untuk berenang seperti bebek. Bebek pun tidak akan sanggup terbang di udara seperti elang. Semua memiliki tempat hidup masing-masing. Bahkan, membuang sampah pun tidak boleh di sembarang tempat. Mungkin kita mampu membuang bungkus permen yang kecil itu pada sebuah tempat yang bernama tong sampah, tapi kita belum mampu menahan diri untuk tidak mencaci, menghujat, dan berkata-kata kasar di depan orang lain. Cacian, hujatan, dan kata-kata kasar juga termasuk sampah, perlu dibuang di tempat yang tepat, bukan di gedung-gedung resmi seperti gedung DPR atau ruang pengadilan.
Hidup kita terlalu singkat untuk dilalui bersama pilihan tempat dan waktu yang salah. Oleh karena itu, renungkanlah kembali, sudah tepatkah tempat yang kita pilih saat ini, benarkah ini kendaraan yang tepat untuk semua mimpi kita, atau mungkinkan hanya waktu yang dapat menjawab semuanya. Bila masih ragu akan jawaban dari semua pertanyaan itu, belajarlah dengan nyaman di kampus atau sekolah saat ini, bekerjalah dengan penuh semangat di tempat kerja sekarang, dan cintai keluarga. Itu saja. Waktu akan memberi makna akan semua pilihan kita. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar