Senin, 15 Februari 2010

Aku, DR 6830 AL, dan Lalu Lintas


Sebagai seorang yang senang jalan-jalan, aku sangat akrab dengan jalan raya dan segala aturannya. Mulai dari jalan yang mulus tanpa lubang, sampai jalan berbatu-batu yang terjal pernah aku lewati bersama DR 6830 AL. Motor supra kesayanganku ini dengan setia menemani hari-hariku dalam suka dan duka selama kurang lebih 8 tahun. Beragam kecelakaan, pertemuan dengan polisi dan surat-surat tilangnya, dan pertemuan dengan orang-orang dari daerah yang baru semakin mempererat hubungan kekeluargaan diantara kami. Tiga masa telah kami lalui bersama, yaitu masa sekolah, masa kuliah, dan saat ini - masa kerja. Penuh dengan petualangan dan menambah pengalaman.

Melintasi jalan raya, kita pasti pernah melihat lampu lalu lintas yang berwarna merah, kuning, dan hijau itu. Lampu tersebut dibuat dan dipasang dengan begitu baiknya disertai juga dengan penghitung waktu mundur untuk memberikan “efek kepastian” bagi pengendara, kapan waktu yang tepat untuk melaju dan berhenti. Namun, tetap saja ada pengendara yang tidak mampu membaca makna warna-warna yang indah itu. Buta warna jangan dijadikan alasan. Aku pernah berbicara dengan seseorang yang buta warna. Dia berkata, “Aku memang tidak bisa membedakan warna merah dan hijau, tapi aku bisa membedakan atas dan bawah. Bila lampu atas yang menyala, aku berhenti dan bila lampu bawah yang menyala, aku pun melaju.” Bila semua orang mampu memberi apresiasi yang baik pada isyarat warna lampu ini, aku pikir polisi tidak perlu lagi berdiri pada pagi hari di samping lampu lalu lintas untuk mengatur kendaraan yang akan berhenti atau melaju. Sudah ada aturan, tidak perlu ditambah aturan sejenis dengan gaya yang berbeda. Polisi cukup berdiri sambil bersiap menghadang para pelanggar lalu lintas sambil tersenyum ramah kepada pengendara yang patuh aturan. Senyummu begitu berarti. Kecuali, bila terjadi mati listrik dan lampu lalu lintas tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Namun, aku yakin dengan adanya Dirut PLN yang baru akan banyak perbaikan yang berarti.

Menunggu lampu merah yang akan berganti lampu kuning, kemudian hijau, memang terkadang membosankan. Nyala lampu merah tersebut pun bervariasi waktunya tergantung pada besar jalan dan banyaknya persimpangan. Ada yang setengah menit, 1 menit, bahkan aku pernah menunggu lebih dari 100 detik. Jangan bengong karena orang yang ada di belakang kendaraan kita sudah siap dengan klaksonnya. Berbicara mengenai klakson, aku punya beberapa tafsiran dalam bahasa manusianya. Makna klakson dibedakan berdasarkan panjang-pendeknya bunyi. Bunyi klakson yang pendek bisa berarti : “Permisi Mas, saya duluan ya!”, “Maaf, lampunya sudah hijau, waktunya melaju!”, “Jangan melintas dulu ya, Pak!”, “Halo cewek cantik!”, “Woi Bro, kita beli motor di kota yang sama!”, “Permisi, semoga saudara-saudara tenang di alam sana!”, dan “Permisi, saya ijin melintasi jembatan ini!” Bunyi klakson panjang bisa berarti : “Hei, matamu dimana?!! Lampunya udah ijo!!”, “Woi minggir, mau lewat nih!!”, “Jangan taruh motor di tengah jalan! Emang ini jalan bapakmu!!”, “Roti…roti…roti!”, “Sayurnya, Bu!”, “Arek-arek Suroboyo, saiki persebaya tanding!”, “Halo semuanya, hari ini Slank konser! Peace!!” dan “Akhirnya aku lulus UNAS!”.

Sambil menunggu lampu merah, kita pasti pernah membaca tulisan “daerah rawan kecelakaan” atau “disini sering terjadi kecelakaan” atau “disini lokasi bus terbakar”. Menurutku, kalimat-kalimat negatif seperti tidak perlu ditulis pada sebuah papan besar yang memberikan efek ketakutan pada pengendara. Ganti saja dengan yang lebih memotivasi, seperti “hati-hati pangkal selamat” atau “berkendaralah dengan hati-hati karena keluarga tercinta menunggu di rumah” atau “patuhi aturan lalu lintas agar selamat sampai tujuan, terima kasih” atau bisa juga “jangan lupa berdoa dalam perjalanan agar selamat sampai tujuan”. Para pengendara tidak perlu ditakut-takuti dengan kecelakaan-kecelakaan, perbaiki saja jalan-jalan yang berlubang besar dan tidak rata itu.

Mungkin sekian yang dapat aku bagi. Aturan lalu lintas dibuat untuk dipatuhi seluruh pengendara kendaraan kecuali ambulan dan motor serta mobil pengiring pejabat yang melintasi jalan raya. Semoga bermanfaat.

Kamis, 11 Februari 2010

Dari mana?


Dari mana adalah sebuah pertanyaan yang kadangkala membingungkan, ambigu, dan terkesan basa-basi. Namun, pertanyaan ini hampir selalu ditanyakan pada sebuah pertemuan awal dengan seseorang dan merupakan wujud keingintahuan kita tentang aktivitas seseorang. Bila hanya dua kata ini saja yang diucapkan, tentu akan menimbulkan beragam jawaban. Seseorang yang begitu menghormati ibunya pasti akan menjawab dengan begitu polosnya, “dari rahim seorang ibu”. Seorang putra daerah dengan bangga menjawab “dari Jakarte, kalo lo dari mane?”. Seseorang yang baru saja selesai mencuci tangan akan menjawab “dari belakang”. Seseorang yang belum sarapan akan menjawab “dari tadi tau!!” Seorang nasionalis akan menjawab “dari Sabang sampai Merauke”. Seorang pujangga akan berpuisi “dari hati yang penuh cinta”. Seorang musisi akan berdendang “dari kunci C ke F”. Seorang penggila bola akan menjawab dengan semangat, “dari kotak penalti”. Dan seorang gadis cantik yang sedang digoda pengamen terminal akan menjawab dengan judesnya, “mau tau aja!”
Pertanyaan sesederhana itu bisa menimbulkan respon yang beragam. Sungguh mengesankan. Belum lagi bila dikombinasikan dengan kata lain sehingga terbentuk pertanyaan seperti ini, “aslinya dari mana, Mas?” Ini adalah satu pertanyaan yang cukup lucu. Bagiku, bila ada sesuatu yang dikatakan asli, pasti ada sesuatu yang lain yang berstatus tidak asli atau palsu. Untung saja tidak ada orang iseng yang bertanya, “palsunya dari mana, Mas?” Ada juga pertanyaan filosofis yang menuntut pikiran kita bergerak ke wilayah filsafat seperti, “asalnya dari mana, Pak?” Bila berbicara masalah asal-usul, apalagi manusia, hanya beberapa ahli teologi dan saintis yang dapat memberikan gambaran, bukan orang awam yang tidak menyukai pelajaran sejarah sama sekali.
Banyak sekali hal-hal dalam kehidupan kita yang dibahasakan secara tidak tepat, baik dari segi tata bahasa maupun maknanya. Namun, kita harus menyadari bahwa komunikasi itu dijalin bukan untuk saling menyakiti. Ada komunikasi yang baik, ada juga komunikasi yang benar. Baik berarti mampu dipahami oleh masing-masing pembicara, walaupun dari segi struktur bahasanya tidak sesuai dengan kaidah. Benar berarti sesuai dengan kaidah bahasa yang telah ada, namun seringkali menyebabkan suasana perbincangan menjadi kaku, sehingga menimbulkan kecanggungan. Oleh karena itu, kita diharapkan mampu mengetahui kapan waktu yang tepat untuk berbicara secara baik, kapan juga waktu yang tepat untuk menggunakan kata-kata yang baku atau resmi. Selain itu, kita juga harus tahu dimana dan dengan siapa kita berbicara. Tidak mungkin seorang sarjana ekonomi yang baru selesai makan di sebuah warung bertanya kepada penjual, “berapa biaya konsumsi yang harus saya keluarkan untuk pecel yang tadi saya makan, Bu?” Atau sangat jarang ditemukan ahli kimia yang berkata, “Bu, saya pesan air bening ya” pada saat makan malam di sebuah warung tenda. Cukup dengan mengatakan “air putih”, maka segelas “air bening” pun datang. Pertanyaan dan permintaan seperti itu tentu tidak salah secara makna, namun kurang tepat dari segi pemilihan tempat dan waktu.
Kadangkala kita ingin menjalani hidup ini dengan santai saja, berbicara apa adanya tanpa ada batasan-batasan tertentu, tertawa lepas tanpa ada yang merasa terganggu, berpakaian yang nyaman tanpa ada yang mencibir, bernyanyi tanpa ada yang menghujat suara kita, bercanda tanpa ada seorang pun yang menanggapinya serius, dan tidur dengan nyaman tanpa ada keributan. Itulah pentingnya kita berada di tempat dan waktu yang tepat. Bulan tidak akan secara egois menggeser posisi matahari pada pagi hari. Begitupun matahari yang tentu saja enggan bersinar di malam hari. Semua ada waktunya. Elang tentu akan kesusahan untuk berenang seperti bebek. Bebek pun tidak akan sanggup terbang di udara seperti elang. Semua memiliki tempat hidup masing-masing. Bahkan, membuang sampah pun tidak boleh di sembarang tempat. Mungkin kita mampu membuang bungkus permen yang kecil itu pada sebuah tempat yang bernama tong sampah, tapi kita belum mampu menahan diri untuk tidak mencaci, menghujat, dan berkata-kata kasar di depan orang lain. Cacian, hujatan, dan kata-kata kasar juga termasuk sampah, perlu dibuang di tempat yang tepat, bukan di gedung-gedung resmi seperti gedung DPR atau ruang pengadilan.
Hidup kita terlalu singkat untuk dilalui bersama pilihan tempat dan waktu yang salah. Oleh karena itu, renungkanlah kembali, sudah tepatkah tempat yang kita pilih saat ini, benarkah ini kendaraan yang tepat untuk semua mimpi kita, atau mungkinkan hanya waktu yang dapat menjawab semuanya. Bila masih ragu akan jawaban dari semua pertanyaan itu, belajarlah dengan nyaman di kampus atau sekolah saat ini, bekerjalah dengan penuh semangat di tempat kerja sekarang, dan cintai keluarga. Itu saja. Waktu akan memberi makna akan semua pilihan kita. Semoga bermanfaat.

Rabu, 03 Februari 2010

Catatan Pada Suatu Pagi..


Pagi ini, langit mulai menampakkan kemegahannya, mempersiapkan diri untuk kehadiran mentari. Aku dapat melihatnya. Syukur mataku tidak buta, ya Tuhan. Kicau burung mulai terdengar bersahut-sahutan, entah sedang bernyanyi atau bercerita. Aku dapat mendengarnya. Syukur telingaku tidak tuli, ya Tuhan. Udara pagi yang kuhirup benar-benar menyejukkan ragaku. Aku pun dapat merasakannya. Syukur hidungku tidak tersumbat, ya Tuhan. Sambutan alam yang begitu indah. Semuanya begitu nyata. Dapat kupandangi, kudengar, dan kurasakan.

Perlahan-lahan, cahaya mentari menerobos masuk melalui kaca jendela kamarku. Debu-debu yang berterbangan pun mulai nampak. Terasa begitu hangat cahaya itu saat mengenai kulitku. Ah, lagi-lagi harus kuakui bahwa ini nyata. Aku hidup. Aku hadir dalam kehidupan ini. Hari ini, bukan kemarin, apalagi besok. Dan nafas adalah satu-satunya hal yang menyadarkanku bahwa aku hidup di hari ini. Menyadarkanku dari lamunan, mimpi, dan khayalan yang entah kapan bisa terwujud. Setiap hirupan dan hembusannya seharusnya menjadi satu bukti kehadiran segenap pikiran dan tenaga kita yang utuh. Terkadang pikiran berkelana menembus batas ruang dan waktu. Melupakan hari ini dan menyisakan raga yang lemah tak berdaya seolah tak mampu digunakan untuk menjalani hari yang nyata ini. Kawan, bawa kembali pikiran itu, bernafaslah dengan tenang karena cara terbaik menghargai hari ini yaitu dengan menghargai nafas.

Tidak ingin terlena lebih lama lagi di tempat tidur, aku pun bergegas menuju kamar mandi. Membersihkan diri, dengan air tentunya. Seandainya air bisa membersihkan semua penat, lelah, gundah, curiga, dendam, dan amarahku, mungkin aku akan menghabiskan waktu yang lama di kamar mandi. Namun, percuma saja, air tak mampu melakukannya. Perlahan, aku pun kembali ke kamar. Mengenakan pakaian senyaman mungkin dan mulai mengarahkan pikiran kepada Sang Energi Tertinggi. Terkadang terasa getaran-getaran halus dalam diri, terkadang hilang begitu saja. Begitu damai…terasa ringan. Lepas sudah semua penat dan gundah itu. Terima kasih, ya Tuhan. Engkau hadirkan aku di dunia untuk bisa menyadari keberadaan-Mu melalui semua isyarat ini. Sungguh Maha Romantis. Engkau menampakkan kebesaran-Mu melebihi kemampuanku memandang semesta. Sungguh Maha Besar. Dan Engkau sentuh hati yang kotor ini dengan begitu lembutnya, wahai Sang Penyentuh Hati. Engkau membuatku tidak memiliki alasan untuk tidak mensyukuri semua nikmat ini.

Setelah seluruh raga terisi penuh dengan motivasi, barulah aku mulai sarapan dan bergegas untuk bekerja. Jalanan cukup ramai pagi hari. Pengedara motor dan mobil saling salip, bukan untuk menunjukkan siapa yang terbaik, hanya tidak ingin terlambat sampai tujuan. Ada yang harus menuju kantor, ada yang harus sekolah dan kuliah, ada yang harus bergegas ke pasar, dan ada juga yang baru pulang setelah mendapat giliran kerja malam. Mereka sekolah dan kuliah untuk bisa meningkatkan kualitas diri, sehingga berguna bagi keluarga, bangsa, dan Negara. Mereka bekerja untuk memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga dan orang-orang terkasih. Sungguh mulia. Semua orang ingin berarti. Dan inilah mengapa kita harus tanamkan bahwa bukan seberapa besar tempat dimana kita hidup sekarang, tapi seberapa besar manfaat yang bisa kita berikan di dalamnya.

Banyak hal yang tersirat di pagi ini. Masih banyak juga isyarat yang menunggu untuk diberi makna, oleh pikiran dan hati kita. Biarkan cerahnya pagi ini bersemayam dalam hati, membungkus semua mimpi, dan memberikan inspirasi serta motivasi. Semoga bermanfaat.

selsurya.blogspot.com, pada suatu pagi…