Kamis, 29 Oktober 2009

Chemistry is all about life..!!


Catatan ini bukan semata-mata untuk menyombongkan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam, bukan pula untuk merangkum segala isi alam semesta dalam satu kata, yaitu kimia, terlebih lagi bukan untuk ajang promosi salah satu jurusan terkenal di ITS. Buang semua pikiran itu..! Catatan ini dimaksudkan untuk sedikit memotivasi teman-teman yang karena angin nasib dipertemukan secara mendadak dengan tabung reaksi, erlenmeyer, buret, spatula, botol semprot, dan pengaduk. Jangan mengeluh, apalagi pindah jurusan, jalani saja dengan ikhlas..!
Sebagai seseorang yang pernah menduduki bangku kuliah selama 4 tahun di jurusan kimia, aku tidak asing lagi dengan istilah bahan kimia. Bahan kimia tersebut ada yang berbahaya dan banyak sekali yang bermanfaat bagi kehidupan. Berbicara mengenai bahan kimia, aku teringat percakapan seorang ibu dan pedagang tahu di pasar;

Ibu : “Pak, kok tahunya agak keras, pasti pake bahan kimia ya?”
Penjual tahu (PT) : “Nggak kok Bu, ini tahu baru. Percaya deh...Rasanya enak, harganya murah!!”

Sepintas percakapan tersebut sangat sederhana, namun telah sukses menggeser makna dari “bahan kimia” ke arah konotasi yang negatif. Sekarang, yang menjadi pertanyaan selanjutnya terkait percakapan di atas adalah, apakah mungkin penjual tahu tersebut membuat tahu tanpa bahan kimia? Apakah dengan segenap tenaga dalamnya, penjual tahu tersebut berhasil mensintesis tahu? Aku tidak perlu menjelaskan pembuatan tahu mulai dari penanaman bibit kedelai, tapi yang jelas bahan-bahan pembuat tahu adalah bahan kimia. Bahkan, tidak ada satu bahan pun di dunia ini yang tidak merupakan bahan kimia. Oksigen yang kita hirup, tempe penyet yang kita makan, air yang kita minum, obat yang kita konsumsi, dan tanah yang kita injak saat berjalan tidak lain dan tidak bukan adalah bahan-bahan kimia. Bukannya mau sombong, tapi ini fakta dan merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Eyang J.W. Dobereiner, Mbah J.A.R. Newlands, Bang Dmitri Mendeleyev, dan Mas Lothar Meyer yang dengan susah payah menyusun tabel periodik unsur-unsur kimia.
Ada juga percakapan yang masih kuingat sampai sekarang dengan seseorang yang bernama Burhan (bukan nama sebenarnya). Petunjuk : Kalimat dalam tanda kurung adalah perkataan dalam hati dan tidak diucapkan secara terang-terangan.

Burhan : “Denger-denger sekarang udah kuliah ya? Dimana?”
Yuda : “Iya dong, di ITS Surabaya.”
Burhan : “Ngambil jurusan apa?”
Yuda : “Jurusan kimia.”
Burhan : “Wah, pasti udah bisa bikin bom ya?!”
Yuda : “(Ya, buat ngebom rumahmu!!) Nggak kok, belum sampe sana pelajarannya.”
Burhan : “Nanti kalo udah bisa, ajarin ya!”
Yuda : “(Ya pasti dong, kamu kan korban pertamaku) Iya deh, tapi jangan untuk hal-hal yang negatif ya!”

Aku tidak tahu Burhan bercanda atau tidak, tapi yang lebih penting lagi penilaiannya tentang ilmu kimia sendiri sangat sempit, hanya sebatas bom. Banyak orang awam, yang tidak berkecimpung langsung dalam bidang kimia, memandang ahli-ahli kimia adalah orang-orang yang mahir dalam pembuatan bom. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya salah karena tidak semua orang bisa merakit bom tanpa pengetahuan kimia yang memadai, tetapi tidak bisa dijadikan tolak ukur penilaian ilmu itu sendiri. Kimia itu luas Bro...! Luas...!!

Ada juga percakapan yang cukup memilukan hati terkait ilmu kimia ini. Tapi orang yang berbicara sudah kumaafkan lahir dan batin.

Miss. X : “Ilmu kimia yang kalian pelajari di bangku kuliah hanya akan terpakai tidak lebih dari 5% di dunia kerja.”
Yuda : (Mbak dapet data dari mana? Tahun berapa? Yang buat masih hidup nggak? Sample perusahaannya apa aja? Simpangannya berapa? Udh di uji-t belum? Kalo aku jadi dosen, pasti lebih dari 5% donk?! Nggak mungkin kan dosen kimia pake hanya 5% ilmu kimianya?!)
Miss. X : “Oleh karena itu, siapkan dirimu menghadapi tantangan dunia kerja!”
Yuda : (Gimana kalo Mbak aja yang t’tantang berkelahi?)

Semangatnya sih boleh, tapi jangan pake data yang merendahkan kualitas ilmu kimia donk! Gimana mau semangat belajar kalo tahu bahwa ilmu kimia yang dipake cuma sedikit dalam dunia kerja? Teruslah belajar, kejar ilmu setinggi langit, jadikan bermanfaat bagi Nusa, Bangsa, dan agama. Kita tidak bisa hitung persentase ilmu yang kita serap, kita lupakan, dan kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada rumusnya. Semua pengetahuan yang kita miliki pada akhirnya membentuk karakter kita, dan menjadikan kita pribadi yang unik. Perhitungan seperti itu sungguh tidak penting. Hitunglah sesuatu yang dapat meningkatkan motivasi kita dalam bekerja, berkarya, dan beramal. Lupakan saja semua rumus yang dapat melemahkan motivasi kita akan semua hal yang baik.
Teruslah berjuang dan berkarya, hidup Kimia, hidup Indonesia..!

Sabtu, 24 Oktober 2009

Satu Pusat Yang Sama (Cahaya Putih)..


Sesuatu yang nampak paling indah di langit ketika hujan mulai mereda dan matahari mulai bersinar kembali adalah pelangi. Paduan warnanya sungguh menyejukkan hati. Kehadirannya seolah-olah mengisyaratkan bahwa hujan telah berlalu dan mari kita sambut sesuatu yang baru. Warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu berpadu dengan komposisi yang seimbang. Komposisi yang saling mendukung satu sama lain untuk menyebarkan pesona keindahan langit. Langit pun tersenyum seraya mengetuk hati kita bahwa hidup bukan tentang dominasi, tetapi tentang keseimbangan menuju keindahan.
Ada yang tersurat, ada pula yang tersirat. Ada yang nampak, ada pula yang tersembunyi penuh makna. Begitulah cara alam mengajar kita. Keindahan warna pelangi ini pun menjadi satu materi penuh arti.
Warna hadir secara khas dengan tingkat energinya. Rentang panjang gelombang tertentu pada cahaya tampak menghadirkan warna tersendiri. Sebagai contoh, warna merah memiliki panjang gelombang yang lebih panjang daripada warna hijau, sedangkan warna ungu memiliki panjang gelombang yang lebih pendek daripada warna hijau. Hal inilah yang sesungguhnya menjadi alasan ilmiah mengapa seseorang cenderung menyukai warna tertentu. Ada kesesuaian tingkat energi yang dibawa oleh warna tersebut dengan tingkat energi emosi seseorang. Tidak ada satu warna yang lebih baik dari warna yang lain. Semuanya berada pada rentang panjang gelombang yang tepat.
Keseluruhan rentang panjang gelombang cahaya tampak dikandung oleh sebuah cahaya, yakni cahaya putih. Putih sesungguhnya bukanlah warna, tetapi lebih kepada kesan yang ditimbulkan oleh kehadiran warna-warna (mejikuhibiniu) dengan proporsi yang seimbang. Pengertian ini dapat diperkuat dengan memerhatikan perputaran sebuah benda/bangun berbentuk lingkaran yang telah diberikan warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Warna-warna tersebut berada pada posisinya masing-masing dalam lingkaran dengan proporsi yang sama satu sama lain dan berputar pada SATU PUSAT YANG SAMA, sehingga cahaya putih merekah dengan indah. Titik pusat inilah yang menjadi penyebab beragam warna yang ada memancarkan cahaya putih. Tidak ada lagi perbedaan, semuanya tampak satu. Tidak ada dominasi dan arogansi, hanya tentang keseimbangan...itu saja. Tampak sederhana, namun penuh makna.
Mungkin hanya ini yang dapat aku bagi dengan segala kekurangan yang ada. Memang terlampau mudah untuk mengetahui tanpa memahami, untuk memahami tanpa merasa, dan merasa tanpa bertindak. Bila hal kecil ini bisa memberi sedikit inspirasi, aku sangat terhibur. Bila hal kecil ini menyebabkan satu langkah berarti, aku sangat bersyukur. Namun, bila tidak ada sedikit pun makna yang tertangkap, aku mohon maaf, mudah-mudahan kebaikan datang dari segala penjuru.

Kamis, 22 Oktober 2009

Semakin Dilupakan, Semakin Muncul..


Pernahkan teman-teman memiliki keinginan untuk melupakan sesuatu? Sesuatu tersebut bisa saja berupa hal, peristiwa, ataupun seseorang. Atau seberapa seringkah hal-hal yang ingin dilupakan tersebut muncul kembali dalam benak teman-teman sekalian? Cukup jawab kedua pertanyaan tersebut dalam hati saja, jangan berteriak..(please!) karena akan sangat mengganggu rekan di samping Anda yang sedang online juga...hehe.
Banyak diantara kita (termasuk penulis) sering merasa amat kesulitan untuk melupakan suatu peristiwa atau kejadian di masa lalu, entah itu berupa momen-momen indah bersama orang terkasih ataupun tragedi dan bencana yang mengguncang jiwa. Namun, disisi lain seringkali dengan tanpa bersalahnya kita melupakan nama teman yang baru beberapa detik saja berkenalan dengan kita, melupakan rumus luas bangun prisma tegak segitiga yang baru beberapa saat kita hapalkan, atau melupakan hutang-hutang finansial kita di masa lalu. Semuanya tidak terlepas dari kinerja otak kita.
Sesuatu menjadi sulit dilupakan seringkali karena sesuatu tersebut telah sukses menyentuh tidak hanya ranah logika, tetapi juga perasaan. Banyak orang mudah melupakan sesuatu karena tidak menyentuhkan sesuatu tersebut ke dalam emosinya. Tidak merasa begitu berminat atau tertarik terhadap sesuatu, sehingga menjadi sangat mudah untuk melupakannya. Banyak pasangan kekasih mengingat tanggal jadian mereka karena emosi kegembiraan mereka terlibat langsung dalam momen bersejarah itu. Namun, apa yang terjadi saat siswa SD kelas IV ditanyakan tentang tanggal kelahiran Raden Ajeng Kartini? Sebagian siswi antusias membuka buku sejarah mereka karena merasa naluri kewanitaan mereka terpanggil, dan sebagian lagi lupa dan acuh tak acuh karena menganggap peristiwa tersebut terjadi jauh hari sebelum mereka lahir. Hal ini membuktikan bahwa banyak diantara siswa SD tersebut yang tidak hadir saat kelahiran R.A. Kartini, sehingga emosi mereka pun menjadi tidak tersentuh..(lho?)
Banyak hal yang menyebabkan seseorang sulit melupakan suatu kejadian. Bisa karena kejadian tersebut terlalu pahit atau bisa juga karena terlalu manis untuk dilupakan (grup band Slank). Sebelum melupakan sesuatu, kita harus tahu objek yang akan dilupakan. Proses mencari tahu objek ini disebut dengan proses mengingat. Jadi, sebelum proses melupakan, terjadi proses mengingat. Inilah yang menyebabkan kita sulit melupakan. Lalu bagaimana caranya agar sesuatu itu bisa hilang dari ingatan? Bayangkan ada suatu lahan yang subur. Lahan tersebut ditumbuhi tanaman bunga matahari, namun ada satu tanaman lain yang tidak diharapkan kehadirannya. Proses melupakan sama halnya dengan mencabut paksa tanaman tersebut yang pada akhirnya menjadikan lahan rusak akibat pergerakan akarnya yang mendadak. Lantas bagaimana caranya agar tanah tidak rusak? Caranya yaitu dengan tidak merawat tanaman tersebut dan membiarkannya mati yang pada akhirnya menjadikannya pupuk bagi lahan.
Semuanya butuh waktu dan tentu saja melibatkan kesabaran. Itu semua dilakukan agar lahan/tanah tetap subur. Proses melupakan yang disertai dendam sama halnya dengan memberikan racun bagi tanaman yang tidak dikehendaki keberadaannya. Tanaman tersebut memang akan mati, namun lahannya pun akan rusak yang tidak jarang disertai kematian tanaman-tanaman lain yang diharapkan keberadaannya. Proses merawat bunga matahari dengan menyiram dan memberi pupuk sama halnya dengan memberi emosi-emosi positif yang datang dari lubuk hati, sehingga bunga matahari tetap mekar dan tumbuh dengan subur. Sebagai penutup, marilah kita rawat bersama hamparan lahan dimana seluruh bunga matahari mekar dengan indahnya.

Rabu, 21 Oktober 2009

Doa adalah Katalis Terbaik..


Tulisan ini terinspirasi dari pertanyaan seorang teman tentang mekanisme reaksi yang terjadi pada roti yang telah diberi label "terima kasih" dan "kamu bodoh" (percobaan dengan menggunakan roti ini tertuang dalam catatanku yang berjudul "Ketika Air sedang Mengajar (Part 2)"). Tidak mudah menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan mekanisme reaksi, apalagi bahan yang aku gunakan sebagai objek penelitian hanyalah 3 potong roti. Banyak faktor pendukung yang dibuat tidak berbeda satu sama lain (berat roti, kondisi botol, dan kondisi tempat penelitian). Perbedaannya hanya terletak pada label dan kata-kata yang diberikan. Dan sekarang, aku akan mencoba menjawabnya melalui pendekatan teori katalis.
Katalis adalah suatu zat yang berperan sebagai pemercepat reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasi reaksi tersebut. Dengan kata lain, katalis adalah pihak ketiga yang menyebabkan suatu reaksi berjalan lebih cepat daripada seharusnya (tanpa diberi katalis). Bila pengertian di atas masih terlalu rumit, anggaplah katalis sebagai "makcomblang" yang menyebabkan terjalinnya hubungan satu orang dengan orang lainnya menjadi lebih cepat. Dalam menjalankan tugasnya, katalis pun mengambil bagian dalam reaksi, tetapi tidak mengalami perubahan kimia yang permanen (be careful Guys!). Mengingat perannya sebagai "makcomblang" inilah, maka proses pemilihan katalis menjadi sangat penting adanya.
Konsep di atas merupakan konsep katalis berbasis materi (zat). Terkait dengan "percobaan roti", aku akan mencoba memaparkan sebuah konsep yang aku beri nama konsep katalis berbasis energi. Perbedaan kedua jenis katalis ini terletak pada wujudnya saja, namun memiliki fungsi yang sama, yaitu mempercepat reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasinya. Satu-satunya hal yang paling tepat untuk memaparkan konsep katalis berbasis energi ini adalah DOA. Doa adalah sepaket energi yang kita keluarkan dari lubuk hati menuju Energi Yang Maha Besar. Hati (Heart) merupakan pemancar energi yang sangat potensial dalam diri kita. Penelitian yang dilakukan HeartMath Institute menunjukkan bahwa medan magnet dari hati bahkan 5000 kali lebih kuat daripada yang ditimbulkan oleh otak (Franckh, 2009)
Agar dapat dibawa ke dunia luar, energi dari hati ini membutuhkan sebuah media. Media yang dimaksud terkenal dengan beberapa nama, diantaranya: medan kuantum, medan matriks, atau kuantum hologram. Medan energi ini memungkinkan kita terhubung dengan apapun dan dengan siapapun, secara sadar atau tidak. Menjadi jelaslah bahwa doa memberikan suatu mekanisme reaksi tersendiri terhadap sesuatu dan bekerja dalam dimensi energi.
Mohon maaf bila konsep ini mengaburkan perihal teknis karena bagaimanapun juga alam semesta tidak diciptakan untuk bisa dimengerti hanya oleh logika. Biarlah logika dan perasaan menempatkan dirinya masing-masing dalam memaknai hidup ini. Logika tanpa perasaan hanya akan mendatangkan keangkuhan, sedangkan perasaan tanpa logika menyebabkan kerapuhan. Bersyukurlah kita yang telah dianugerahkan-Nya logika dan perasaan ini.

Sabtu, 17 Oktober 2009

Kasta: Perdebatan Sebuah Tangga


Tulisan ini dimaksudkan untuk melebarkan pemikiran-pemikiran yang semula terhimpit banyak pertanyaan, melapangkan hati yang semula kecil karena keraguan, dan mendinginkan emosi yang semula panas karena perdebatan. Aku bukan seorang ahli agama dan mungkin bukan orang yang tepat menuliskan hal ini, namun aku siap dan ikhlas. Siap untuk bertukar pikiran dan ikhlas untuk menerima saran. Aku hanya tidak ingin menjadi pribadi yang siap saat ini, namun terlalu lama menunggu sebuah ketepatan.
Banyak pertanyaan - dari rekan, kawan, maupun guru - yang pada akhirnya menjadi bara api semangat untuk menuliskan hal ini. Hal yang seringkali dianggap sebagai tradisi dan bahkan dianggap sebagai ajaran agama, khususnya agama Hindu.
Kata kasta bukan berasal dari bahasa Sansekerta, namun dari bahasa Portugis, Caste, yang artinya tingkatan-tingkatan. Kasta adalah stratifikasi masyarakat India pada masa lampau yang membeda-bedakan harkat dan martabat manusia berdasarkan keturunan. Munculnya kasta di India merupakan suatu persoalan yang banyak dikaji. E.A. Gait mengemukakan bahwa kemunculan kasta tidak terlepas dari kedatangan bangsa Arya. Bangsa Arya tidak suka perkawinan dengan suku lain yang dianggapnya lebih rendah derajatnya. Suku bangsa Arya di India menganggap suku Dravida lebih rendah harkat dan derajatnya. Dan seiring bergulirnya waktu, bangsa Arya kesulitan mendapatkan istri. Prof. Giles mengemukakan bahwa keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya percampuran darah antara suku bangsa Arya (yang berkulit putih) dengan bangsa Dravida (berkulit hitam). Percampuran suku bangsa Arya dan suku bangsa Dravida inilah yang mendatangkan pelapisan sosial yang tumbuh menjadi kasta (Wiana, 2006).
Kasta pada hakekatnya bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Di dalam ajaran agama Hindu terdapat sebuah landasan konsepsi kemasyarakatan yang bersumber dari kitab suci dan dikenal sebagai CATUR WARNA. Warna berasal dari bahasa Sansekerta, dari urat kata Vri, yang berarti memilih lapangan kerja. Catur Warna membagi masyarakat Hindu menjadi empat kelompok profesi secara PARALEL HORIZONTAL, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Warna ditentukan oleh guna (sifat, bakat, pembawaan) dan karma (perbuatan). Jadi, warna tidak dibeda-bedakan berdasarkan kelahiran.
Mudah-mudahan konsep ini menjadikan kita lebih arif dalam menilai dan bersikap. Perbedaan hadir bukan untuk diperdebatkan, namun untuk dihormati keberadaannya. Memang tidak semua perbedaan adalah baik, namun yakinlah bahwa yang terbaik pasti berbeda. Tidak ada yang lebih memilukan hati daripada penilaian harkat, martabat, dan derajat manusia yang hanya berlandaskan kelahiran. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita hadir sebagai pribadi yang mampu menempatkan diri dalam keberagaman disertai cinta penuh penghormatan. Semoga damai di hati, di dunia, dan damai selalu.

Kamis, 15 Oktober 2009

Atom: Samudera Kerendahan Hati


Kata atom sudah tidak asing lagi di telinga para kimiawan, fisikawan, binaragawan, dan kawan-kawan sekalian. Secara sederhana, atom didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi lagi. Dapat diartikan pula bahwa atom adalah penyusun suatu materi. Definisi ini cukup memberikan suatu gambaran sederhana bahwa ada sesuatu yang kecil sebagai penyusun sesuatu yang lebih besar. Banyak orang “beranggapan” (karena memang tidak dapat melihatnya) bahwa atom adalah penyusun terkecil suatu unsur. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya tepat karena atom juga terdiri dari beberapa elemen penyusun, diantaranya elektron, neutron, dan proton. Apakah elektron merupakan elemen yang terkecil? Jawabannya tentu saja bukan karena masih ada kuark dan kawan-kawannya yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberi kebingungan baru terhadap definisi atom, hanya ingin membeberkan fakta sederhana tentang atom tanpa kehilangan segi keilmiahannya.
Banyak orang di zaman dahulu ingin meneliti “isi” dari atom. Bukan karena kurang kerjaan, tapi hanya dengan hal demikianlah seorang ilmuwan mempercayai sesuatu. Keingintahuan para ilmuwan tersebut membawa mereka hanyut dalam beragam penelitian. Hal inilah yang menyebabkan seseorang bernama Ernest Rutherford melakukan penelitian dengan menggunakan sinar alfa. Penelitian Rutherford terdiri atas penembakan foil emas tipis dengan menggunakan sinar alfa dan mengamati pembelokannya lewat kerlipan yang dihasilkan pada layar ZnS (seng sulfida). Yang paling menarik dari penelitian Rutherford ini adalah perilaku sinar alfa setelah ditembakkan dan mengenai foil emas tipis tersebut. Ada sinar yang terbelokkan dengan sudut yang besar, sebagian kecil “dipantulkan” oleh sesuatu, dan sebagian besar bergerak lurus melewati foil. Ini berarti bahwa sebagian besar atom tersebut terdiri atas ruang hampa (kosong) sehingga sinar alfa dapat menembusnya tanpa mendapat halangan sedikitpun dan sebagian kecilnya terdiri atas sesuatu yang kemudian dikenal sebagai inti atom.
Menjadi begitu bermakna ketika “kekosongan”atom ini menjadi dasar perilaku hidup kita. Tidak jarang dijumpai bahwa sesuatu yang tampak berisi sesungguhnya adalah kosong namun bukan tanpa arti. “Kekosongan” atom ini jangan diartikan bahwa tidak ada yang berguna dalam hidup. Apalagi sampai diartikan bahwa hidup itu hanya kekosongan belaka. Itu pengertian yang terlalu ekstrem. “Kekosongan” atom ini baiknya dimaknai bahwa kerendahan hati menjadi penting dalam hidup. Menjadi tidak sepantasnya kita menjadi angkuh karena menganggap diri paling “berisi” (paling pintar, paling ganteng, paling cantik, paling kaya, paling terkenal, dan paling berkuasa). Bila kita sulit mendapat pemahaman dari hal-hal yang besar, ada baiknya kita memahami hal-hal kecil. Dan atom telah mengajarkan kepada kita semua untuk menjadi “kosong” dalam “keberisian” yang tampak. Aku tidak bermaksud menggurui, hanya ingin berbagi hal yang indah. Aku pun ingin belajar untuk senantiasa berjalan dalam kedamaian hidup bersama kerendahan hati. Seorang guru pernah bertutur bahwa hidup itu harus besar dan luas, namun sederhana dalam sikap. Hal ini menyiratkan bahwa kesederhanaan bukan tumbuh karena kita tidak memiliki apa-apa, tetapi justru muncul karena kita memiliki banyak sekali hal yang tidak ada satupun diantaranya menjadi pantas untuk disombongkan. Sebagai penutup, mudah-mudahan hal yang kecil ini dapat menjadi samudera pemahaman bagi kita semua untuk selalu rendah hati dalam bersikap, sehingga kedamaian mewujud dengan ikhlas.

Sabtu, 03 Oktober 2009

Ketika Air sedang Mengajar (Part 2)


Thanks to Dr. Masaru Emoto..
Seandainya Bapak Masaru Emoto membuka blog ini dan memahami isinya, aku sangat terharu karena tulisan ini aku dedikasikan secara khusus kepada beliau dan secara umum kepada siapapun yang dengan sengaja atau tidak telah mengklik judul di atas.
Dari semua catatan yang telah aku buat, catatan ini yang paling berkesan. Bukan karena judulnya adalah lanjutan dari catatan sebelumnya, bukan karena aku penggila air, bukan juga karena ingin menyaingi Kang Habib yang telah menelurkan karya berjudul Ketika Cinta Bertasbih..(lho?), tapi karena telah aku buktikan sebelumnya bahwa ada satu kekuatan yang bisa mengubah segalanya.
Bukan tanpa alasan aku mengucapkan terima kasih kepada Dr. Masaru Emoto. Penelitiannya tentang air menunjukkan bahwa air membentuk kristal heksagonal paling indah jika diberikan kata “cinta dan terima kasih” dan tidak membentuk apapun atau malah menjadi kacau ketika diberi kata “kamu bodoh”. Bagaimana caranya? Pertama, air dimasukkan ke dalam botol gelas, lalu diberikan informasi ke air tersebut seperti sebuah kata, gambar, atau musik. Kedua, air diletakkan pada beberapa buah cawan petri (bagi yang bukan orang kimia silahkan search “cawan petri” pada Google agar diperoleh gambaran yang lengkap, terima kasih) berukuran diameter 5 cm. Ketiga, cawan-cawan ini dibekukan dalam freezer dengan suhu -25 derajat celcius atau lebih rendah. Tiga jam kemudian cawan-cawan tersebut dikeluarkan, maka terbentuk butir-butir es dengan bagian tengah yang membulat akibat tekanan permukaan. Setiap butir es lalu dilihat di mikroskop. Untuk melihat foto-foto kristal air yang telah diberikan informasi tertentu, silahkan membeli buku karya Masaru Emoto yang berjudul The True Power of Water di toko buku terdekat (bukan promosi, hanya menyarankan saja).
Tidak ingin kalah dengan pak Masaru, pada tanggal 28 Juli 2009 aku pun mencoba penelitian yang hampir mirip. Karena aku tidak memiliki mikroskop seperti yang dimiliki pak Masaru, maka objek penelitiannya diganti, bukan air, tetapi roti tawar. Roti tawar dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam 3 botol yang telah dicuci bersih sebelumnya. Botol pertama diberi label “kamu bodoh”, botol kedua tidak diberi label, sedangkan botol ketiga diberi label “terima kasih”. Ketiga botol kemudian ditutup rapat.

Hampir setiap hari botol itu kupandangi. Sesekali kupegang sambil kuucapkan dalam hati secara berulang-ulang kata-kata seperti pada labelnya masing-masing dengan penuh keyakinan dan keseriusan. Untuk botol yang tidak ada labelnya, aku tidak pernah menyentuhnya apalagi memberikan informasi berupa kata-kata. Hari demi hari berlalu hingga akhirnya aku sampai juga pada tanggal 3 Oktober 2009. Aku kaget, hampir tidak bisa berkata-kata. Sungguh, aku hampir tidak percaya. Mudah-mudahan gambar di bawah cukup menjelaskan.



Tidak perlu banyak berbicara. Cukuplah bentuk dan warna roti yang menjelaskan. Saudaraku, semua materi di dunia ini bisa berubah. Tidak ada yang kekal selain perubahan itu sendiri. Penelitian kecil ini mudah-mudahan menyadarkan kita semua akan kekuatan doa dan kebesaran Tuhan. Dr. Masaru Emoto telah membuka pikiran kita semua. Bukan tanpa alasan beliau memilih air sebagai objek penelitian karena air adalah penyusun utama tubuh kita. Pilihan sudah ada di depan mata, kita tinggal memilihnya. Tetap mengumpat atau terus bersyukur. Sebagai pesan terakhir, jangan lupa berdoa sebelum makan dan minum agar tubuh kita tetap sehat karena di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat pula. Salam olahraga….(“,)!!!!!

selsurya.blogspot.com

Jumat, 02 Oktober 2009

Sesungguhnya Tuhan tidak Murka..


Terdengar lagi rintihan anak bangsa diantara puing-puing bangunan yang runtuh, hancur, dan menyatu dengan tanah. Banyak orang yang mulai mengelus dadanya, berlari tak tentu arah menyelamatkan diri, dan berteriak meminta bantuan. Masih adakah yang bisa tertawa melihat saudara-saudaranya ditimpa bencana dan dengan sekejap dipanggil oleh Yang Maha Kuasa? Masih adakah yang hanya berdiam diri dan menganggap kejadian ini adalah hal yang biasa? Masih adakah yang sedang berpikir bahwa saat ini Tuhan sedang murka?
Sahabatku, manusia adalah sebaik-baik ciptaan-Nya. Diberikan akal, pikiran, dan hati nurani untuk berpikir jernih, berperasaan baik, dan berbuat untuk semakin mendekatkan diri pada-Nya. Masihkah ada dalam pikiran dan perasaan kita semua bahwa Yang Maha Baik itu menyimpan dendam pada kita sehingga harus melampiaskannya dalam bentuk kemurkaan? Masihkan hati nurani kita berbicara bahwa Yang Maha Mulia itu sudah begitu membenci ciptaan terbaiknya? Sungguh, jangan pernah berpikir demikian sahabatku, saudaraku, dan siapapun yang masih ingin dimuliakan oleh-Nya.
Pernahkan sesekali bercermin dalam diri seraya merenung bahwa apa yang terjadi di luar diri kita adalah buah dari pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan kita selama ini? Masihkan disangsikan lagi kebenaran hukum sebab akibat itu? Maaf bila terlalu banyak pertanyaan dalam tulisan ini. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak perlu dijawab, hanya perlu direnungkan agar pikiran, kesadaran, dan perasaan yang telah jauh mendekat kepada-Nya.
Tidak menjadi indah ketika sifat murka disandingkan kepada Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang umat, Yang Maha Pemberi rezeki, Sang Pemelihara alam, Sang Juruselamat, Sang Pelebur Dosa, dan Yang Maha Tunggal. Manusia seakan-akan tidak mampu memikul tanggung jawab atas semua perbuatan di dunia ini dan dengan sengaja menyerahkan tanggung jawab itu kepada Sang Pencipta. Kembalilah ke dalam diri kita, Sahabatku. Renungkanlah segala perbuatan kita selama ini. Bersama-sama kita dekatkan diri dan kembali kepada-Nya. Tidak pernah terlambat bagi siapapun yang ingin menjadi seberuntung orang-orang yang bertobat. Aku pun ingin kembali, aku pun ingin mendekatkan diri setelah pergi jauh…jauh sekali. Maafkan karena aku lupa bercermin, Tuhanku. Sesungguhnya Engkau telah memberikanku cermin hati yang tidak dapat menyembunyikan segala kelebihan dan kekuranganku.

Turut berduka cita atas tragedi gempa Sumatera dan tsunami Pasifik..Semoga senantiasa ada kesabaran diantara tetes-tetes air mata yang jatuh dan lantunan doa yang tulus dari banyak hati yang bergetar...

selsurya.blogspot.com, 2 Oktober 2009