Sabtu, 15 Februari 2014

Hal Terpenting Tentang Ego State


Di Amerika Serikat, perpecahan yang mendalam berkembang antara orang-orang yang mendukung perang kedua di Irak dan mereka yang menentangnya. Akhirnya, argumen menentang perang menjadi meyakinkan, hampir secara mutlak. Sebagai percobaan, sekelompok pemilih pro-perang dimasukkan ke suatu ruangan dan dimintai menilai dukungan mereka pada skala 1-10. Mereka kemudian diberi ceramah tentang alasan menentang perang. Saat itu tahun 2008, lima tahun sejak berlangsungnya konflik Irak, dan terdapat segunung laporan objektif tentang isu-isu yang paling diperdebatkan, seperti senjata pemusnah massal, ancaman terorisme, korban sipil, dan sebagainya.

Para peneliti menyajikan posisi antiperang sefaktual mungkin, sengaja tidak memihak. Pada akhir ceramah, kelompok itu diminta menilai posisi pro-perang mereka untuk kedua kalinya pada skala 1-10. Hasilnya, mungkin mengejutkan kita, kelompok itu justru SEMAKIN PRO-PERANG. Alasannya bukan karena mereka tidak memercayai fakta antiperang. Mereka hanya TIDAK SUKA DIPERLIHATKAN KESALAHAN MEREKA.

Sama halnya, bagian-bagian diri kita yang merasa dimusuhi tidak akan berhenti. Bagian diri kita yang kita hakimi tidak akan berubah. Dia tidak memiliki motivasi untuk bekerja sama-bahkan sebaliknya. Apa pun yang kita musuhi bahkan akan menggali lebih dalam.

Sejak awal keseluruhan usaha untuk membuat perbedaan nyata antara diri yang lebih rendah dan lebih tinggi adalah kesia-siaan. Tidak ada bagian diri kita yang terpisah, serbabaik, dan serbabijak yang menang atau kalah. Kehidupan adalah satu aliran kesadaran. Tidak ada aspek diri kita yang terbuat dari hal lain. Ketakutan dan kemarahan terbuat dari kesadaran murni, sama halnya dengan cinta dan kasih sayang. Pada akhirnya, pelepasan tidak dicapai dengan mengutuk apa yang buruk pada diri sendiri dan membuangnya, melainkan dengan sebuah proses yang menyatukan kedua sisi berlawanan.

~Deepak Chopra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar