Jumat, 30 April 2010

Serangan ke Sarangan (Part 3)

Setelah kenyang menikmati sate kelinci kami berencana melanjutkan perjalanan menuju air terjun Tirta Sari. Berdasarkan informasi penduduk sekitar, lokasi air terjun tersebut terletak sekitar 1,5 kilometer dari pintu masuk yang berada di seberang tempat kami berdiri saat itu. Bergegas kami pun kembali ke tempat parkir dan siap berpetualang kembali. Sesampainya di tempat parkir, yang letaknya di dekat Mushola, teman-teman tidak lupa menunaikan ibadahnya. Setelah ibadah selesai, ada satu ambisi lagi yang ingin dilakukan, yaitu memindahkan durian yang ada di dalam keranjang di pinggir jalan ke dalam perut kami masing-masing. Begitu mengetahui niat ini, langit langsung menangis sejadi-jadinya. Alhasil, kami pun masuk ke dalam mobil tanpa bisa merasakan manisnya durian yang sedari tadi memanggil-manggil mesra dengan aromanya. Ternyata langit tak menyukai orang yang terlalu banyak makan.

Mengetahui langit kurang bersahabat, kami pun agak ragu juga untuk melanjutkan perjalanan menuju lokasi air terjun. Namun, memang benar apa yang dikatakan Bang Haji, “Masa muda adalah masa yang berapi-api”. Dan kami pun tetap melanjutkan perjalanan menuju air terjun. Masalah hujan akan dipikirkan nanti setelah kami sampai di depan pintu masuk. Perjalanan kami lumayan menantang. Air hujan tak henti-hentinya menghujam mobil yang kami tumpangi. Jalanan makin lumer saja karena tidak beraspal. Ini anugerah yang tiada terkira. Kami bisa melihat telaga dalam dua keadaan hari ini, yaitu saat mentari bersinar begitu anggunnya dan ketika hujan meriakkan butir-butir air di dalamnya. Menantang, namun menyamankan.

Sesampainya di depan pintu masuk, hujan mulai mereda sampai akhirnya berhenti sama sekali. Namun, kami dikejutkan oleh curamnya jalan yang ada di hadapan. Kondisi ini tentu saja tidak baik bagi kesehatan mobil yang kami naiki. Akhirnya, mobil diparkir di sebelah loket masuk yang sudah tidak berpenjaga karena hari telah larut sore. Setelah itu, ada seseorang yang tiba-tiba datang menawarkan jasa antar-jemput dengan menggunakan sepeda motor. Biaya sekali antar menuju lokasi pemberhentian terakhir adalah 10 ribu. Jadi, bila dihitung dengan cermat, biaya pulang-pergi sampai akhirnya kami kembali ke tempat parkir mobil adalah 20 ribu. Bagi mahasiswa, uang ini bisa digunakan untuk makan bakso dan minum es teh sebanyak tiga kali. Mengetahui konversi seperti ini, kami pun urung menggunakan jasa antar yang ditawarkan. Namun, baru beberapa langkah kami berjalan, aku agak ragu seraya melihat langit yang berbiaskan warna kelabu. Belum lagi jam menunjukkan pukul 5 sore dan besok pagi adalah hari aktif kerja dan kuliah. Akhirnya, kami mencoba melakukan negosiasi dengan menggabungkan ilmu ekonomi, klimatologi, kesehatan, dan sedikit PPKn. Beberapa menit berselang, akhirnya disepakati bahwa biaya transportasi pulang pergi adalah 20 ribu, namun satu motor diisi 2 penumpang. Itu artinya 1 motor berisi 3 orang karena ditambah pengendara. Lima motor siap berangkat untuk mengantar 10 laskar ini.

Untung saja kami memutuskan untuk menggunakan jasa antar jemput, bila tidak tentu saja tenaga kami habis terkuras karena jalan yang dilalui begitu curam dan ada tanjakan yang begitu terjal. Setelah melewati beberapa rumah penduduk, akhirnya kami sampai di pintu gerbang pemberhentian terakhir kendaraan bermotor. Tidak berhenti sampai disini. Kami masih harus berhadapan dengan sawah ladang nan luas untuk sampai di lokasi air terjun. Setelah membayar biaya jasa antar, kami pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, dipandu oleh seorang penduduk setempat yang bernama pak Sabar. Berdasarkan informasi yang diberikan pak Sabar, letak air terjunnya masih sekitar 1 km lagi. Langkah demi langkah, sawah demi sawah, sungai demi sungai, tanjakan demi tanjakan, keringat demi keringat, umpatan demi umpatan, dan akhirnya kami sampai juga di lokasi air terjun. Untung saja fisik kami cukup terlatih. Satu pelajaran penting hari ini, yaitu : “Satu kilometernya orang desa lebih jauuuhhh dibandingkan satu kilometernya orang kota”.


Sesegera mungkin kami pun meminum beberapa teguk air terjun Tirta Sari karena, menurut pak Sabar, memiliki khasiat untuk menyembuhkan beberapa penyakit. Tidak peduli penyakit apa yang bisa disembuhkan, yang jelas kami sangat membutuhkan air itu untuk mengganti tetes-tetes keringat yang banyak jatuh dalam perjalanan tadi. Ternyata airnya sangat dingin dan menyegarkan. Di sekitar lokasi telah dibangun tangga, entah oleh siapa, sehingga kami bisa lebih dekat dengan bagian hulu air terjun. Cipratan demi cipratan air perlahan namun pasti telah membasahi pakaian kami, tapi tak masalah karena kami semua belum mandi. Belum sempat kulakukan perhitungan dengan memanfaatkan sudut elevasi untuk menentukan tinggi bagian hulu air terjun, langit sudah semakin gelap. Kami pun bergegas meninggalkan lokasi penuh kepuasan, penuh kebahagiaan.

Akhirnya, satu mimpi telah mewujudkan diri dengan cara yang terkadang sulit untuk dimengerti. Dan persahabatan telah membalutnya begitu sempurna dalam canda dan tawa. Terima kasih sahabat-sahabatku. Perjalanan kita belum berakhir dan yakinlah selalu ada cinta, bahkan dalam sebuah salak.


selsurya.blogspot.com, 30 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar