Sabtu, 17 Oktober 2009

Kasta: Perdebatan Sebuah Tangga


Tulisan ini dimaksudkan untuk melebarkan pemikiran-pemikiran yang semula terhimpit banyak pertanyaan, melapangkan hati yang semula kecil karena keraguan, dan mendinginkan emosi yang semula panas karena perdebatan. Aku bukan seorang ahli agama dan mungkin bukan orang yang tepat menuliskan hal ini, namun aku siap dan ikhlas. Siap untuk bertukar pikiran dan ikhlas untuk menerima saran. Aku hanya tidak ingin menjadi pribadi yang siap saat ini, namun terlalu lama menunggu sebuah ketepatan.
Banyak pertanyaan - dari rekan, kawan, maupun guru - yang pada akhirnya menjadi bara api semangat untuk menuliskan hal ini. Hal yang seringkali dianggap sebagai tradisi dan bahkan dianggap sebagai ajaran agama, khususnya agama Hindu.
Kata kasta bukan berasal dari bahasa Sansekerta, namun dari bahasa Portugis, Caste, yang artinya tingkatan-tingkatan. Kasta adalah stratifikasi masyarakat India pada masa lampau yang membeda-bedakan harkat dan martabat manusia berdasarkan keturunan. Munculnya kasta di India merupakan suatu persoalan yang banyak dikaji. E.A. Gait mengemukakan bahwa kemunculan kasta tidak terlepas dari kedatangan bangsa Arya. Bangsa Arya tidak suka perkawinan dengan suku lain yang dianggapnya lebih rendah derajatnya. Suku bangsa Arya di India menganggap suku Dravida lebih rendah harkat dan derajatnya. Dan seiring bergulirnya waktu, bangsa Arya kesulitan mendapatkan istri. Prof. Giles mengemukakan bahwa keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya percampuran darah antara suku bangsa Arya (yang berkulit putih) dengan bangsa Dravida (berkulit hitam). Percampuran suku bangsa Arya dan suku bangsa Dravida inilah yang mendatangkan pelapisan sosial yang tumbuh menjadi kasta (Wiana, 2006).
Kasta pada hakekatnya bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Di dalam ajaran agama Hindu terdapat sebuah landasan konsepsi kemasyarakatan yang bersumber dari kitab suci dan dikenal sebagai CATUR WARNA. Warna berasal dari bahasa Sansekerta, dari urat kata Vri, yang berarti memilih lapangan kerja. Catur Warna membagi masyarakat Hindu menjadi empat kelompok profesi secara PARALEL HORIZONTAL, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Warna ditentukan oleh guna (sifat, bakat, pembawaan) dan karma (perbuatan). Jadi, warna tidak dibeda-bedakan berdasarkan kelahiran.
Mudah-mudahan konsep ini menjadikan kita lebih arif dalam menilai dan bersikap. Perbedaan hadir bukan untuk diperdebatkan, namun untuk dihormati keberadaannya. Memang tidak semua perbedaan adalah baik, namun yakinlah bahwa yang terbaik pasti berbeda. Tidak ada yang lebih memilukan hati daripada penilaian harkat, martabat, dan derajat manusia yang hanya berlandaskan kelahiran. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita hadir sebagai pribadi yang mampu menempatkan diri dalam keberagaman disertai cinta penuh penghormatan. Semoga damai di hati, di dunia, dan damai selalu.

1 komentar:

  1. damai?
    akankah tercipta ketika keangkuhan manusia tetap bertahta?

    BalasHapus