Jumat, 30 April 2010

Getar Hatiku


Getar hatiku…
Ketika melihatmu berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum
seraya menengadahkan tangan menghampiri setiap orang yang melintas
Getar hatiku…
Karena saat ini begitu dingin dan engkau tetap saja mengabaikan ragamu
yang menggigil
Getar hatiku…
Karena kecil kakimu itu tak lelahnya menyusuri setiap jalan
hanya untuk belas kasihan
Getar hatiku…
Karena tak dapat kutangkap dengan jelas keceriaan yang seharusnya dimiliki
seorang anak sepertimu dalam sorot mata yang sayu itu
Getar hatiku…
Karena tak kuat membayangkan betapa kebingungannya dirimu
bila tak memiliki apa-apa untuk ditukarkan dengan sebungkus nasi malam ini
Mengapa engkau hadirkan di depan mataku, ya Tuhan?
Apakah ingin Kau ingatkan aku tentang rasa syukur?
Ataukah ini teguran halusmu terhadapku yang selalu merasa bisa
tanpa pernah bisa merasa?
Mungkinkah ingin Kau kembalikan ingatanku kepada sosok seorang ibu
yang selalu memarahiku setiap malas belajar?
Benarkah Kau ingin aku ingat semua jasa ayahku hingga aku bisa sampai pada detik ini?
Cukup, bila Engkau ingin aku tahu bahwa Engkaulah satu-satunya
Sang Penguasa Takdir yang memberiku kewenangan untuk merubah nasibku sendiri
Maafkan aku, ya Tuhan…
Karena lebih sering mengingat-Mu dikala melihat kesedihan
dan lebih sering memanggil nama-Mu dikala berjumpa penderitaan
Aku menyerah dalam setiap kehendak-Mu

Gresik, 29 April 2010, 21.40 WIB

Serangan ke Sarangan (Part 3)

Setelah kenyang menikmati sate kelinci kami berencana melanjutkan perjalanan menuju air terjun Tirta Sari. Berdasarkan informasi penduduk sekitar, lokasi air terjun tersebut terletak sekitar 1,5 kilometer dari pintu masuk yang berada di seberang tempat kami berdiri saat itu. Bergegas kami pun kembali ke tempat parkir dan siap berpetualang kembali. Sesampainya di tempat parkir, yang letaknya di dekat Mushola, teman-teman tidak lupa menunaikan ibadahnya. Setelah ibadah selesai, ada satu ambisi lagi yang ingin dilakukan, yaitu memindahkan durian yang ada di dalam keranjang di pinggir jalan ke dalam perut kami masing-masing. Begitu mengetahui niat ini, langit langsung menangis sejadi-jadinya. Alhasil, kami pun masuk ke dalam mobil tanpa bisa merasakan manisnya durian yang sedari tadi memanggil-manggil mesra dengan aromanya. Ternyata langit tak menyukai orang yang terlalu banyak makan.

Mengetahui langit kurang bersahabat, kami pun agak ragu juga untuk melanjutkan perjalanan menuju lokasi air terjun. Namun, memang benar apa yang dikatakan Bang Haji, “Masa muda adalah masa yang berapi-api”. Dan kami pun tetap melanjutkan perjalanan menuju air terjun. Masalah hujan akan dipikirkan nanti setelah kami sampai di depan pintu masuk. Perjalanan kami lumayan menantang. Air hujan tak henti-hentinya menghujam mobil yang kami tumpangi. Jalanan makin lumer saja karena tidak beraspal. Ini anugerah yang tiada terkira. Kami bisa melihat telaga dalam dua keadaan hari ini, yaitu saat mentari bersinar begitu anggunnya dan ketika hujan meriakkan butir-butir air di dalamnya. Menantang, namun menyamankan.

Sesampainya di depan pintu masuk, hujan mulai mereda sampai akhirnya berhenti sama sekali. Namun, kami dikejutkan oleh curamnya jalan yang ada di hadapan. Kondisi ini tentu saja tidak baik bagi kesehatan mobil yang kami naiki. Akhirnya, mobil diparkir di sebelah loket masuk yang sudah tidak berpenjaga karena hari telah larut sore. Setelah itu, ada seseorang yang tiba-tiba datang menawarkan jasa antar-jemput dengan menggunakan sepeda motor. Biaya sekali antar menuju lokasi pemberhentian terakhir adalah 10 ribu. Jadi, bila dihitung dengan cermat, biaya pulang-pergi sampai akhirnya kami kembali ke tempat parkir mobil adalah 20 ribu. Bagi mahasiswa, uang ini bisa digunakan untuk makan bakso dan minum es teh sebanyak tiga kali. Mengetahui konversi seperti ini, kami pun urung menggunakan jasa antar yang ditawarkan. Namun, baru beberapa langkah kami berjalan, aku agak ragu seraya melihat langit yang berbiaskan warna kelabu. Belum lagi jam menunjukkan pukul 5 sore dan besok pagi adalah hari aktif kerja dan kuliah. Akhirnya, kami mencoba melakukan negosiasi dengan menggabungkan ilmu ekonomi, klimatologi, kesehatan, dan sedikit PPKn. Beberapa menit berselang, akhirnya disepakati bahwa biaya transportasi pulang pergi adalah 20 ribu, namun satu motor diisi 2 penumpang. Itu artinya 1 motor berisi 3 orang karena ditambah pengendara. Lima motor siap berangkat untuk mengantar 10 laskar ini.

Untung saja kami memutuskan untuk menggunakan jasa antar jemput, bila tidak tentu saja tenaga kami habis terkuras karena jalan yang dilalui begitu curam dan ada tanjakan yang begitu terjal. Setelah melewati beberapa rumah penduduk, akhirnya kami sampai di pintu gerbang pemberhentian terakhir kendaraan bermotor. Tidak berhenti sampai disini. Kami masih harus berhadapan dengan sawah ladang nan luas untuk sampai di lokasi air terjun. Setelah membayar biaya jasa antar, kami pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, dipandu oleh seorang penduduk setempat yang bernama pak Sabar. Berdasarkan informasi yang diberikan pak Sabar, letak air terjunnya masih sekitar 1 km lagi. Langkah demi langkah, sawah demi sawah, sungai demi sungai, tanjakan demi tanjakan, keringat demi keringat, umpatan demi umpatan, dan akhirnya kami sampai juga di lokasi air terjun. Untung saja fisik kami cukup terlatih. Satu pelajaran penting hari ini, yaitu : “Satu kilometernya orang desa lebih jauuuhhh dibandingkan satu kilometernya orang kota”.


Sesegera mungkin kami pun meminum beberapa teguk air terjun Tirta Sari karena, menurut pak Sabar, memiliki khasiat untuk menyembuhkan beberapa penyakit. Tidak peduli penyakit apa yang bisa disembuhkan, yang jelas kami sangat membutuhkan air itu untuk mengganti tetes-tetes keringat yang banyak jatuh dalam perjalanan tadi. Ternyata airnya sangat dingin dan menyegarkan. Di sekitar lokasi telah dibangun tangga, entah oleh siapa, sehingga kami bisa lebih dekat dengan bagian hulu air terjun. Cipratan demi cipratan air perlahan namun pasti telah membasahi pakaian kami, tapi tak masalah karena kami semua belum mandi. Belum sempat kulakukan perhitungan dengan memanfaatkan sudut elevasi untuk menentukan tinggi bagian hulu air terjun, langit sudah semakin gelap. Kami pun bergegas meninggalkan lokasi penuh kepuasan, penuh kebahagiaan.

Akhirnya, satu mimpi telah mewujudkan diri dengan cara yang terkadang sulit untuk dimengerti. Dan persahabatan telah membalutnya begitu sempurna dalam canda dan tawa. Terima kasih sahabat-sahabatku. Perjalanan kita belum berakhir dan yakinlah selalu ada cinta, bahkan dalam sebuah salak.


selsurya.blogspot.com, 30 April 2010

Selasa, 27 April 2010

Serangan ke Sarangan (Part 2)

Mojokerto – Jombang – Nganjuk – Caruban – Madiun kami lewati dengan mulus. Memang ada beberapa kesalahan komunikasi, tapi bisa kami atasi, dengan senyuman, tawa, dan sumpah serapah. Tepat pukul 13.00 WIB kami semua sampai di sebuah tempat bernama Kosala Tirta. Tempat ini cukup ramai dikunjungi keluarga yang sedang menikmati liburan akhir pekan sambil duduk santai di atas tikar. Kami pun tidak ingin ketinggalan. Di atas tikar berwarna biru, kami duduk rapi membentuk lingkaran tak beraturan sambil menunggu bakso dan mie ayam yang telah dipesan sebagai menu makan siang. Syukur keadaan Gendut masih prima siang ini. Setidaknya lambungnya masih memiliki waktu toleransi 1 jam dari jam makan siang biasanya.


Berselang beberapa menit, bakso dan mie ayam telah siap untuk disantap. Ada kecap, saos, dan juga kerupuk sebagai penambah rasa dan menu pelengkap. Semua makan dengan lahapnya. Semilir angin membawa kesejukan bagi peluh selama perjalanan. Rindangnya pepohonan melindungi kami semua dari serangan sinar ultraviolet A, B, dan C. Sesekali kami pun bercanda agar nuansa istirahat ini begitu meyenangkan. Selalu ada sindiran dan ejekan halus yang terlontar, namun tak pernah berhasil menembus hati. Ditangkap oleh mata dan telinga, kemudian dilepaskan melalui mulut dalam bentuk tawa. Harus kuakui bahwa keberadaan air mineral sangat penting pada saat seperti ini. Saat satu mulut melakukan lebih dari satu aktivitas secara simultan, yaitu makan dan tertawa.

Setelah urusan perut dan administrasi selesai, kami pun melanjutkan perjalanan yang hanya tinggal beberapa kilometer saja. Jalan yang kami lalui mulai menanjak. Hal ini tentu saja menguras konsentrasi supir. Para penumpang hanya bisa berdoa yang terbaik agar perjalanan berlangsung lancar. Berselang beberapa kilometer dari tempat makan siang, kami singgah di salah satu Mesjid yang ada di Desa Baron. Teman-teman beribadah dengan khusyuk. Setelah selesai, kami melanjutkan perjalanan. Jalan makin menanjak. Itu menandakan bahwa kami telah dekat dengan tempat tujuan. Kaca mobil mulai dibuka, AC dimatikan, dan kami pun menikmati kesegaran udara dataran tinggi Magetan. Pemandangan yang begitu mengagumkan. Hamparan hijau sawah memberi kesegaran bagi mataku yang sekian lama hanya memandangi gedung-gedung tinggi dan arus lalu lintas yang jarang pernah lancar. Aku merasakan pesonamu, Indonesia.

Tepat pukul setengah tiga, kami telah sampai di objek wisata Telaga Sarangan. Objek Wisata yang menyajikan eksotisme panorama alam yang dipadu dengan kesegaran udara sekitar dan kejernihan air telaga, serta harumnya aroma durian. Benar-benar paket yang lengkap. Sambil berjalan santai mengitari telaga, banyak sekali kami temui pedagang baju, ukiran kayu, gantungan kunci, sayur-mayur, dan sate kelinci. Sesekali kami melihat beberapa orang yang tertawa kegirangan di atas speed boat yang melaju kencang mengitari telaga yang memiliki luas kurang lebih 30 hektar dan kedalaman 28 meter ini. Ada juga yang memilih menunggangi kuda sambil melihat-lihat daerah sekitar. Namun, semua hal itu tidak menyurutkan niat kami untuk selalu mencintai kesehatan dengan rajin berjalan kaki.



Setelah agak lelah berjalan kaki, kami mampir di salah satu warung yang menjual sate kelinci. Harga sate ini cukup murah, yaitu 6000 rupiah untuk sepuluh tusuk. Tidak menunggu waktu lamu, aku memesan 10 porsi sate kelinci, tentu saja dilengkapi dengan lontong. Kami duduk dengan santainya di atas tikar, tepat bersebelahan dengan tembok pembatas telaga. Sambil menunggu sate yang sedang dibakar, kami melakukan berbagai aktivitas. Ada yang saling memijat, ada yang berfoto-foto ria, ada yang rekaman video, ada yang membalas sms, ada yang merebahkan diri di atas tikar, dan ada juga yang sibuk mengetik status di facebook. Benar juga sebuah nasihat yang berbunyi, “Jangan pernah menyia-nyiakan waktu.”


Cukup lama waktu berselang, akhirnya sate yang ditunggu-tunggu hadir di hadapan. Setelah melalui proses perhitungan yang cukup rumit, ternyata sate yang tersaji di atas piring berjumlah 15 tusuk. Tentu saja harganya melebihi estimasi sebelumnya. Sungguh strategi penjualan yang dasyat. Atau mungkin sang penjual telah bisa membacanya dari raut muka kami yang sangat kelaparan dan doyan sekali makan, apalagi gratisan, sehingga memberikan porsi sate berlebih. Sungguh cerdas. Perlahan namun pasti, sate dan lontong berpindah tempat menuju perut kami, tentu saja tidak dengan tusuk satenya. Daging kelinci memiliki tekstur yang lebih lembut dibandingkan daging ayam. Rasa bumbunya begitu menyatu dengan rasa dagingnya. Ada pedasnya, manisnya, dan sedikti pahit karena makan sambil berhadapan dengan Kakang. Dan ada satu lagi sentuhan terakhir yang membuat rasa sate ini begitu sempurna. Satu penyelesaian yang begitu menentukan rasa, yaitu sate ini tidak menggunakan bahan pengurang isi dompet. Ini semua tidak terlepas dari jasa Gusti Ageng Abdul Manan yang begitu dermawan menyisihkan sebagian gajinya pada kami sore ini. Makasi Bang!!




Bersambung..

Sabtu, 24 April 2010

Serangan ke Sarangan


Kali ini aku dan beberapa teman memiliki kesempatan untuk mengunjungi salah satu kota di jawa timur yang memiliki pemandangan alam cukup memikat. Metode rapat yang kami pilih menggunakan jalur dunia maya, dan nampaknya cukup efektif saat ini mengingat berbedanya aktivitas dan tempat tinggal kami masing-masing. Inilah salah satu keuntungan adanya jejaring sosial di jaman sekarang ini. Bukan hanya membuat dunia lebih datar, tetapi bisa mempersatukan orang-orang yang tidak begitu pandai pelajaran geografi, namun senang jalan-jalan. Dan ini sangat terbukti, masih ada saja orang yang menyamakan Balongbendo dengan Madiun.

Rencana awal begitu sempurna. Ada empat belas makhluk yang akan ikut ambil bagian dalam perjalanan ini. Namun, arah angin nasib tidak pernah bisa kita perkirakan. Ada satu yang diterbangkan ke Kalimantan, ada yang dibawa ke toko obat, ada juga yang nyangkut di rapat pengurus organisasi, dan satu lagi singgah ke acara nikahan. Untuk acara yang terakhir ini, kami mohon maaf dengan sangat kepada yang bersangkutan. Mudah-mudahan senantiasa dianugerahkan kebahagian dalam menjalani bahtera rumah tangga. Dua bulan bukan waktu yang singkat untuk menunggu sampai datang tanggal 28 Maret 2010. Mudah-mudahan tidak kapok dengan kehadiran segerombol anak-anak yang menghabiskan lima durian di teras rumah.

Perjalanan dilakukan pagi sekali, yaitu pukul setengah 9. Dua mobil sewaan dan tentu saja dua orang supir telah siap di depan kost E22, Keputih, Surabaya. Kami bersepuluh tidak lupa berdoa sebelum berangkat. Doaku yang pertama adalah agar Gendut tidak tertawa terbahak-bahak di dalam mobil yang akan mengakibatkan mobil kehilangan keseimbangan dan itu berarti mengancam nyawa beberapa orang lain yang ada di dalamnya. Doaku yang kedua adalah agar Mas Boy tidak bertemu seseorang berseragam coklat, kemudian menjawab pertanyaan yang diajukan sambil tertawa nyengir dan garuk-garuk kepala, “Belum bikin SIM, Pak!” Setelah doa selesai, kami pun pulang ke tempat masing-masing..(lho?), maksudnya langsung berangkat. Satu mobil BMW dan sebuah Mercedes Benz siap untuk meluncur. Namun, tentu saja bukan dua orang dari kami yang akan meluncurkannya hari ini. Kami cukup bahagia bisa ada di dalam avanza dan karimun estilo.

Baru kali ini perjalanan kami begitu “nyaman”. Biasanya harus berurusan dengan angin kencang yang terkadang membawa debu yang menabrak mata, sekarang harus terpaksa berurusan dengan AC yang bisa dikontrol intensitas dinginnya. Biasanya harus memakai masker agar polusi kendaraan tidak langsung menusuk hidung, sekarang aku malah lupa membawanya. Kepala biasanya masih harus dibebani benda bernama helm, sekarang rasanya tidak bisa lepas dari sandaran kursi yang empuk. Biasanya telinga dimanjakan dengan genjrengan gitar pengamen amatir, saat ini harus mulai terbiasa dengan nada-nada yang keluar dari radio dan MP3 player. Belum lagi kalo kita mampir ke pom bensin. Biasanya empat angka nol sudah cukup, sekarang harus ditambahkan satu angka nol lagi di belakang. Hidup cepat sekali berubah. Dan perubahan itu sangat kami nikmati. Sangat menyenangkan. Setidaknya selalu ada tangan yang akan membantu di kala kita kesusahan dan kelelahan.

Bersambung….

Rabu, 21 April 2010

Daerahku, Daerahmu


Ketika aku ditanya dari mana asalku, aku selalu menjawab dengan singkat, “Mataram”. Bila ada pertanyaan lanjutan, aku akan mencoba menjelaskan bahwa ayahku berasal dari Denpasar, sedangkan ibuku berasal dari Mataram. Pertanyaan selanjutnya biasanya aku jawab sambil tersenyum, “Dua adikku bernama Desi dan Dewi”. Bila kebetulan aku sedang mempunyai waktu luang, aku akan melanjutkan dengan sebuah cerita singkat bahwa aku menikmati masa kecil, TK, dan SD selama 11 tahun di Cianjur, 6 tahun masa SMP dan SMA di Mataram, dan sempat kuliah selama 4 tahun di Surabaya. Bila membayangkan masa-masa mengenyam pendidikan, sungguh angkuh rasanya bila aku tidak bersyukur. Aku hanya tinggal duduk memperhatikan guru atau dosen yang mengajar, mengerjakan tugas, membaca-baca buku pelajaran, praktikum, mengikuti ujian, bermain dengan teman-teman dekat, sedangkan orang tua banting tulang untuk membiayai semua pernak-pernik pendidikanku ini. Belum lagi begitu banyaknya orang yang tak kukenal telah membantu biaya kuliahku di perguruan tinggi negeri. Mohon maaf karena telah merepotkan semuanya. Mudah-mudahan ada pahala yang setimpal untuk semua kebaikan ini.

Mengenang masa lalu seperti ini membawa memoriku pada sebuah kota yang kecil, bila dibandingkan Surabaya, tempat dimana aku dilahirkan. Di kota kecil ini juga aku mulai belajar naik motor, mengurus SIM C, belajar bahasa Sasak, berenang di pantai Senggigi, memancing di Lingsar, meminum air awet muda di Narmada, merasakan pelecing kangkung dan sate bulayak, naik cidomo, dan nongkrong di jalan Udayana. Banyak hal yang aku dapatkan di kota bernama Mataram ini, namun belum ada yang bisa aku berikan bagi tanah kelahiranku ini. Terkadang ada rasa malu ketika mengaku berasal dari Mataram, tetapi tidak lancar berbahasa Sasak. Belum sempat lancar berbahasa Sunda, pindah ke Mataram. Belum fasih Ha-Na-Ca-Ra-Ka, pindah ke Surabaya. Baru sedikit bicara “Ora opo-opo”, sudah ditertawakan teman-teman. Ini yang membuatku mencintai bahasa ibu, bahasa Indonesia.

Seringnya berpindah tempat hidup seperti ini, membuatku bertanya apa makna dari “putra dan putri daerah”. Beberapa kali aku berkunjung ke suatu acara yang menampilkan tarian, nyanyian, dan peragaan busana dengan mengusung nama “persembahan putra-putri daerah”. Sampai disini mungkin belum terlalu menjadi permasalahan. Bisa saja orang-orang yang menampilkan tarian, nyanyian, dan peragaan busana itu adalah orang-orang yang memang lahir dan tinggal lama di daerah tersebut, sehingga layak disebut putra dan putri daerah. Apalagi bila mereka juga lahir dari orang tua yang asli dari daerah tersebut. Atau bisa juga mereka adalah beberapa siswa dari salah satu sekolah di daerah tersebut yang kebetulan mengikuti ekstrakurikuler tari, olah vokal, atau peragaan busana, walaupun diantara mereka ada yang lahir di daerah lain. Orang tua mereka pasti senang karena anak-anaknya memiliki bakat lain di luar potensi akademik-teoritis.

Tahapan yang lebih serius, mungkin juga bisa dikatakan masalah, adalah ketika kita mengusung nama putra dan putri daerah ini pada proses pemilihan kepala atau pimpinan atau ratu pada daerah tertentu. Banyak orang yang memang lahir di suatu daerah kemudian mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin daerah tersebut. Hal tersebut sah-sah saja, apalagi bila didukung oleh kemampuan orasi yang memadai, uang yang cukup, sikap yang pantas diteladani, dan tentu saja pendukung yang selalu siap untuk berkeliling-keliling kota. Namun, ada juga calon pemimpin yang lahir di daerah pencalonan, tetapi sebelumnya tinggal lama dan berkiprah di daerah lain. Belum lagi bila pekerjaan sebelumnya tidak ada hubungannya dengan ranah politik sama sekali. Bagaimana dengan kompetensi orang-orang, yang secara KTP, tidak dilahirkan di daerah tersebut, tetapi memilki pengaruh dan peranan cukup besar bagi masyarakat sekitar? Tentu saja masyarakat sekarang lebih mampu menilai dan memilih dengan bijak. Melalui tulisan ini, tidak ada niatan kepada siapapun untuk mengarahkan suatu pilihan tertentu atau menghasut untuk tidak memilih apapun, hanya ingin memaparkan pandangan mengenai putra dan putri daerah saja. Mohon maaf bila dirasa menyinggung. Mudah-mudahan kita bisa sama-sama berlibur di suatu daerah bernama Mataram. Masih ada gunung Rinjani yang harus didaki. Semoga bermanfaat..!

Jumat, 16 April 2010

Gantungan Pakaian


Sambil berbaring di tempat tidur, aku memandangi gantungan pakaian yang terpasang di pintu kamarku. Warnanya merah dan dua paku besar sudah cukup menopangnya agar dapat berfungsi dengan baik. Jaket, celana panjang, baju kemeja, sabuk, beberapa kaos oblong, dan celana pendek berdesak-desakan untuk dapat menempati tempat yang sangat terbatas. Mungkin salahku juga yang tidak segera mencuci pakaian yang sudah beberapa kali dipakai. Namun, derasnya hujan membuatku malas melakukan aktivitas pencampuran air dan minyak yang telah didamaikan oleh detergen. Alhasil, aku menjadi khawatir terhadap kekuatan gantungan pakaian yang sedang aku pandangi saat ini.

Gantungan pakaian, yang kebanyakan terbuat dari bahan logam dan plastik, tentu saja memiliki kapasitas beban maksimum. Bila beban yang diberikan melebihi kapasitas beban maksimum yang dimiliki sebuah gantungan pakaian, maka dapat dipastikan pakaian kita akan patuh kepada gaya gravitasi dan mendarat dengan mulus di lantai. Namun, tentu saja kapasitas beban maksimum ini tidak tertulis dalam suatu buku petunjuk penggunaan barang saat kita membeli gantungan pakaian. Kapasitas ini bersifat tersirat dan besarnya berbeda untuk tiap jenis gantungan pakaian.

Interaksi kita dengan beberapa orang dalam suasana yang berbeda-beda menuntut kita untuk memiliki beberapa jenis pakaian. Ada yang biasa digunakan kuliah, kerja, ngapel, ngepel, olahraga futsal atau basket, pergi nge-band, pergi ke acara ulang tahun atau pesta nikahan, rapat desa, gotong-royong kampung, pergi ke tempat ibadah, dan beberapa aktivitas lain yang memerlukan pakaian khusus. Beragamnya jenis pakaian inilah yang biasanya menjadi beban tersendiri bagi gantungan pakaian di kamar kita.

Beban pakaian yang melampaui kapasitas beban maksimum gantungan pakaian membuat kita mengeluarkan energi tambahan berupa tindakan perbaikan atau pembelian barang baru. Tentu saja hal seperti ini tidak kita inginkan bersama. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan keseimbangan kedua parameter diatas. Terkadang terjadi, dalam hidup ini, beban yang ada melebihi kapasitas beban maksimum yang tersedia, maka kerusakan tidak dapat dielakkan. Kita menjejalkan begitu banyaknya beban dalam pikiran, sehingga tidak jarang muncul depresi dan stres. Belum lagi, kecerobohan kita membeli gantungan pakaian yang berkualitas buruk atau cepat rusak. Terkadang pula kita salah tempat menggantungkan sesuatu, sehingga kebahagiaan menjadi jauh dari jangkauan.

Kebahagiaan adalah hak semua makhluk, namun tetap saja tidak semua orang dapat merasakannya setiap saat. Seringkali kita kecewa, sedih, dan marah. Mungkin semua rasa itu datang karena kita menggantungkan sesuatu pada tempat yang salah. Kita sedih karena menggantungkan harapan dan mimpi pada tempat yang rapuh. Kita menjadi marah karena telah menggantungkan keinginan yang besar pada tempat yang kecil dan sempit. Menggantungkan rezeki pada orang yang punya sedikit uang lebih banyak tidak jarang berujung pada kekecewaan. Perlukah dibuktikan lagi bahwa ada Yang Maha Kuat, Maha Besar, dan Maha Pemurah? Masihkah disangsikan lagi keberadaan-Nya? Aku tidak bermaksud menggurui. Seringkali aku lupa dan khilaf. Harapan, mimpi, dan keinginan jatuh karena tergantung pada tempat yang tidak kokoh. Dan aku tidak ingin hal seperti ini terjadi berulang kali pada kita semua.

Kita boleh berharap, bermimpi, dan memiliki keinginan yang besar. Tidak ada seorang pun yang melarang dan jangan pernah marah bila ada teman yang berkata, “Jangan terlalu berharap, nanti kecewa!” Teman kita itu sedang mengingatkan kita bahwa jangan sampai meletakkan semua harapan itu pada tempat yang salah, pada tempat yang akan membuat kita kecewa. Berterimakasihlah padanya dan pada-Nya. Sebagai penutup, mudah-mudahan ada makna yang dapat dipetik dari catatan sederhana ini. Semoga bermanfaat.

Gresik, 15 April 2010, 23.20 WIB

Sabtu, 10 April 2010

Alle Anfang ist Schwer


Judul di atas adalah sebuah ungkapan dalam bahasa Jerman yang bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti setiap permulaan itu sulit. Ungkapan ini tidak berfungsi sebagai penurun motivasi saat kita hendak melakukan sesuatu yang baru, tetapi sebagai “warning system” agar kita bisa mengatur energi yang tepat saat menjumpai hal yang baru. Hal baru adalah konsekuensi dari suatu proses pembelajaran. Ketidakterbukaan kita terhadap hal-hal baru inilah yang sering mengurung kita di dalam rutinitas yang menjemukan. Memang tidak semua hal baru itu baik untuk kita ikuti, bahkan malah ada yang tidak sesuai dengan budaya kita sebagai orang timur. Bila tidak mampu mengikuti, minimal kita mampu menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri.

Banyak orang merasa enggan memasuki realitas baru dengan beragam masalah yang baru pula. Ada juga yang merasa bahwa hal baru adalah sebuah tantangan yang harus ditaklukan. Bagaimanapun juga itu adalah sebuah pilihan. Seringkali kita jenuh menjalani rutinitas hidup yang itu-itu saja. Pergi ke kampus, mendengarkan ceramah dosen, mengerjakan tugas, dan membuat laporan. Syukur-syukur kalau ada yang bertanya dengan penuh perhatian, “Bagaimana perasaanmu hari ini? Apakah semuanya berjalan dengan lancar?” Namun, yang sering terjadi adalah pertanyaan seperti, “Bro, tugas kimia dasar udah beres apa belum? Nanti sore aku pinjem buat ‘nyocokin’ jawaban ya!” Belum lagi para karyawan yang setiap hari berhadapan berjam-jam dengan sebuah benda bernama komputer, mengerjakan begitu banyak hal yang entah kapan bisa terselesaikan. Bila ini yang terjadi, kita memang butuh penyegaran agar kembali bersemangat dalam menjalani rutinitas. Kita harus berani memasuki realitas yang baru.

Butuh lebih dari sekedar keinginan untuk bergelut dengan hal yang baru. Harus ada keberanian untuk mencoba. Sebuah batu bata yang diam di tepi jalan hampir tidak mungkin bergerak bila kita hanya menginginkannya untuk bergerak. Kita harus mencoba mendorongnya, baik secara perlahan ataupun cepat, tergantung energi yang kita miliki. Ada gaya tertentu yang harus kita lawan agar baru bata mulai bergerak dari keadaan diamnya. Gaya tersebut dipengaruhi oleh suatu koefisien yang dikenal dalam fisika sebagai koefisien gesekan statis. Statis dapat diartikan diam atau tidak bergerak. Ketika gaya yang kita berikan mampu mengalahkan “daya tahan batu bata ini”, barulah batu bata akan bergerak. Dalam bahasa yang lebih rumit, batu bata bergerak saat gaya yang kita berikan melampaui besarnya gaya gesek statis maksimum. Selama batu bata bergerak, ada gaya lagi yang harus kita kalahkan besarnya agar batu bata tidak terhenti. Gaya ini dipengaruhi oleh koefisien gesekan kinetis. Uniknya, besarnya koefisien gesekan kinetis tidak pernah melampaui besarnya koefisien gesekan statis. Itu berarti lebih mudah menjaga agar sebuah benda tetap bergerak dalam suatu satuan waktu tertentu daripada membuatnya mulai bergerak.

Menjadi jelas bahwa kita membutuhkan energi tertentu untuk mulai melangkah atau bergelut dengan hal yang baru. Seribu atau sepuluh ribu langkah pasti dimulai dari langkah pertama. Orientasi mahasiswa baru menjadi masa-masa sulit ketika kita baru memasuki masa kuliah. Setelah berlalu, semuanya tampak penuh dengan persahabatan. Semua kualitas memiliki kecenderungan untuk membiasa. Begitu juga dengan masa training yang merupakan masa yang cukup berat bagi para calon karyawan. Namun, kita harus menjalani dengan ikhlas. Saat yang paling menegangkan ketika kita mulai tertusuk panah Cupid adalah berkenalan dengan orang yang kita sukai. Belum lagi kewajiban mengungkapkan isi hati. Semuanya butuh lebih dari sekedar keinginan. Rasa yang terurai dalam kata dan tindakan tidak jarang memberikan kelegaan tersendiri, apapun hasilnya, apapun responnya.

Dengan begitu, mulai saat ini, marilah kita kalahkan gaya gesekan statis maksimum dalam diri agar kita bisa melangkah maju menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Sukses selalu. Semoga bermanfaat.

selsurya.blogspot.com, 7 April 2010

Selasa, 06 April 2010

Si Kecil yang Nakal


Suatu ketika aku pernah diberi pertanyaan oleh seorang kawan. Pertanyaannya bukanlah pertanyaan yang serius dan membutuhkan perhitungan yang rumit. Pertanyaan ini lebih bersifat teka-teki dan cenderung jauh dari akal sehat. Pertanyaan sederhana itu adalah, “binatang apa yang disembah sebagian besar manusia?” Menjawab pertanyaan seperti ini tidak dianjurkan mengaitkannya dengan agama apapun karena akan berujung pada kemarahan. Boleh saja mengaitkannya dengan sejarah, ketika sebagian manusia masih menganut paham animisme dan dinamisme. Namun, melihat raut mukanya yang cengengesan, tentu saja jawaban pertanyaan ini tidak ada hubungannya dengan manusia purba yang hidup nomaden pada jamannya. Cukup lama juga aku berpikir untuk menemukan jawaban pertanyaan konyol ini. Hingga akhirnya aku pun menyerah sebagai tanda kewarasan seorang manusia yang enggan masuk ke dalam realita yang jauh dari akal sehat. Alibi ini cukup kuat untuk mengalihkan ketidakmampuanku menggunakan otak kanan pada saat-saat seperti ini.

Setelah mendengar kata menyerah dariku, dengan bangganya dia menjawab pertanyaan yang dia buat sendiri. Memang terdengar aneh ada orang yang mengajukan pertanyaan dan menjawabnya sendiri. Namun, ini semua tentang seulas senyum persahabatan, bukan tentang analisis fakta dan data. Mungkin terdengar mengejutkan bila jawabannya adalah seekor binatang kecil yang setiap kita melihatnya hanya ada satu instruksi dalam pikiran, yaitu menepuknya. Binatang ini tidak lain dan tidak bukan adalah nyamuk. Aku kalah telak. Kawanku benar-benar mampu mendeskripsikan dengan jelas bagaimana posisi terakhir kedua tangan kita ketika menepuk nyamuk yang sedang terbang, walaupun tepukan itu tidak disertai doa yang tulus, namun umpatan seperti, “Akhirnya mampus juga kamu!” atau “Sial, cepat sekali terbangnya!” Belum lagi pertanyaan menjengkelkan yang mempersoalkan kenapa suara nyamuk itu “ngiung…nguing….nginnggg.” Malas juga memperdebatkan suara yang tidak masuk kategori “Indonesian Idol” seperti suara nyamuk ini. Namun, kawanku telah berhasil mengingatkanku bahwa sampai saat ini nyamuk itu senang menghisap darah manusia. Bila yang dihisap adalah bensin, tentu saja suaranya akan menjadi “bremm…bremmm….bremmm…ngenggg!!!”

Bila direnungkan sejenak, nyamuk adalah ciptaan Tuhan yang tentu saja bermanfaat dalam kehidupan. Ketidakhadirannya di dunia tentu saja akan mengganggu siklus rantai makanan dan memengaruhi harmonisasi alam semesta. Namun, ulah nyamuk terhadap kelangsungan hidup makhluk lain seringkali merugikan. Nyamuk mampu menyebarkan penyakit malaria, kaki gajah, cikungunya, dan demam berdarah. Tidak jarang penyakit-penyakit tersebut mengakibatkan kematian bagi penderitanya. Oleh karena itu, tidak dapat disalahkan juga ada orang yang amat membenci binatang kecil yang satu ini.

Aku tidak memiliki kewenangan untuk melarang seseorang membenci nyamuk, apalagi orang tersebut adalah mantan penderita salah satu penyakit yang disebabkan oleh binatang ini atau orang yang memiliki trauma karena kematian sanak keluarga akibat penyakit demam berdarah. Aku hanya ingin berbagi sedikit hal yang mungkin menjadi salah satu kekeliruan pikiran kita tentang nyamuk selama ini. Setelah membaca buku yang ditulis Dr. Didit Darmawan tentang binatang yang satu ini, aku menjadi tahu bahwa nyamuk memerlukan darah, dan oleh karenanya dia menghisapnya dari dalam tubuh kita, untuk perkembangan telurnya. Maka dari itu, yang menghisap darah hanya nyamuk betina. Nyamuk betina membutuhkan protein dalam darah untuk membantu telurnya berkembang. Nyamuk, baik jantan dan betina, dapat hidup dari nektar bunga. Nyamuk juga merupakan indikator bahwa lingkungan di sekitar kita tidak dalam keadaan bersih. Oleh karenanya, keberadaannya dapat menjadi pengingat bahwa masih ada selokan yang harus kita bersihkan, bak mandi yang belum kita kuras airnya, atau sampah yang belum kita buang pada tempatnya. Belum lagi keberadaan nyamuk telah memberi penghasilan secara tidak langsung bagi para pekerja atau karyawan di industri obat nyamuk. Keberaniannya mengambil resiko seharusnya dapat memberikan inspirasi. Dengan tubuhnya yang kecil, dia berani menghisap darah makhluk lain yang ukuran tubuhnya lebih besar dengan resiko kematian dirinya dan calon buah hatinya. Semua tindakan pasti ada resikonya. Yang terbaik yaitu bukan menghindari resiko, tetapi mengenali setiap resiko yang hadir atau akan hadir dan berupaya untuk menemukan solusi yang tepat.

Ada juga sebuah ungkapan yang pernah aku dengar dan berhubungan dengan binatang yang satu ini. Ungkapan tersebut adalah, “jangan membunuh nyamuk dengan bom atom”. Sepintas ungkapan tersebut lebih mirip lelucon yang tak bermakna dalam. Namun, apabila kita pernah bertemu dengan orang yang menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang melebihi takaran, hal ini akan terasa lain. Terpancing emosi untuk berkelahi karena ejekan anak kecil hanya akan menguras energi dan membuat suasana menjadi kacau-balau. Besar kecil masalah memang relatif, tetapi persahabatan dan kekeluargaan akan memberi tahu kita tentang hal apa yang dapat menyelesaikan masalah dan hal apa pula yang dapat menimbulkan masalah baru. Menggunakan cara-cara berlebihan dalam menyelesaikan masalah seringkali menghancurkan hal lain yang tidak menjadi persoalan.

Semoga catatan kecil tentang “hal kecil” ini dapat memberikan inspirasi baru untuk tetap mensyukuri semua yang telah diciptakan-Nya.