Senin, 24 November 2014

Orang yang Angkuh

Kami sedang sama-sama menunggu takoyaki yang sedang diolah sang koki. Saya duduk di sebuah kursi plastik, sedangkan lelaki ini berdiri sekitar 1 meter di samping saya. Tangannya terlipat di depan dada, semakin memperjelas bentuk otot-otot lengannya yang sangat terlatih mengangkat beban. Bajunya kaos hitam ketat, seperti ingin menunjukkan bentuk dada dan otot-otot perutnya. Tidak lupa juga kacamata hitam yang membuatnya tampak sebagai sosok lelaki yang sangat macho. "Angkuh," pikir saya.
Beberapa menit berlalu, dan akhirnya takoyaki 'lelaki macho' itu sudah siap untuk dibawa pulang. Dan mau tidak mau, dia harus melewati saya untuk mengambil makanannya. Saya perhatikan bagaimana dia bergerak dan berjalan, dan ketika melewati saya, badannya membungkuk, senyumnya terurai, dan ini yang membuat semua pikiran saya tentang dia rontok: Bibirnya mengucapkan, "Permisi Mas.." Sangat sopan! Semua penilaian saya tentang lelaki ini hancur lebur dalam sekian detik. Siapa yang sedang menonjolkan otot lengannya? Siapa yang sedang memamerkan otot dada dan perut? Siapa yang angkuh??!! Bukan lelaki itu, tapi pikiran saya tentang lelaki itu!
Tidak jarang kita..ehmm...saya menilai orang dari fisiknya, kemudian membuat penilaian keseluruhan sifatnya dari data fisiknya itu. Itu sangat angkuh! Saya yang angkuh, lebih tepatnya pikiran saya yang sedang angkuh. Ini permainan pikiran. Melihat sesuatu tidak seperti apa adanya, kemudian terjebak dengan penilaian-penilaian parsial, dibalut dengan emosi-emosi yang diambil dari 'lemari masa lalu'. Melihat orang dari 'otot tubuhnya', bukan dari 'otot hatinya'. Memang tidak mudah melihat 'otot hati' seseorang, namun bila hanya bermodalkan melihat 'otot tubuh' seseorang (tampilan fisik) kemudian melakukan penilaian sifat dan sikap, itu adalah cara tercepat untuk 'tersesat'.
Tidak semua yang kita pikirkan benar. Terkadang penilaian yang dilakukan pikiran kita didasarkan pada ketakutan kita sendiri, kesedihan yang pernah muncul di masa lalu, dan kenangan-kenangan lainnya. Menyadari itu saja sudah sangat bagus, karena nantinya, penilaian-penilaian kita, makna yang kita buat terhadap sesuatu, membawa kita kepada rasa-rasa tertentu. Rasa suka ataupun tidak suka, cinta ataupun benci. Dan ada yang pernah mengatakan begini, "Terimakasih karena telah mencintaiku, karena dengan begitu engkau telah meletakkanku di hatimu. Terimakasih telah membenciku, karena dengan begitu engkau telah meletakkanku di pikiranmu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar