Selasa, 27 April 2010

Serangan ke Sarangan (Part 2)

Mojokerto – Jombang – Nganjuk – Caruban – Madiun kami lewati dengan mulus. Memang ada beberapa kesalahan komunikasi, tapi bisa kami atasi, dengan senyuman, tawa, dan sumpah serapah. Tepat pukul 13.00 WIB kami semua sampai di sebuah tempat bernama Kosala Tirta. Tempat ini cukup ramai dikunjungi keluarga yang sedang menikmati liburan akhir pekan sambil duduk santai di atas tikar. Kami pun tidak ingin ketinggalan. Di atas tikar berwarna biru, kami duduk rapi membentuk lingkaran tak beraturan sambil menunggu bakso dan mie ayam yang telah dipesan sebagai menu makan siang. Syukur keadaan Gendut masih prima siang ini. Setidaknya lambungnya masih memiliki waktu toleransi 1 jam dari jam makan siang biasanya.


Berselang beberapa menit, bakso dan mie ayam telah siap untuk disantap. Ada kecap, saos, dan juga kerupuk sebagai penambah rasa dan menu pelengkap. Semua makan dengan lahapnya. Semilir angin membawa kesejukan bagi peluh selama perjalanan. Rindangnya pepohonan melindungi kami semua dari serangan sinar ultraviolet A, B, dan C. Sesekali kami pun bercanda agar nuansa istirahat ini begitu meyenangkan. Selalu ada sindiran dan ejekan halus yang terlontar, namun tak pernah berhasil menembus hati. Ditangkap oleh mata dan telinga, kemudian dilepaskan melalui mulut dalam bentuk tawa. Harus kuakui bahwa keberadaan air mineral sangat penting pada saat seperti ini. Saat satu mulut melakukan lebih dari satu aktivitas secara simultan, yaitu makan dan tertawa.

Setelah urusan perut dan administrasi selesai, kami pun melanjutkan perjalanan yang hanya tinggal beberapa kilometer saja. Jalan yang kami lalui mulai menanjak. Hal ini tentu saja menguras konsentrasi supir. Para penumpang hanya bisa berdoa yang terbaik agar perjalanan berlangsung lancar. Berselang beberapa kilometer dari tempat makan siang, kami singgah di salah satu Mesjid yang ada di Desa Baron. Teman-teman beribadah dengan khusyuk. Setelah selesai, kami melanjutkan perjalanan. Jalan makin menanjak. Itu menandakan bahwa kami telah dekat dengan tempat tujuan. Kaca mobil mulai dibuka, AC dimatikan, dan kami pun menikmati kesegaran udara dataran tinggi Magetan. Pemandangan yang begitu mengagumkan. Hamparan hijau sawah memberi kesegaran bagi mataku yang sekian lama hanya memandangi gedung-gedung tinggi dan arus lalu lintas yang jarang pernah lancar. Aku merasakan pesonamu, Indonesia.

Tepat pukul setengah tiga, kami telah sampai di objek wisata Telaga Sarangan. Objek Wisata yang menyajikan eksotisme panorama alam yang dipadu dengan kesegaran udara sekitar dan kejernihan air telaga, serta harumnya aroma durian. Benar-benar paket yang lengkap. Sambil berjalan santai mengitari telaga, banyak sekali kami temui pedagang baju, ukiran kayu, gantungan kunci, sayur-mayur, dan sate kelinci. Sesekali kami melihat beberapa orang yang tertawa kegirangan di atas speed boat yang melaju kencang mengitari telaga yang memiliki luas kurang lebih 30 hektar dan kedalaman 28 meter ini. Ada juga yang memilih menunggangi kuda sambil melihat-lihat daerah sekitar. Namun, semua hal itu tidak menyurutkan niat kami untuk selalu mencintai kesehatan dengan rajin berjalan kaki.



Setelah agak lelah berjalan kaki, kami mampir di salah satu warung yang menjual sate kelinci. Harga sate ini cukup murah, yaitu 6000 rupiah untuk sepuluh tusuk. Tidak menunggu waktu lamu, aku memesan 10 porsi sate kelinci, tentu saja dilengkapi dengan lontong. Kami duduk dengan santainya di atas tikar, tepat bersebelahan dengan tembok pembatas telaga. Sambil menunggu sate yang sedang dibakar, kami melakukan berbagai aktivitas. Ada yang saling memijat, ada yang berfoto-foto ria, ada yang rekaman video, ada yang membalas sms, ada yang merebahkan diri di atas tikar, dan ada juga yang sibuk mengetik status di facebook. Benar juga sebuah nasihat yang berbunyi, “Jangan pernah menyia-nyiakan waktu.”


Cukup lama waktu berselang, akhirnya sate yang ditunggu-tunggu hadir di hadapan. Setelah melalui proses perhitungan yang cukup rumit, ternyata sate yang tersaji di atas piring berjumlah 15 tusuk. Tentu saja harganya melebihi estimasi sebelumnya. Sungguh strategi penjualan yang dasyat. Atau mungkin sang penjual telah bisa membacanya dari raut muka kami yang sangat kelaparan dan doyan sekali makan, apalagi gratisan, sehingga memberikan porsi sate berlebih. Sungguh cerdas. Perlahan namun pasti, sate dan lontong berpindah tempat menuju perut kami, tentu saja tidak dengan tusuk satenya. Daging kelinci memiliki tekstur yang lebih lembut dibandingkan daging ayam. Rasa bumbunya begitu menyatu dengan rasa dagingnya. Ada pedasnya, manisnya, dan sedikti pahit karena makan sambil berhadapan dengan Kakang. Dan ada satu lagi sentuhan terakhir yang membuat rasa sate ini begitu sempurna. Satu penyelesaian yang begitu menentukan rasa, yaitu sate ini tidak menggunakan bahan pengurang isi dompet. Ini semua tidak terlepas dari jasa Gusti Ageng Abdul Manan yang begitu dermawan menyisihkan sebagian gajinya pada kami sore ini. Makasi Bang!!




Bersambung..

1 komentar: