Sabtu, 27 Maret 2010

Memudahkan atau Membutakan


“Aku boring banget hari ini,” keluh seorang rekan pada suatu siang. Ekspresinya jauh dari bahagia. Jangankan untuk senyum, menghilangkan lekukan diantara kedua alisnya saja dia tidak mampu. Lain lagi denganku. Bagiku ini sangat lucu. Aku sering sekali mendengar dan melihat orang lain memuji dirinya sendiri, tetapi baru kali ini mendengar seseorang menghina dirinya sendiri. Dalam kamus Inggris-Indonesia, ternyata arti kata boring adalah membosankan, sedangkan untuk kata bosan diartikan sama dengan bored. Doesn’t matter, friend! Tidak ada orang yang melarang untuk berekspresi dengan perpaduan dua bahasa seperti ini.

Penguasaan bahasa Inggris memang sangat penting di jaman sekarang ini. Cara tercepat mempelajari bahasa yaitu dengan mempraktekkannya dalam percakapan sehari-hari. Teknik belajar seperti ini dikenal dengan nama yang cukup rumit, yakni “learning by doing”. Karena keinginan yang kuat dari generasi muda saat ini, maka tidak jarang percakapan sehari-hari diwarnai perpaduan beragam bahasa dari beragam daerah dan Negara. Kata “sory” saat ini lebih populer dibandingkan kata “maaf”. Begitu juga yang terjadi dengan kata “thanks” yang telah berhasil menggeser kata “terimakasih” di posisi yang cukup terpuruk. Ribuan anak muda kini telah biasa mengunduh file bertipe MP3, walaupun hanya sedikit yang tahu bahwa kepanjangannya adalah Motion Picture Experts Group, Audio Layer 3. Yang lain masih agak ragu menjawab bahwa kepanjangan JPEG adalah Joint Photographic Experts Group. Ada juga yang masih belum yakin bahwa PDF adalah singkatan dari Portable Document Format. Sisanya tetap saja bingung arti kata “calculate”, walaupun setiap hari membawa kalkulator untuk menghitung.

Singkatan-singkatan seperti tersebut diatas ditujukan untuk memudahkan penyebutan suatu hal yang terlampau panjang dan rumit. Namun, tidak jarang singkatan-singkatan itu, karena terlampau sering diucapkan, menjadi pengabur makna sebenarnya. Singkatan tersebut telah menjadi nama yang lebih populer dibandingkan kepanjangannya. Jarang sekali orang yang berkata warung telepon atau warung international networking karena tentu saja ada yang lebih singkat. Tentu juga sangat repot bila harus mengatakan, “Wah, aku baru saja mendapatkan short message service dari teman Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dulu”. Bila ada yang lebih singkat, tidak perlu diperlambat. Oleh karena itu, saat ini seringkali muncul cara-cara atau metode-metode singkat. Hampir seluruh lembaga bimbingan belajar menawarkan rumus-rumus cepat mata pelajaran eksakta. Itu strategi yang cukup efektif untuk menghemat waktu dalam rangka penyelesaian ujian akhir. Namun, belajar tidak berakhir di kertas ujian atau ijasah. Belajar masih harus terus berlanjut hingga akhir hayat. Maka dari itu, tidak cukup dengan tahu cara-cara cepat itu, kita juga harus mengenal konsep dasarnya agar dapat mengembangkan sesuatu yang baru.

Masih banyak hal yang harus kita pelajari. Masih banyak konsep yang bisa kita ramu. Masih banyak cara-cara singkat yang terlahir dari analisis panjang pola pikir kritis. Terbuka untuk hal-hal baru tentu saja lebih baik dibandingkan tidak mau menerima apapun dan mempertahankan cara-cara lama yang tidak lagi relevan. Tidak semua jalan pintas itu pantas, tetapi yang terburuk adalah mengatakan bahwa “semakin banyak belajar, semakin banyak lupa”. Tetap semangat belajar kawan-kawan…!!
Semoga bermanfaat!

Rabu, 24 Maret 2010

Peluitmu, Deritaku


Kemandirian adalah hal yang paling diasah ketika kita jauh dari keluarga dan hidup merantau. Menghuni sebuah tempat yang sama dengan beberapa orang yang tidak dikenal sebelumnya. Tempat yang bernama kost-kostan itu telah akrab dengan hidupku selama 4,5 tahun belakangan ini. Mulai dari kuliah, hingga bekerja saat ini, aku menghuni kost-kostan dan bertemu dengan orang-orang yang memiliki beraneka karakter. Mulai dari yang senang berada di dalam kamar hingga yang jarang pulang ke kost. Mulai dari yang lama di kamar mandi sampai yang lama di tempat tidur. Mulai dari yang senang mendengarkan lagu sedih sampai yang senang nonton film Korea. Mulai dari yang rajin bayar uang koran dan kost hingga yang kurang rajin. Mereka semua telah berhasil menambah khasanah pergaulanku. Terima kasih teman-teman.

Sebagai seorang penghuni kost yang kurang handal dalam hal masak-memasak, aku mempercayakan menu makananku pada koki-koki warung tenda. Bukannya aku tidak suka masakan restoran, tetapi karena urusan perut dekat sekali hubungannya dengan urusan kantong, aku harus pandai-pandai memanfaatkan setiap momen agar tidak kelabakan di akhir bulan. Memang tidak semua makanan yang disajikan di warung tenda memenuhi standar kesehatan ahli-ahli gizi. Ada kalanya sakit perut mendera dan diare tak terhentikan. Berbekal pengalaman itu, aku lebih berhati-hati memilih lokasi warung tenda sebagai tempat makan. Selain berhubungan dengan urusan kantong, warung tenda adalah tempat yang nyaman untuk membicarakan hal-hal ringan bersama teman-teman akrab. Tertawa terbahak-bahak tanpa ada yang merasa dirugikan, makan dengan tangan tanpa ada yang merasa jijik, dan berbagi dengan pengamen tanpa pernah mengomentari suaranya yang jauh sekali dari harapan pendengar.

Kegemaran mengunjungi warung tenda inilah yang membuatku semakin akrab dengan profesi yang satu ini. Bukan ahli masak, bukan juga ahli gitar bolong, tapi ahli atur kendaraan. Profesi terhormat ini dikenal masyarakat dengan sebutan juru parkir. Berbekal peluit dan beberapa lembar karcis parkir, profesi ini cukup menjanjikan dari segi finansial, apalagi bila dilakukan pada area-area padat pengunjung. Sampai sekarang pun aku tidak tahu berapa biaya parkir sepeda motor yang paling pas. Pas di kantong, pas juga di hati. Beberapa juru parkir mengucapkan terima kasih ketika diberi uang receh 500 rupiah. Beberapa lagi menerima dan memasukkan uang seribu rupiah dengan pelan ke saku celananya, kemudian membuang muka sambil menoleh kanan-kiri. Ada juga yang dengan tegas mengatakan “kurang Mas, seribu!” Sisanya menerima uang seribu, kemudian berlalu tanpa ingat bahwa masih ada motor yang harus diselamatkan dari himpitan motor-motor yang lain. Belum lagi “preman-preman parkir” yang dengan tega meniup peluit dari jarak puluhan meter tanpa memberikan karcis parkir sebelumnya atau orang yang tiba-tiba berdiri di samping kendaraan ketika kita hendak pergi, seolah-olah menunggu kita mengeluarkan uang seribu rupiah, bahkan tanpa membawa peluit. Seandainya semua juru parkir ini dilengkapi dengan identitas berupa baju seragam, peluit, dan karcis parkir yang resmi, tentu aku tidak akan mengomel dalam hati setelah memberi uang seribu rupiah. Kita sama-sama cari makan, tapi jangan saling merugikan. Memang tidak semua juru parkir demikian, ada juga yang bekerja dengan begitu profesionalnya.

Memperbaiki keadaan memang tidak sesederhana membaca koran, harus ada tindakan nyata. Pemerintah kota, daerah, dan aparat keamanan diharapkan memberikan perhatian terhadap hal-hal semacam ini. Tentu saja dengan dukungan segenap warga masyarakat. Pemberian atribut parkir tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kita bisa berupaya memaksimalkan potensi yang ada di daerah, membayar pajak tepat waktu, dan usaha-usaha lain yang berakibat secara langsung terhadap peningkatan pendapatan daerah. Dana inilah yang nantinya diharapkan bisa membantu program tersebut agar terealisasi dan berjalan dengan baik.

Di jaman sekarang memang banyak orang berlomba-lomba mencari pekerjaan. Ada yang dilengkapi dengan ijasah SMA, STM, S1, dan S yang lainnya. Patut disyukuri bila saat ini telah mendapatkan tempat yang memberikan ruang untuk berkreasi dan berkarya. Namun, bila belum, tetaplah berusaha dan berdoa, jangan merugikan orang lain. Tindakan premanisme tidak menyelesaikan masalah, justru itulah masalahnya. Jadilah orang-orang terhormat yang karena profesinya memberikan manfaat bagi orang lain. Sebagai penutup, selamat bekerja para juru parkir Indonesia!!
Semoga bermanfaat.

Minggu, 21 Maret 2010

Mimpi dan Angin


Beberapa hari yang lalu, aku menghubungi seorang kerabat. Sudah lama juga tidak berjumpa dan saling menanyakan kabar. Karena menggunakan kartu SIM yang sama, tarif telepon cukup bersahabat dengan kantong. Apalagi pagi hari adalah waktu yang tepat untuk merealisasikan niat mulia ini. Namun, sungguh mengejutkan, kalimat sambutannya bagai petir di pagi hari. Mungkin hal ini sering dialami oleh sebagian besar diantara kita, namun tidak pernah menjadi persoalan karena merupakan hal wajar yang bisa terjadi dalam hubungan persahabatan atau kekeluargaan. Kalimat tanya yang tersohor itu adalah : “Wah, mimpi apa nih pagi-pagi udah nelpon?”. Ada juga satu kalimat tanya yang maknanya hampir sama, yakni : “Wuah!! Ada angin apa sampe bela-belain nelpon pagi-pagi?”

Kedua kalimat tersebut cukup unik dari segi komposisinya. Kalimat pertanyaan yang sama sekali tidak membutuhkan jawaban. Hanya ungkapan kekaguman atau keheranan seseorang yang sudah lama tidak kita jumpai atau hubungi. Namun, kenapa harus mimpi? Ada apa juga dengan angin? Kenapa harus dua hal ini yang menunjukkan keheranan seseorang? Tidakkah lebih baik menanyakan kabar orang yang menghubungi dibandingkan menanyakan mimpi atau angin?

Keterkejutan seringkali membawa kita pada suatu dimensi yang aneh. Logika terguncang dan kadangkala membuahkan hasil berupa pertanyaan-pertanyaan yang lucu. Seperti kasus di atas, jelas sekali bahwa pertanyaan-pertanyaan itu hadir karena adanya suatu keterkejutan, sehingga untuk menanyakan kabar saja harus berputar-putar menanyakan mimpi dan angin.

Hidup itu penuh dengan kejutan yang tak terduga. Bagi yang siap menghadapi semua kejutan itu, mungkin bisa bersikap tenang. Namun, bagi yang tidak siap, inilah yang menjadi persoalan. Bagaimana kita menyiapkan diri terhadap hal-hal yang masih menjadi misteri? Tidak seorang pun tahu apa yang akan terjadi beberapa menit ke depan, besok, atau lusa. Lalu, untuk apa kita mempersiapkan diri? Lebih baik mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya hari ini karena hidup tak kan pernah bisa terulang. Pikiran tersebut tidak salah, hanya saja masih harus dikembangkan lagi agar hidup ini benar-benar dirasakan sebagai anugerah. Tidak ada seorang pun yang ingin hidup hanya pada hari ini saja. Semua ingin umur yang panjang, rezeki yang berlimpah, dan kesehatan yang membawa berkah. Oleh karena itu, kita harus memiliki rencana-rencana yang membawa kita pada tujuan yang kita inginkan. Rencana-rencana itulah yang akan menghindari kita dari “keterkejutan-keterkejutan” yang dapat mengguncangkan logika dan perasaan.

Hidup ini adalah anugerah, tapi bukan berarti tanpa masalah. Banyak orang yang terpukul, terguncang emosinya, dan sedih yang berkepanjangan karena menghadapi sesuatu hal, bukan karena jarang bersyukur, tetapi karena tidak siap dengan kejutan yang hadir. Kita memang tidak memiliki kewenangan untuk memodifikasi takdir, tetapi kita tidak dilarang untuk memperbaiki nasib, tentu saja dengan usaha dan doa. Mungkin terlalu ideal bila kita berbicara tentang usaha, doa, dan kesuksesan. Banyak orang telah berusaha maksimal dan berdoa panjang-lebar, namun tetap tidak bisa merubah kondisi apapun. Inilah gunanya belajar. Menyerap sesuatu yang baru setiap hari dan mengaplikasikannya secara langsung. Tidak cukup dengan berkerja keras banting tulang, kita harus mampu mengelola akal agar mampu bekerja dengan cerdas dan penuh perhitungan. Memang tidak semua hal yang bisa dihitung, pantas untuk dihitung, tapi alangkah baiknya kita tidak mengenyampingkan logika dalam bekerja dan berkarya. Setelah segenap usaha dan doa kita persembahkan, barulah hasilnya kita pasrahkan kepada Sang Pemberi Rezeki itu.

Bermimpilah, berencanalah, dan wujudkanlah semua niat baik itu, serta bungkus rapi dengan doa. Kita memang tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, memiliki apa yang kita cintai, dan meraih apa yang kita cita-citakan, tetapi yakinlah ada Tangan Maha Lembut yang akan mengantarkan kita menuju gerbang keikhlasan untuk setiap usaha yang fokus, doa yang tulus, dan kesabaran dalam penantian. Jangan pernah pasrahkan mimpi-mimpi kita kepada angin yang berhembus di luar sana. Sekencang apapun angin itu tidak akan mampu mengantarkan mimpi kita pada realitasnya. Kebahagiaan itu hadir bukan karena reaksi antara mimpi dan angin, tetapi keselarasan antara rencana bumi dan rencana langit. Jadi, bukan “ada angin apa” atau “mimpi apa tadi malam”, tetapi “senang sekali hari ini, bagaimana kabarnya?”
Semoga bermanfaat.

Senin, 15 Februari 2010

Aku, DR 6830 AL, dan Lalu Lintas


Sebagai seorang yang senang jalan-jalan, aku sangat akrab dengan jalan raya dan segala aturannya. Mulai dari jalan yang mulus tanpa lubang, sampai jalan berbatu-batu yang terjal pernah aku lewati bersama DR 6830 AL. Motor supra kesayanganku ini dengan setia menemani hari-hariku dalam suka dan duka selama kurang lebih 8 tahun. Beragam kecelakaan, pertemuan dengan polisi dan surat-surat tilangnya, dan pertemuan dengan orang-orang dari daerah yang baru semakin mempererat hubungan kekeluargaan diantara kami. Tiga masa telah kami lalui bersama, yaitu masa sekolah, masa kuliah, dan saat ini - masa kerja. Penuh dengan petualangan dan menambah pengalaman.

Melintasi jalan raya, kita pasti pernah melihat lampu lalu lintas yang berwarna merah, kuning, dan hijau itu. Lampu tersebut dibuat dan dipasang dengan begitu baiknya disertai juga dengan penghitung waktu mundur untuk memberikan “efek kepastian” bagi pengendara, kapan waktu yang tepat untuk melaju dan berhenti. Namun, tetap saja ada pengendara yang tidak mampu membaca makna warna-warna yang indah itu. Buta warna jangan dijadikan alasan. Aku pernah berbicara dengan seseorang yang buta warna. Dia berkata, “Aku memang tidak bisa membedakan warna merah dan hijau, tapi aku bisa membedakan atas dan bawah. Bila lampu atas yang menyala, aku berhenti dan bila lampu bawah yang menyala, aku pun melaju.” Bila semua orang mampu memberi apresiasi yang baik pada isyarat warna lampu ini, aku pikir polisi tidak perlu lagi berdiri pada pagi hari di samping lampu lalu lintas untuk mengatur kendaraan yang akan berhenti atau melaju. Sudah ada aturan, tidak perlu ditambah aturan sejenis dengan gaya yang berbeda. Polisi cukup berdiri sambil bersiap menghadang para pelanggar lalu lintas sambil tersenyum ramah kepada pengendara yang patuh aturan. Senyummu begitu berarti. Kecuali, bila terjadi mati listrik dan lampu lalu lintas tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Namun, aku yakin dengan adanya Dirut PLN yang baru akan banyak perbaikan yang berarti.

Menunggu lampu merah yang akan berganti lampu kuning, kemudian hijau, memang terkadang membosankan. Nyala lampu merah tersebut pun bervariasi waktunya tergantung pada besar jalan dan banyaknya persimpangan. Ada yang setengah menit, 1 menit, bahkan aku pernah menunggu lebih dari 100 detik. Jangan bengong karena orang yang ada di belakang kendaraan kita sudah siap dengan klaksonnya. Berbicara mengenai klakson, aku punya beberapa tafsiran dalam bahasa manusianya. Makna klakson dibedakan berdasarkan panjang-pendeknya bunyi. Bunyi klakson yang pendek bisa berarti : “Permisi Mas, saya duluan ya!”, “Maaf, lampunya sudah hijau, waktunya melaju!”, “Jangan melintas dulu ya, Pak!”, “Halo cewek cantik!”, “Woi Bro, kita beli motor di kota yang sama!”, “Permisi, semoga saudara-saudara tenang di alam sana!”, dan “Permisi, saya ijin melintasi jembatan ini!” Bunyi klakson panjang bisa berarti : “Hei, matamu dimana?!! Lampunya udah ijo!!”, “Woi minggir, mau lewat nih!!”, “Jangan taruh motor di tengah jalan! Emang ini jalan bapakmu!!”, “Roti…roti…roti!”, “Sayurnya, Bu!”, “Arek-arek Suroboyo, saiki persebaya tanding!”, “Halo semuanya, hari ini Slank konser! Peace!!” dan “Akhirnya aku lulus UNAS!”.

Sambil menunggu lampu merah, kita pasti pernah membaca tulisan “daerah rawan kecelakaan” atau “disini sering terjadi kecelakaan” atau “disini lokasi bus terbakar”. Menurutku, kalimat-kalimat negatif seperti tidak perlu ditulis pada sebuah papan besar yang memberikan efek ketakutan pada pengendara. Ganti saja dengan yang lebih memotivasi, seperti “hati-hati pangkal selamat” atau “berkendaralah dengan hati-hati karena keluarga tercinta menunggu di rumah” atau “patuhi aturan lalu lintas agar selamat sampai tujuan, terima kasih” atau bisa juga “jangan lupa berdoa dalam perjalanan agar selamat sampai tujuan”. Para pengendara tidak perlu ditakut-takuti dengan kecelakaan-kecelakaan, perbaiki saja jalan-jalan yang berlubang besar dan tidak rata itu.

Mungkin sekian yang dapat aku bagi. Aturan lalu lintas dibuat untuk dipatuhi seluruh pengendara kendaraan kecuali ambulan dan motor serta mobil pengiring pejabat yang melintasi jalan raya. Semoga bermanfaat.

Kamis, 11 Februari 2010

Dari mana?


Dari mana adalah sebuah pertanyaan yang kadangkala membingungkan, ambigu, dan terkesan basa-basi. Namun, pertanyaan ini hampir selalu ditanyakan pada sebuah pertemuan awal dengan seseorang dan merupakan wujud keingintahuan kita tentang aktivitas seseorang. Bila hanya dua kata ini saja yang diucapkan, tentu akan menimbulkan beragam jawaban. Seseorang yang begitu menghormati ibunya pasti akan menjawab dengan begitu polosnya, “dari rahim seorang ibu”. Seorang putra daerah dengan bangga menjawab “dari Jakarte, kalo lo dari mane?”. Seseorang yang baru saja selesai mencuci tangan akan menjawab “dari belakang”. Seseorang yang belum sarapan akan menjawab “dari tadi tau!!” Seorang nasionalis akan menjawab “dari Sabang sampai Merauke”. Seorang pujangga akan berpuisi “dari hati yang penuh cinta”. Seorang musisi akan berdendang “dari kunci C ke F”. Seorang penggila bola akan menjawab dengan semangat, “dari kotak penalti”. Dan seorang gadis cantik yang sedang digoda pengamen terminal akan menjawab dengan judesnya, “mau tau aja!”
Pertanyaan sesederhana itu bisa menimbulkan respon yang beragam. Sungguh mengesankan. Belum lagi bila dikombinasikan dengan kata lain sehingga terbentuk pertanyaan seperti ini, “aslinya dari mana, Mas?” Ini adalah satu pertanyaan yang cukup lucu. Bagiku, bila ada sesuatu yang dikatakan asli, pasti ada sesuatu yang lain yang berstatus tidak asli atau palsu. Untung saja tidak ada orang iseng yang bertanya, “palsunya dari mana, Mas?” Ada juga pertanyaan filosofis yang menuntut pikiran kita bergerak ke wilayah filsafat seperti, “asalnya dari mana, Pak?” Bila berbicara masalah asal-usul, apalagi manusia, hanya beberapa ahli teologi dan saintis yang dapat memberikan gambaran, bukan orang awam yang tidak menyukai pelajaran sejarah sama sekali.
Banyak sekali hal-hal dalam kehidupan kita yang dibahasakan secara tidak tepat, baik dari segi tata bahasa maupun maknanya. Namun, kita harus menyadari bahwa komunikasi itu dijalin bukan untuk saling menyakiti. Ada komunikasi yang baik, ada juga komunikasi yang benar. Baik berarti mampu dipahami oleh masing-masing pembicara, walaupun dari segi struktur bahasanya tidak sesuai dengan kaidah. Benar berarti sesuai dengan kaidah bahasa yang telah ada, namun seringkali menyebabkan suasana perbincangan menjadi kaku, sehingga menimbulkan kecanggungan. Oleh karena itu, kita diharapkan mampu mengetahui kapan waktu yang tepat untuk berbicara secara baik, kapan juga waktu yang tepat untuk menggunakan kata-kata yang baku atau resmi. Selain itu, kita juga harus tahu dimana dan dengan siapa kita berbicara. Tidak mungkin seorang sarjana ekonomi yang baru selesai makan di sebuah warung bertanya kepada penjual, “berapa biaya konsumsi yang harus saya keluarkan untuk pecel yang tadi saya makan, Bu?” Atau sangat jarang ditemukan ahli kimia yang berkata, “Bu, saya pesan air bening ya” pada saat makan malam di sebuah warung tenda. Cukup dengan mengatakan “air putih”, maka segelas “air bening” pun datang. Pertanyaan dan permintaan seperti itu tentu tidak salah secara makna, namun kurang tepat dari segi pemilihan tempat dan waktu.
Kadangkala kita ingin menjalani hidup ini dengan santai saja, berbicara apa adanya tanpa ada batasan-batasan tertentu, tertawa lepas tanpa ada yang merasa terganggu, berpakaian yang nyaman tanpa ada yang mencibir, bernyanyi tanpa ada yang menghujat suara kita, bercanda tanpa ada seorang pun yang menanggapinya serius, dan tidur dengan nyaman tanpa ada keributan. Itulah pentingnya kita berada di tempat dan waktu yang tepat. Bulan tidak akan secara egois menggeser posisi matahari pada pagi hari. Begitupun matahari yang tentu saja enggan bersinar di malam hari. Semua ada waktunya. Elang tentu akan kesusahan untuk berenang seperti bebek. Bebek pun tidak akan sanggup terbang di udara seperti elang. Semua memiliki tempat hidup masing-masing. Bahkan, membuang sampah pun tidak boleh di sembarang tempat. Mungkin kita mampu membuang bungkus permen yang kecil itu pada sebuah tempat yang bernama tong sampah, tapi kita belum mampu menahan diri untuk tidak mencaci, menghujat, dan berkata-kata kasar di depan orang lain. Cacian, hujatan, dan kata-kata kasar juga termasuk sampah, perlu dibuang di tempat yang tepat, bukan di gedung-gedung resmi seperti gedung DPR atau ruang pengadilan.
Hidup kita terlalu singkat untuk dilalui bersama pilihan tempat dan waktu yang salah. Oleh karena itu, renungkanlah kembali, sudah tepatkah tempat yang kita pilih saat ini, benarkah ini kendaraan yang tepat untuk semua mimpi kita, atau mungkinkan hanya waktu yang dapat menjawab semuanya. Bila masih ragu akan jawaban dari semua pertanyaan itu, belajarlah dengan nyaman di kampus atau sekolah saat ini, bekerjalah dengan penuh semangat di tempat kerja sekarang, dan cintai keluarga. Itu saja. Waktu akan memberi makna akan semua pilihan kita. Semoga bermanfaat.

Rabu, 03 Februari 2010

Catatan Pada Suatu Pagi..


Pagi ini, langit mulai menampakkan kemegahannya, mempersiapkan diri untuk kehadiran mentari. Aku dapat melihatnya. Syukur mataku tidak buta, ya Tuhan. Kicau burung mulai terdengar bersahut-sahutan, entah sedang bernyanyi atau bercerita. Aku dapat mendengarnya. Syukur telingaku tidak tuli, ya Tuhan. Udara pagi yang kuhirup benar-benar menyejukkan ragaku. Aku pun dapat merasakannya. Syukur hidungku tidak tersumbat, ya Tuhan. Sambutan alam yang begitu indah. Semuanya begitu nyata. Dapat kupandangi, kudengar, dan kurasakan.

Perlahan-lahan, cahaya mentari menerobos masuk melalui kaca jendela kamarku. Debu-debu yang berterbangan pun mulai nampak. Terasa begitu hangat cahaya itu saat mengenai kulitku. Ah, lagi-lagi harus kuakui bahwa ini nyata. Aku hidup. Aku hadir dalam kehidupan ini. Hari ini, bukan kemarin, apalagi besok. Dan nafas adalah satu-satunya hal yang menyadarkanku bahwa aku hidup di hari ini. Menyadarkanku dari lamunan, mimpi, dan khayalan yang entah kapan bisa terwujud. Setiap hirupan dan hembusannya seharusnya menjadi satu bukti kehadiran segenap pikiran dan tenaga kita yang utuh. Terkadang pikiran berkelana menembus batas ruang dan waktu. Melupakan hari ini dan menyisakan raga yang lemah tak berdaya seolah tak mampu digunakan untuk menjalani hari yang nyata ini. Kawan, bawa kembali pikiran itu, bernafaslah dengan tenang karena cara terbaik menghargai hari ini yaitu dengan menghargai nafas.

Tidak ingin terlena lebih lama lagi di tempat tidur, aku pun bergegas menuju kamar mandi. Membersihkan diri, dengan air tentunya. Seandainya air bisa membersihkan semua penat, lelah, gundah, curiga, dendam, dan amarahku, mungkin aku akan menghabiskan waktu yang lama di kamar mandi. Namun, percuma saja, air tak mampu melakukannya. Perlahan, aku pun kembali ke kamar. Mengenakan pakaian senyaman mungkin dan mulai mengarahkan pikiran kepada Sang Energi Tertinggi. Terkadang terasa getaran-getaran halus dalam diri, terkadang hilang begitu saja. Begitu damai…terasa ringan. Lepas sudah semua penat dan gundah itu. Terima kasih, ya Tuhan. Engkau hadirkan aku di dunia untuk bisa menyadari keberadaan-Mu melalui semua isyarat ini. Sungguh Maha Romantis. Engkau menampakkan kebesaran-Mu melebihi kemampuanku memandang semesta. Sungguh Maha Besar. Dan Engkau sentuh hati yang kotor ini dengan begitu lembutnya, wahai Sang Penyentuh Hati. Engkau membuatku tidak memiliki alasan untuk tidak mensyukuri semua nikmat ini.

Setelah seluruh raga terisi penuh dengan motivasi, barulah aku mulai sarapan dan bergegas untuk bekerja. Jalanan cukup ramai pagi hari. Pengedara motor dan mobil saling salip, bukan untuk menunjukkan siapa yang terbaik, hanya tidak ingin terlambat sampai tujuan. Ada yang harus menuju kantor, ada yang harus sekolah dan kuliah, ada yang harus bergegas ke pasar, dan ada juga yang baru pulang setelah mendapat giliran kerja malam. Mereka sekolah dan kuliah untuk bisa meningkatkan kualitas diri, sehingga berguna bagi keluarga, bangsa, dan Negara. Mereka bekerja untuk memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga dan orang-orang terkasih. Sungguh mulia. Semua orang ingin berarti. Dan inilah mengapa kita harus tanamkan bahwa bukan seberapa besar tempat dimana kita hidup sekarang, tapi seberapa besar manfaat yang bisa kita berikan di dalamnya.

Banyak hal yang tersirat di pagi ini. Masih banyak juga isyarat yang menunggu untuk diberi makna, oleh pikiran dan hati kita. Biarkan cerahnya pagi ini bersemayam dalam hati, membungkus semua mimpi, dan memberikan inspirasi serta motivasi. Semoga bermanfaat.

selsurya.blogspot.com, pada suatu pagi…

Selasa, 26 Januari 2010

Cilacap Part 2

Lanjutan dari Cilacap Part 1 (Kenangan Sebuah Perjalanan)!
Setelah puas berfoto-foto ria di telaga sunyi, perjalanan dilanjutkan ke Pancuran Tiga. Perjalanan ke Pancuran Tiga tidak kalah mengenaskan. Jembatan Gantung yang sudah direparasi tidak luput dari pandangan selama menyusuri jalan menuju Pancuran Tiga. Naik turun tangga membuat kakiku terasa ngilu. Lima puluh meter sebelum Pancuran Tiga ada sebuah tempat pemberhentian sementara. Kita semua beristirahat sebentar disana sambil melihat foto-foto yang banyak tertempel di dinding. Di tempat tujuan, banyak sekali orang-orang yang sedang berendam dengan santainya. Mungkin mereka percaya bahwa semua penat, lelah, dan rasa jenuh akan menguap bersama uap air hangat yang mereka pakai untuk berendam. Semoga saja. Secara perlahan aku mendekati sebuah tempat...dan ternyata disana terdapat tiga buat pancuran yang mengeluarkan air hangat. Tempatnya juga khusus, agak menjorok ke bawah. Namun, yang membuat semua penderitaan perjalananku tidak terbayarkan adalah : KETIGA PANCURAN ITU BUATAN MANUSIA!!!!! TIDAK ALAMI SAMA SEKALI!!!!


Badanku langsung remuk redam, luluh lantah tak berdaya. Lelahku selama perjalanan langsung mengumpul menjadi satu. Berbeda dengan Pancuran Tujuh yang sangat alami, Pancuran Tiga dibuat oleh tangan manusia dari semen dan sejenisnya, sehingga dihasilkan tiga pancuran yang kesemuanya memancurkan air hangat dan memancurkan amarahku!! Sabar...sabar...!

Setelah dari Pancuran Tiga, kita semua langsung menuju tempat makan soto di dekat salah satu Bank yang ada di Purwokerto. Tempatnya sebenarnya biasa saja. Satu porsi soto dihargai 6 ribu rupiah. Yang membuat kita semua terpana adalah orang-orang yang pernah mengunjungi tempat makan ini. Orang-orang itu diantaranya: Doni Sibarani (Ada Band), Dewa Budjana (Gigi), mantan Menteri Perhubungan yang khas dengan kepala botaknya, almarhum Taufik Safalas, dan Komar (Empat Sekawan). Pasti sotonya enak kalau sudah dikunjungi oleh banyak orang terkenal.

Soto datang tepat setelah alarm perutku berbunyi. Penampilannya penuh warna...!! Ada kerupuk yang berwarna merah, ada juga yang kuning, seperti lagu balonku ada sepuluh. Yang khas lagi, sambalnya menggunakan sambal kacang. Tehnya merupakan teh yang baik untuk kesehatan, yaitu teh yang tidak mengandung gula sama sekali. Satu hal saja yang membuat soto ini tidak bernilai sempurna, porsinya terlalu sedikit bagi anak kost seperti aku. Hanya beberapa suap saja, piring sudah bersih dari soto...!

Setelah kenyang, kita semua langsung kembali ke rumahnya si Om. Mas Eko langsung pulang setelah mengantar kita semua sampai rumah. Sepertinya badannya Mas Eko harus segera diistirahatkan di rumah. Kita pun beristirahat di rumah sambil mengenang indahnya perjalanan tadi.

Hari selanjutnya kita jalan-jalan ke Teluk Penyu. Kita berangkat pagi hari dari rumahnya si Om, sekitar jam 6. Supir kita kali ini adalah Dedi. Walaupun baru SMA, Dedi sudah lumayan handal menyetir. Nama lokasinya cukup bagus, tapi sayang disana sama sekali tidak ada penyu. Cuaca agak mendung sewaktu kita kesana. Pemandangannya lumayan indah, bersih, dan airnya sedang pasang. Seandainya cuaca agak bersahabat, mungkin kita berenam sudah sampai di Nusa Kambangan. Sayang sekali, kita hanya bisa melihat Nusa Kambangan dari jarak puluhan kilometer dari Teluk Penyu.



Dari Teluk Penyu kita kembali ke rumah si Om. Setelah menuntaskan kebutuhan jasmani di ruang makan, kita langsung mandi dan tidak lupa gosok gigi. Setelah ganteng, kita meluncur menuju Benteng Pendem. Bentengnya lumayan luas. Nuansa perangnya terasa. Ada banyak terowongan disana. Ada ruang peluru, ruang amunisi, penjara, dan banyak lagi. Jangan menyuruhku menjelaskan sejarah benteng ini, si Om saja, sebagai penduduk pribumi, tidak tahu. Setelah santai-santai di tepian pantai sambil minum es degan, kita semua pulang ke markas. Pulang untuk meninggalkan Cilacap dan kembali ke Surabaya. Namun, suatu saat kita pasti kembali lagi. Aku yakin.



Terima kasih untuk semua pengalaman ini, A2. Mudah-mudahan kita masih bisa merasakan nikmatnya berjalan-jalan dengan sedikit rencana, sedikit biaya, banyak bercanda, dan banyak berdoa. Semoga sukses selalu untuk kalian!