Senin, 25 Agustus 2008

Tentang Frekuensi dan Komunikasi


Kehidupan tidak terlepas dari energi. Salah satu rumus yang berhubungan dengan energi adalah:

E = hf ; h = konstanta Plank, f = frekuensi

h bernilai konstan/tetap, sedangkan nilai f dapat berubah-ubah. Karena energi terkuantisasi (terpaket-paket), maka terdapatlah tingkat-tingkat energi. Tingkat-tingkat energi inilah yang menyebabkan energi memiliki nilai tertentu pada keadaan tertentu. Jadi, untuk mendapatkan nilai tertentu dari energi, frekuensilah yang harus diatur nilainya!

Konsep energi di atas memang cukup rumit, tapi marilah kita membuatnya lebih mudah. Kita memulainya dengan menyadari bahwa kita semua sebagai manusia memiliki energi tertentu dan oleh karenanya memiliki frekuensi tertentu. Hal ini menarik karena kita sebagai manusia, yang dianugerahkan akal pikiran, dapat mengatur frekuensi yang kita miliki. Kemampuan mengatur frekuensi ini tidak terlepas dari pengalaman dan tingkat
pengetahuan manusia itu sendiri. Contoh sederhana adalah saat kita berkomunikasi dengan orang lain.

Komunikasi verbal merupakan interaksi frekuensi antara orang yang satu dengan orang yang lain. Pengaturan frekuensi yang tepat dapat menyebabkan komunikasi terjalin lebih harmonis karena antara orang yang satu dengan yang lain berada pada tingkat
energi yang sama. Salah satu dari orang yang terlibat dalam komunikasi harus menyesuaikan frekuensinya agar tercapai suatu komunikasi yang efektif dan tidak
menimbulkan permasalahan lebih lanjut. Pengaturan frekuensi dapat dilakukan dengan cara tidak mendominasi pembicaraan, pengaturan intonasi dalam berbicara, pengaturan raut wajah dan sikap, serta masih banyak yang lainnya. Seringkali kita mendengar ada orang berceloteh, “Anak itu nggak nyambung diajak ngobrol, nggak asyik banget deh!”, hal seperti itu menunjukkan bahwa ada yang tidak sesuai dalam pembicaraan, yaitu frekuensinya berupa wawasan yang tidak sama dalam suatu topik pembicaraan. Maka dari itu berkomunikasilah dengan banyak ”tingkat energi”, sehingga wawasan kita menjadi bertambah. Gaya bicara tukang becak tentu berbeda dengan gaya bicara seorang dosen. Gaya bicara preman, satpam, orang yang bekerja di bengkel, supir truk, tukang sayur, polisi, pujangga, musisi, menteri, dan Presiden berbeda-beda. Inilah yang aku maksudkan dengan beragamnya “tingkat energi”.

Banyak permasalahan yang akhirnya muncul saat kita tidak dapat mengatur frekuensi saat berbicara/berkomunikasi dengan orang lain. Salah satu permasalahan yang cukup ekstrem adalah sakit hati. Sakit hati bisa saja terjadi hanya dari mendengarkan omongan orang lain kepada kita. Lidah memang tak bertulang, namun cukup tajam
untuk menyayat hati seseorang. Ada kata-kata yang kasar yang langsung menyakiti lawan bicara, ada juga kata-kata lembut, yang walaupun diucapkan perlahan, namun bisa mengguncangkan perasaan orang lain. Kedalaman makna kata-kata itu lebih penting dibandingkan intonasi kata-kata tersebut saat diucapkan. Kelihaian kita mengatur hal-hal seperti inilah yang pada akhirnya membuat kita semakin mahir memainkan kata-kata. Banyak orang yang pada akhirnya menganggap ini adalah sebuah seni yang
dapat memengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu. Oleh karena itu, muncullah teknik-teknik hipnosis, teknik persuasi, dan sebagainya, yang pada intinya adalah menggunakan kekuatan kata-kata untuk merayu, membujuk, atau membuat orang lain
mengikuti apa yang kita inginkan. Dan semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, semakin mampu untuk menguasai kemampuan seperti ini. Oleh karenanya, jangan berhenti belajar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar