Tampilkan postingan dengan label Status Keren. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Status Keren. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 Agustus 2015

Knock The Door

Jesus says, ”Knock and the door shall be opened unto you.” But please remember if it is a door or not. Don’t go on knocking on the wall, otherwise no door shall be opened unto you. And, in fact, when you knock at the door, when you really reach near the door, you will find it has always been open. It has always been waiting for you. A door is a waiting, a door is a welcoming, a door is a receptivity. It has been waiting for you, and you have been knocking on the wall.
What is the wall?
When you start through knowledge and not through being, you are knocking at the wall. Become, be! Don’t gather information. If you want to know love, be a lover. If you want to know God, be meditation. If you want to enter the infinite, be prayer. But be! Don’t know about prayer. Don’t try to accumulate what others have said about it. Learning will not help; rather, unlearning will help. Drop whatsoever you know, so that you can know. Drop all information and all scriptures, forget all Korans and Bibles and Gitas; they are the barriers, they are the wall. And if you go on knocking against that wall, those doors will never open, because there are no doors. And people are knocking against the Koran, knocking against the Vedas, knocking against the Bible, and no door opens.

#Osho

KESATUAN DENGAN KEHIDUPAN:

[Kesadaran yang memisahkan timbul dari kesadaran adanya “si aku” (“I”, “me”, “mine”, “myself”) yang berelasi dengan segala hal sebagai objek. Sebaliknya, kesadaran yang menyatukan adalah kesadaran sebelum tercipta paham adanya “si aku”. Kita, Anda dan saya, adalah kesadaran INI, kesadaran tak-berbentuk, tak-berobjek, tanpa ego.
Kesadaran INI mirip seperti ruang mahaluas tak-terbatas yang mendasari dan melingkupi semua bentuk-bentuk kehidupan. Apabila Anda menyentuh dimensi Kehidupan Tak-Berbentuk ini–sebuah Kesadaran Tak-berbentuk yang menyatukan–maka Anda akan mengerti bahwa Anda bukan memiliki hidup, tetapi Anda adalah hidup itu sendiri; Anda bukan memiliki Kesadaran, tetapi Anda adalah Kesadaran itu sendiri. Kesadaran INI bukan milik Anda, bukan milik saya; INI adalah Kesadaran Semesta, Universal, Ilahi. Kesadaran INI adalah Anda yang sesungguhnya.
.....Rasakan beberapa saat kemahaluasan dari Kesadaran atau Kehidupan Tak-Berbentuk yang adalah Anda yang sesungguhnya. Tinggallah dalam realisasi ini dalam beberapa saat dan perhatikan bagaimana Kesadaran Tak-Berbentuk ini bermanifestasi dalam dunia bentuk, meresapi dan melampaui segala hal yang Anda sadari.
.....Apabila Anda merealisasikan atau menghidupi Kesadaran Tak-Berbentuk ini sementara Anda hidup dan berelasi dalam dunia bentuk, maka Anda akan menemukan secara relative mudah kedamaian, kebahagiaan dan kelimpahan dalam hidup.]

#Romo Sudrijanta Johanes

Kamis, 09 April 2015

Jebakan Ego

Apakah jika saya mencintai kanan, saya harus membenci kiri?
Apakah jika saya mencintai gelap, saya harus membenci terang?
Apakah jika saya mencintai biru, saya harus membenci sesuatu yang bukan biru?
Apakah jika saya mencintai bunga, saya harus membenci sesuatu yang bukan bunga?
Apakah jika saya mencintai matahari, saya harus membenci bulan?
Apakah jika saya mencintai ketenangan, saya harus membenci keramaian?
Apakah jika saya mencintai kebersihan, saya harus membenci kekotoran?
Apakah jika saya mencintai kebaikan, saya harus membenci keburukan?
Apakah jika saya menganut agama tertentu, saya harus membenci orang-orang yang menganut agama lain?
Apakah jika saya tidak menganut agama tertentu, saya harus membenci orang-orang yang menganut agama?
Apakah jika saya mencintai makanan tertentu, saya harus membenci orang-orang yang mengharamkan makanan itu?
Apakah jika saya mengharamkan makanan tertentu, saya harus membenci makanannya dan orang-orang yang memakannya?
Apakah jika saya mencintai kebahagiaan, saya harus membenci kesedihan?
Apakah setiap rasa cinta yang tumbuh dalam diri harus diiringi hadirnya rasa benci sebagai bayangannya?
Apakah harus seperti itu polanya?
Apakah itu hanya semacam jebakan ego?
Mungkinkah pertikaian yang hadir di bumi ini bukan karena orang-orang tidak memiliki rasa cinta, namun memilikinya dan membenci bagian lain dari apa yang dicintainya?
Mungkin ini bukan kumpulan pertanyaan yang perlu dijawab, hanya perlu direnungi, karena masing-masing kita sebenarnya sudah sama-sama mengetahui jawabannya.

Apa Salahnya?

Apa salahnya punya rasa marah?
Kita menderita bukan karena kemarahan, tapi melawan dan menolak rasa marah yang muncul.
Apa salahnya punya rasa sedih?
Kita menderita bukan karena kesedihan, tapi melawan dan menolak rasa sedih yang muncul.
Apa salahnya punya rasa bosan?
Kita menderita bukan karena kebosanan, tapi melawan dan menolak rasa bosan muncul.
Apa salahnya punya rasa kecewa?
Kita menderita bukan karena kekecewaan, tapi melawan dan menolak rasa kecewa yang muncul.
Kita menderita bukan karena hadirnya rasa-rasa itu, tapi lebih karena menolak hadirnya rasa-rasa itu agar tampak kuat di hadapan orang lain, agar tampak hebat, agar tampak baik. Padahal, kekuatan seseorang itu terlihat bukan karena berhasil melawan, tapi berhasil menjadikan rasa-rasa itu sebagai kawan.

Kita Tetaplah Anak-Anak

Berapapun usia kita, kita tetaplah anak dari orang tua kita. Kadangkala, mereka memperlakukan kita seperti anak-anak, padahal kita merasa diri kita sudah 'besar'. Tapi, kita memanglah anak mereka, dan setiap orang memiliki sisi kanak-kanak di dalam dirinya masing-masing. Tidak perduli apakah orang itu remaja ataukah sudah dewasa.
Banyak orang yang mungkin rindu diomeli ibu, diceramahi bapak, dibawelin mama, dijewer kupingnya sama papa, ditanya hal-hal sepele tiap beberapa jam, masih diingetin mandi walaupun sudah besar, diingetin sembahyang padahal lagi males-malesan, tapi tidak bisa mengulang momen itu kembali. Bersyukurlah kalau kita masih dikaruniai mereka hingga saat ini. Kita mungkin mengeluh ibu kita cerewet, tapi jutaan orang di luar sana mungkin saja ingin mendengar kembali suara ibu mereka ketika ngomel. Kita mungkin juga mengeluh dengan sikap ayah kita, tapi mungkin saja ada banyak orang yang rela melakukan apa saja untuk bertemu ayah mereka beberapa saat hanya untuk memohon maaf dan mengucapkan terimakasih.
Bagi orang tua kita, kita tetaplah anak-anak. Bersyukurlah kita masih diingatkan bahwa ada sisi kanak-kanak di dalam diri kita, karena dengan menyadari sisi itulah kita memiliki kesempatan untuk lebih berbahagia, sekalipun kita merasa diri kita sudah dewasa. Dan kedewasaan bagi saya bukanlah tentang penolakan terhadap sisi kanak-kanak di dalam diri, apalagi berusaha menghilangkan sisi itu, tapi kemampuan untuk menyadari dan memeluknya dengan lebih hangat.

Rabu, 24 Desember 2014

Jing

Bila ada orang yang memakimu dengan sebutan 'anjing', tariklah napas lebih dalam, kemudian hembuskan..jangan ditahan, nanti pingsan..haha.
Sadari kalau memang ada rasa marah yang muncul. Rasa marah yang hadir karena ketidaktahuan kita bahwa ada sifat2 anjing yang perlu kita pelajari juga..karena bisa jadi sifat2 itu lebih mulia dari sifat kita sebagai manusia. 
Kalau ada yang menyebutmu 'babi', 'gajah', atau apapun..kemarahanmu yg muncul mungkin karena tidak tau bahwa ada sifat2 mulia dari hewan2 itu. Maka, dengan pola pikir itu, mungkin saja orang yang sedang menghinamu itu sedang memujimu.
Dan tenang saja, makian dan hinaan apapun yang terlontar kepadamu tidak menunjukkan siapa dirimu, tetapi hanya menunjukkan siapa diri pemaki dan penghinanya.
Teko yang berisi air putih hanya mengeluarkan air putih, teko yang berisi teh mengeluarkan teh, dan teko yang tidak berisi apa2, tidak mengeluarkan apa2, selain suara gaduh bila dipukul,,,dengan sendok!
Sekian dan terimakasih..anjing. 

Minggu, 14 Desember 2014

Perdebatan Tentang Listrik

Suatu sore, setrika lagi nongkrong sama teman-temannya di ruang tengah. Ada kulkas, kipas angin, mesin cuci, dan lampu. Setrika memulai obrolannya,
"Fren, menurut kalian, listrik itu apa sih? Bagiku listrik itu sesuatu yang ketika mengaliri tubuhku, tubuhku jadi makin panas. Dan ketika tidak mengalir lagi, tubuhku kembali seperti biasa."
"Kurang tepat kalo artinya seperti itu, Ka," kata kulkas kepada setrika. "Justru listrik itu adalah sesuatu yang membuat sekujur tubuhku merinding kedinginan, bukan malah semakin panas. Air bisa kuubah jadi es kalau listrik mengalir di tubuhku."
"Wah, ngawur aja kalian ini," mesin cuci mulai ngoceh. "Listrik gak ada hubungannya dengan panas dingin, justru listrik itu berhubungan dengan goyang. Kalo listrik mengalir, badanku maunya goyang aja..seger...campur apek!"
"Sudahlah, kalian ini sebenarnya belum tau apa-apa tentang listrik," kata lampu mulai memberi pencerahan. "Kalian ini makhluk-makhluk bawah, aku yang termasuk makhluk atas karena letakku di atap, jadi aku lebih mengerti tentang listrik dibanding kalian. Listrik itu adalah sesuatu yang mengubah kegelapan menjadi terang. Dari gelap terbitlah terang."
"Itu bukannya quote-nya ibu Kartini ya, Mpu?" potong kulkas.
"Tau apa kamu tentang ibu Kartini. Kamu belum lahir waktu beliau lahir," kata lampu.
"Iya nih, sok tau banget kamu, Kas..t'goyang..kapok!" ejek mesin cuci kepada kulkas.
Tidak beberapa lama, sang pemilik rumah yang sedari tadi mendengar perdebatan alat-alat elektroniknya itu mulai bersuara, "Kalian semua benar, apa yang kalian definisikan sebagai listrik sudah benar menurut persepsi kalian masing-masing. Kalian mempersepsikan listrik sesuai dengan fungsinya dalam diri kalian masing-masing. Seandainya saja kalian tidak banyak berdebat, hening saja sebentar, kalian akan tau bahwa listrik yang mengalir di tubuh kalian; setrika, kulkas, mesin cuci, lampu, tv, radio, laptop, hp, tab, panggangan roti, ac blender, solder, dll adalah listrik yang sama. Tidak ada bedanya. Yang berbeda adalah fungsi dan persepsi kalian. Itu saja."

Tentang Sabar

Sabar itu dimulai tepat setelah pikiran kita berhenti bertanya "sampai kapan?". Ketika kita masih berkutat dengan pertanyaan itu, sebenarnya kita masih belum memulai untuk sabar, kita hanya sedang menampung emosi di dalam diri kita sendiri.

Awal Rasa Cinta

Awal dari semua rasa cinta adalah penerimaan...penerimaan bahwa diri kita pantas untuk dicintai. Kalau kita tidak bisa mengerti dan mencintai diri kita sendiri, dari mana kita memiliki energi untuk mengerti dan mencintai orang lain?
Kadang, pertanyaan terpenting dalam hidup kita adalah pertanyaan yang tidak perlu lagi dijawab, hanya perlu direnungi, karena justru jawabannya sudah terkandung di dalam pertanyaannya itu.

Minggu, 07 Desember 2014

Reza Bakhtiar

Untuk sahabatku, yang juga seorang adik, dan bos 10.11..kata-kata ini bukan untuk mengobati rasa kehilangan yang ada di hatimu saat ini, bukan untuk mengusir rasa sedih yang saat ini sedang bertamu, dan bukan untuk menghapus kerinduan yang sedari kemarin hadir..kata-kata ini hanya penanda, bahwa aku ada di sampingmu, Kawan. Baik ketika rasa senang hadir di hatimu, maupun ketika kesedihan menyapa.
Menangislah, bukan untuk menendang kesedihan itu, bukan untuk memukul rasa bersalah itu, tapi untuk mendekapnya, memeluknya lebih erat dari biasanya. Sampai rasa sedih itu sedih untuk berlama-lama hadir di hatimu. Hingga rasa bersalah itu merasa bersalah bila harus menetap lebih lama di hatimu. Mereka bukan musuhmu, mereka hanya bukan dirimu. Dirimu bukan rasamu, bukan juga pikiranmu. Mereka semua hanya tamu-tamu dalam semesta kecilmu. Engkau abadi, begitu pula dengan sosok yang kau tangisi saat ini.
Menangislah, namun jangan merasa lemah. Engkau kuat dan aku bisa melihat itu. Air matamu saat ini bukan tanda kelemahan, namun kejujuran akan perasaanmu sendiri. Keberanian yang sejati hadir bukan karena ketiadaan rasa takut, tapi karena kejujuran dalam mengakui keberadaan rasa takut itu. Kebahagiaan yang hakiki juga hadir bukan karena ketiadaan rasa sedih, tapi karena keikhlasan dalam memeluk rasa sedih itu. Air matamu mengajarkanku tentang kejujuran dan keikhlasan ini, Kawan.
Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk tidak mengatakan bahwa dirimu kuat. Dirimu memang kuat, bukan karena aku ingin menghiburmu, dan bukan karena aku sahabatmu. Dan dalam ketegaran dan kekuatanmu itu, engkau pasti sudah melihat bahwa surga yang ada di kedua telapak kakinya itu kini bersatu dengan keindahan semesta, bersatu dengan bintang-bintang, rembulan, matahari, bahkan udara yang kini kau hirup dan kau hembuskan. Surga itu kini menjadi lebih luas..jauh lebih luas dari apa yang mampu kau lihat dengan matamu. Bahkan, surga itu kini meresap ke dalam semesta kecilmu, menyatu dengan dirimu. _/|\_

Kita Hidup Berdampingan dengan Masa Lalu

Bintang yang kita lihat di langit ketika malam, mungkin saja sudah hancur dan tidak ada lagi, namun cahayanya baru sampai ke bumi dan tertangkap mata kita. Matahari yang kita lihat ketika pagi adalah matahari beberapa detik yang lalu. Ini adalah beberapa bukti bahwa ada masa lalu yang kita lihat di masa kini.
Kita hidup di saat ini, namun juga hidup berdampingan dengan masa lalu. Cukup dibutuhkan sebuah lagu untuk membawa memori kita pada peristiwa di masa lalu, cukup sebuah rasa makanan untuk mengantarkan pikiran kita kepada sebuah tempat yang pernah kita kunjungi di masa lalu, cukup semilir angin yang membawa aroma tertentu yang mengantarkan kenangan kita dengan seseorang ke saat ini.
Tidak dibutuhkan hal besar untuk 'memanggil' masa lalu kita ke kehidupan kita saat ini, namun dibutuhkan upaya yang sangat besar untuk 'memusnahkan' atau melupakan masa lalu..karena kita tidak mungkin melupakan tanpa mengingatnya terlebih dahulu. Ingin melupakan dan ingin mengingat sebenarnya adalah permohonan yang sama dengan kata-kata yang berbeda. 

Kelak Kau akan Mengerti

Kelak kau akan tau, Nak..kehidupan itu tidak selalu berjalan selaras dengan apa yang sekedar kau inginkan, tidak selalu sesuai dengan buku yang kau baca, tidak persis sama dengan apa yang orang-orang katakan kepadamu...Kau berhak memaknai kehidupanmu sendiri, dengan persepsimu sendiri, dengan kelapangan hatimu sendiri. Dunia hanya seluas lapangnya hatimu dan seindah makna yang kau bentuk dengan pikiranmu.
Jelajahilah dunia bukan hanya dengan buku yang kau pegang saat ini, namun dengan kedua kakimu, kedua tanganmu, kedua mata, telinga, dan semua anggota badanmu..melangkahlah ke tempat dimana hatimu nyaman untuk berada. Dengan begitu, semua tempat akan menjadi rumah bagimu. Karena rumah adalah tempat dimana hatimu berada, tidak peduli engkau sendirian atau bersama orang lain. Kemudian, berilah lengkung terbaik yang dimiliki bibirmu, agar semesta juga tersenyum kepadamu.
Hidup bukan hanya perjalanan kaki, tapi juga perjalanan hati.
~Your Happiness Is, part 2

Senin, 01 Desember 2014

Yang Membutakan

Cinta itu tidak membutakan. Justru dengan cinta, kita bisa melihat sesuatu lebih dalam. Kita bisa menemukan keindahan pada sesuatu yang mungkin selama ini kita anggap biasa saja. Pandangan kita menjadi hanya terfokus pada keindahan. Cinta membuat kita melihat keindahan lebih jelas.
Jadi, bukan cinta yang membutakan..yang membutakan adalah kemarahan. Ribuan kebaikan dari seseorang bisa lenyap seketika ketika api amarah muncul dari dalam diri. Dan dari semua api yang ada dalam kehidupan kita, api di dalam diri kita lah yang paling berbahaya...karena bukan saja mampu membakar kebaikan-kebaikan orang lain, tetapi juga mampu membakar hubungan baik yang selama ini dibina.
Setiap orang punya 'titik api' di dalam dirinya. Sekali titik ini tersentuh oleh pikirannya sendiri tentang keadaan, kejadian, atau sikap seseorang, api amarah muncul. Ketika ada bagian di dalam diri kita yang sedang marah, menyadari bahwa diri kita sedang marah adalah langkah penting agar 'nyala apinya tidak melebar kemana-mana'. Namun, upaya untuk menahan 'nyala apinya', memaksa diri agar tidak marah ketika sebenarnya ingin marah adalah langkah awal untuk membuat 'kobaran apinya' semakin besar di kemudian hari.

Ruang Antara

Kebahagiaan memberikan kita sayap untuk terbang melayang menembus ruang yang tak berwaktu. Kemudian kita melihat hidup itu begitu indah dan penuh warna. Namun, ketika kesedihan bertamu, mematahkan sayap-sayap itu, kita kehilangan kemampuan untuk terbang. Seakan langit runtuh menghantam kita ke kedalaman hati kita sendiri.
Kebahagiaan membuat kita melihat kehidupan secara meluas, dan kesedihan membuat kita melihat kehidupan secara mendalam. Namun, ada ruang diantara keduanya, yang membuat kita melihat dunia dan kehidupan apa adanya. 

~Your Happiness Is, part 2

Senin, 24 November 2014

What We Accept, Transform

Ada seseorang yang tidak menyukai aktivitas memasak. Namun, sebagai seorang perempuan, dia merasa lingkungan seolah-olah menuntutnya untuk pintar memasak. Baginya, memasak itu rumit dan ribet, terlebih lagi dia tidak suka capek-capek membeli bahan-bahan makanan, kemudian mengolahnya. Lebih mudah dan praktis membeli makanan jadi di tempat makan. Simple.
Di jaman modern seperti sekarang ini, saya memang kerap bertemu dengan orang-orang, terutama perempuan, yang tidak menyukai memasak atau tidak begitu handal dalam memasak. But it's ok. Jaman berubah, dan bagi saya, setiap orang punya hobby yang berbeda-beda. Memiliki hal yang disukai dan tidak disukai. Tidak perlu dipaksakan untuk menyukai sesuatu yang sebenarnya tidak disukai.
Saya katakan kepada perempuan ini, "Tidak apa-apa bila tidak suka memasak. Itu oke. Lakukan saja apa yang kamu suka. Tidak ada yang salah dengan memasak, jadi tidak perlu sampai membencinya. Kamu hanya belum menyukainya saja, belum menemukan sesuatu yang menarik disana karena pikiranmu sudah membloknya dengan kata 'ribet'. Ada memang masakan yang perlu dimasak dengan 'ribet', namun ada juga yang praktis." Dalam banyak pertemuan dengannya, saya berulang kali mengatakan hal yang serupa dan mirip maknanya.
Bertahun-tahun berlalu, hal yang mengagumkan terjadi, kini perempuan itu suka memasak! Ketika bertemu saya, dia berkata, "Saya heran kenapa sekarang saya jadi suka memasak?! Hahaha...!" Saya juga ikut tertawa jadinya. Kini dia menyadari bahwa tidak semua aktivitas memasak itu ribet, ada juga yang mudah dan praktis. Saya sangat senang melihat perubahannya. Terutama saya menjadi semakin sadar bahwa dalam penerimaan, terjadi transformasi.
Seringkali kita berupaya mengubah seseorang untuk menjadi seperti ini dan seperti itu. Untuk menjadi seseorang dengan karakter yang 'baik' sesuai pandangan kita atau orang banyak. Namun, hal tersebut belum tentu nyaman dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Bisa saja orang itu 'berusaha berubah' sesuai dengan yang kita inginkan, namun bila dalam prosesnya dia merasa tidak nyaman, seperti sedang 'melawan sesuatu', akan ada titik jenuh yang menyeretnya kembali kepada pola lama. Dan setelah itu, bisa saja kita kecewa karena merasa orang tersebut keras kepala dan tidak mendengarkan kita.
Dalam penerimaan, kita memberi ruang bagi seseorang untuk merasa nyaman dengan sesuatu yang dianggapnya sebagai kekurangan. Dirinya akan merasa diterima dan dicintai. Dan ketika cinta itu muncul dalam dirinya, cinta itulah yang nantinya menggerakkannya untuk melakukan sesuatu. Untuk bertransformasi menjadi lebih baik. Tidak perlu kita 'berupaya mengubah' orang lain, biarlah rasa cinta di dalam dirinya yang menggerakkannya. Yang perlu kita lakukan adalah memberi ruang agar seseorang bisa lebih menerima dan mencintai dirinya sendiri, terutama mencintai kekurangannya sendiri. Ketika seseorang 'melihat' ada ruang yang lebih besar yang terisi cinta, sesuatu yang menakjubkan terjadi. Di dalam hidup ini, tidak ada yang lebih ajaib dari cinta, bukan?!

Berterimakasih kepada ATM

Saya menegurnya, kemudian menyodorkan sebuah kartu ATM dengan warna keemasan. Jelas sekali dia kaget, matanya melotot, leher dan bahunya menegang. Dengan cepat tangan kanannya mengambil kartu ATMnya dari tangan saya. Beberapa detik kemudian, akhirnya dia tersadar, kemudian mengucapkan, "Thank You." Saya mengangguk pelan, tersenyum kepadanya, kemudian pergi. Bahagia rasanya bisa menolong orang lain. Tubuh kita sepertinya memang didesign untuk berbahagia setelah membantu orang lain. 
Beberapa menit yang lalu memang ada suatu kejadian. "Tiiittt....tiiiittt....tiiittt...", suara sebuah ATM di samping saya berbunyi. Ternyata cewek bule yang baru saja keluar dari ruangan lupa untuk mengambil kartu ATMnya kembali. Dia nampaknya terburu-buru tadi. Setelah mengakhiri transaksi, saya ambil kartu ATM yang terlupakan itu. Saya mencari-cari kemana gerangan sang cewek bule. Ternyata cepat juga jalannya...hehe. Dia memasuki supermarket, kemudian saya menghampirinya.
Dia mengucapkan terimakasih. Saya pun demikian. Saya mengucapkan terimakasih kepada ATM yang telah mengeluarkan bunyi tertentu, sehingga saya tahu ada tindakan yang belum tuntas. Berterimakasih kepada telinga yang berfungsi dengan baik. Kepada mata, tangan, kaki, dan semua aparat tubuh yang telah membantu saya dalam memberikan ATM itu kepada pemiliknya  Hari yang indah selalu lahir dari hati yang bersyukur. Tidak harus menunggu ucapan terimakasih dari orang lain, ucapkanlah kepada diri kita sendiri. Minimal kepada udara yang masih lalu-lalang di hidung kita semua. Sudah berterimakasih hari ini??

Melihat Bulan

"Kau sedang melihat bulan itu, Kawan?"
"Ya, Aku sedang memandanginya."
"Bila kau melihatnya lebih dekat, mungkin Kau tidak akan takjub lagi memandanginya. Permukaan bulan tidak lagi seindah yang dapat Kau pandangi dari sini..."
"Maka biarkan Aku memandanginya dari jarak yang membuat bulan itu tetap indah di mataku."
"Apakah Engkau puas hanya dengan memandanginya, tanpa mendekatinya?!"
"Tidak semua hal yang ingin Kau nikmati harus Kau dekati. Kadangkala, dengan memandanginya saja, itu sudah cukup. Bulan tetaplah bulan, dia ada di langit sana. Namun, keputusan untuk menikmati keindahannya ada di dalam diri kita sendiri. Bulan hanyalah bulan. Keindahan bulan tidak ada pada bulannya, tapi ada di dalam cara kita memandangnya."
"Kau termanipulasi pikiranmu sendiri, Kawan.."
"Mendekati bulan untuk menikmati keindahannya pun adalah bentuk lain dari manipulasi pikiran."
"Tapi, keindahan harus diuji."
"Bukan keindahan yang harus diuji, tapi ketidakpercayaan kita terhadap keindahan itu. Kita seolah-olah menguji keindahan, tapi yang sebenarnya kita uji adalah keraguan kita terhadap keindahan. Sama halnya dalam cinta, kita seolah-olah melakukan sesuatu untuk menguji cinta seseorang kepada kita, tapi yang sebenarnya kita lakukan adalah menguji keraguan kita sendiri terhadap cinta seseorang itu kepada kita."
"Ya,,sekarang Aku mengerti. Nampaknya kita sudah cukup panjang berdebat tentang bulan yang sama, yang kita lihat berdua malam ini."
"Untuk hal yang sama-sama bisa kita lihat saja, kadangkala perdebatan bisa muncul, apalagi untuk hal-hal yang sama-sama tidak bisa kita lihat."

Orang yang Angkuh

Kami sedang sama-sama menunggu takoyaki yang sedang diolah sang koki. Saya duduk di sebuah kursi plastik, sedangkan lelaki ini berdiri sekitar 1 meter di samping saya. Tangannya terlipat di depan dada, semakin memperjelas bentuk otot-otot lengannya yang sangat terlatih mengangkat beban. Bajunya kaos hitam ketat, seperti ingin menunjukkan bentuk dada dan otot-otot perutnya. Tidak lupa juga kacamata hitam yang membuatnya tampak sebagai sosok lelaki yang sangat macho. "Angkuh," pikir saya.
Beberapa menit berlalu, dan akhirnya takoyaki 'lelaki macho' itu sudah siap untuk dibawa pulang. Dan mau tidak mau, dia harus melewati saya untuk mengambil makanannya. Saya perhatikan bagaimana dia bergerak dan berjalan, dan ketika melewati saya, badannya membungkuk, senyumnya terurai, dan ini yang membuat semua pikiran saya tentang dia rontok: Bibirnya mengucapkan, "Permisi Mas.." Sangat sopan! Semua penilaian saya tentang lelaki ini hancur lebur dalam sekian detik. Siapa yang sedang menonjolkan otot lengannya? Siapa yang sedang memamerkan otot dada dan perut? Siapa yang angkuh??!! Bukan lelaki itu, tapi pikiran saya tentang lelaki itu!
Tidak jarang kita..ehmm...saya menilai orang dari fisiknya, kemudian membuat penilaian keseluruhan sifatnya dari data fisiknya itu. Itu sangat angkuh! Saya yang angkuh, lebih tepatnya pikiran saya yang sedang angkuh. Ini permainan pikiran. Melihat sesuatu tidak seperti apa adanya, kemudian terjebak dengan penilaian-penilaian parsial, dibalut dengan emosi-emosi yang diambil dari 'lemari masa lalu'. Melihat orang dari 'otot tubuhnya', bukan dari 'otot hatinya'. Memang tidak mudah melihat 'otot hati' seseorang, namun bila hanya bermodalkan melihat 'otot tubuh' seseorang (tampilan fisik) kemudian melakukan penilaian sifat dan sikap, itu adalah cara tercepat untuk 'tersesat'.
Tidak semua yang kita pikirkan benar. Terkadang penilaian yang dilakukan pikiran kita didasarkan pada ketakutan kita sendiri, kesedihan yang pernah muncul di masa lalu, dan kenangan-kenangan lainnya. Menyadari itu saja sudah sangat bagus, karena nantinya, penilaian-penilaian kita, makna yang kita buat terhadap sesuatu, membawa kita kepada rasa-rasa tertentu. Rasa suka ataupun tidak suka, cinta ataupun benci. Dan ada yang pernah mengatakan begini, "Terimakasih karena telah mencintaiku, karena dengan begitu engkau telah meletakkanku di hatimu. Terimakasih telah membenciku, karena dengan begitu engkau telah meletakkanku di pikiranmu."

Kita itu seperti Televisi yang punya Antena

Penampilannya sederhana. Saya bertemu dengan lelaki ini sekitar 2 tahun yang lalu ketika sedang di Mataram. Namun, apa yang dikatakannya ketika itu masih 'membekas' di ingatan saya sampai sekarang. Kami berbincang-bincang tentang banyak hal di tempat kerjanya, sampai akhirnya dia menceritakan tentang ilmu kebatinan yang dia miliki. Ketika itu, saya tidak terlalu tertarik dengan ilmu seperti itu. Dia bercerita pernah bertarung dengan orang sakti inilah, orang sakti itulah, di alam ini dan itu. Saya hanya mendengarkan saja, karena tidak paham mau mengomentari apa. Sambil bercerita, tangannya lihai sekali mengerjakan pesanan saya.
Setelah ceritanya selesai, dia berkata begini, "Saya sebenarnya sudah tidak mencari apa-apa lagi dalam hidup ini, Mas. Apa yang mau dicari kalau semuanya sudah ada?! Saya bekerja untuk keluarga, untuk memberi contoh kepada anak saya bahwa dalam hidup, kita harus bekerja. Saya menjalaninya dengan santai saja, dan yang penting senang." Jeda beberapa saat, dia melanjutkan lagi, "Kita itu seperti tivi yang punya antena, Mas..ada channel-channelnya. Kalau Mas suka olahraga, akan ketemu orang-orang yang suka olahraga. Kalau suka musik, akan ketemu orang-orang yang suka musik juga. Dan kita bisa atur...kita mau ketemu orang seperti apa, tinggal diatur aja 'channelnya'. Hidup ya kaya gitu. Sampean masih muda, kalau mau menikmati hidup, gilai sesuatu." Logat jawanya tidak hilang, walaupun tinggal di Mataram.
Senyumnya terkembang mengakhiri nasehatnya. Untuk orang berusia 40 tahun, dia terlihat awet muda. Saya tidak hanya kagum dengan kebijaksanaanya, tapi saya bahkan hampir tidak percaya bahwa kata-kata itu bisa keluar dari seorang lelaki pembuat stempel, yang ruang kerjanya berukuran 2 x 2 meter. Sungguh wawasannya melampaui ruang kerjanya. Tidak semua guru ada di ruang kelas..kita bisa menemukan dimanapun, selama kita 'mengatur channel' untuk melihat dunia sebagai tempat belajar yang asyik, dan setiap orang akan terlihat hadir untuk memberikan pelajaran-pelajaran 

Mirroring

Di dalam ilmu kimia, ada dikenal sebuah konsep yang bernama "Like Dissolves Like". Konsep ini menjelaskan kenapa satu larutan bisa bercampur dengan larutan tertentu, tapi tidak dengan larutan yang lainnya. Ini tentang perbedaan kutub (polaritas) yang dimiliki tiap-tiap larutan. Kita juga demikian. Kita cenderung berkumpul dengan orang-orang yang 'polaritasnya' (hobby, visi, sifat) sama atau hampir sama.
Konsep ini hampir sama dengan konsep 'Law of Attraction' yang sering kita dengar. Kita cenderung memiliki kemampuan 'menarik' sesuatu yang memiliki kesamaan sifat dengan kita. Kebahagiaan menarik kebahagiaan. Kesedihan menarik kesedihan. Keluhan menarik keluhan. Kita menarik kebahagiaan dengan menjadikan diri kita bahagia terlebih dahulu, sehingga kebahagiaan yang ada di dalam diri menarik kebahagiaan-kebahagiaan lain yang ada di luar diri. Kita justru hanya memiliki sedikit daya untuk menarik kebahagiaan hanya dengan menginginkan kebahagiaan, sedangkan rasa di hati kita sedang sedih. Keinginan itu penting, namun rasa di balik keinginan itu jauh lebih penting.
Bila kita telusuri lebih dalam, ini bukan sekedar konsep tarik-menarik, tetapi lebih kepada konsep 'Mirroring'. Konsep ini saya ketahui dari seseorang bernama Gregg Braden. Konsep ini berbicara tentang medan energi yang menyusun semua materi yang ada di alam semesta. Ini tentang rasa (feelings) di dalam diri kita yang memiliki daya magnetik dan elektrik untuk membentuk pola-pola tertentu. Pola yang terbentuk di dalam diri kita inilah yang nantinya menggerakkan semesta untuk membentuk pola yang sama di luar diri kita. "Dunia luar" merefleksikan "dunia yang ada di dalam diri kita". Yang ada di "dalam", ada di "luar". Bila ingin mengubah yang 'di luar', ubah yang 'di dalam'.
Segitu dulu aja, saya udah mulai pusing..hahaha